Minggu, 31 Januari 2010

Mendidik dengan Emosi

Pendidikan dan pembelajaran merupakan kegiatan dengan ranah yang terkait dengan kondisi kejiwaan. Setiap peserta didik mempunyai dasar yang berbeda sehingga perlu penanganan yang berbeda pula. Setiap guru harus mampu memfasilitasi anak didik dalam belajar sesuai dengan kondiri anak didik, termasuk dalam hal ini kejiwaannya.

Pendahuluan

Proses pendidikan dan pembelajaran tidak terlepas dari keberperanannya emosi para pelakunya. Hal ini karena konsep dasar pendidikan dan pembelajaran adalah mengelola emosi dan attitude sehingga dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak heran jika seseorang telah mengikuti dan menjalani proses pendidikan, maka kualitas emosi dan attitudenya lebih baik dari yang tidak berpendidikan.
Pada awal proses pendidikan dilaksanakan, tingkat kualitas emosional seseorang masih labil sehingga mudah mengalami pergeseran, friksi dan hal tersebut menyebabkan masa tersebut sangat riskan bagi kehidupan. Kita tidak menutup mata, bahwa peranan pendidikan memang sangat menentukan tingkat kualitas emosional seseorang. Kestabilan kondisi seseorang tergantung pada kemampuannya mengelola emosionalnya. Semakin mampu mengelola, maka semakin stabil kondisinya.
Dan, dunia pendidikan telah menjadi harapan utama setiap orang, bahkan masyarakat menyerahkan proses peningkatan kualitas emosional pada dunia pendidikan. Orang tua begitu percaya pada institusi sekolah untuk mendidik anak-anak mereka agar lebih baik. Mereka menyerahkan proses pendidikan kepada sekolah, khususnya para pendidiknya.
Menyadari bahwa dunia pendidikan telah mendapatkan kepercayaan yang begitu besar dari masyarakat, maka berbagai upaya dilakukan untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya. Berbagai inovasi diterapkan agar peserta didik benar-benar mendapatkan segala hal yang menjadi jatah pembelajarannya.
Pada posisi ini, peranan guru sebagai fasilitator memang sangat menentukan sebab konsep pembelajaran yang berpusat pada anak didik sangat signifikan dengan kondisi saat sekarang. Dahulu memang, guru dijadikan sebagai pusat kegiatan belajar sebab dianggap sebagai sumber belajar satu-satunya. Tetapi pada saat sekarang, hal tersebut sudah tidak relevan lagi sebab untuk dapat memperoleh materi pelajaran, anak didik dapat memperoleh dari berbagai sumber. Ada banyak sumber yang dapat dijadikan sebagai ‘guru’ untuk pengembangan dan peningkatan kualitas SDM.
Dalam konteks seperti inilah, maka peranan guru di dalam proses pendidikan tidak hanya terbatas pada proses yang bersifat fisik, melainkan juga bersifat emosional. Bagi anak didik, eksistensi guru sedemikian rupa sehingga selalu menjadi sosok panutan untuk setiap kegiatan dan kata-kata yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itulah, maka proses pendidikan tidak cukup hanya dilandasi oleh sikap komunikasi fisik semata. Mereka membutuhkan kondisi interaksi antar personal yang lebih spesial dengan kedekatan emosional yang lekat sehingga menumbuhkan kenyamanan pada saat belajar.
Kenyamanan pada saat belajar dapat tercipta jika guru dapat menyelami emosional anak didik dan menyeimbangkan emosional dirinya dengan kondisi tersebut. Emosional bukan berarti kemarahan, melainkan secara kejiwaan guru lebur dengan anak didik. Guru secara emosional, secara psikis lebur dengan jiwa anak didik sehingga dapat menyeimbangkan posisi emosional dan membentuk jembatan penghubung antara jiwa anak didik dengan jiwa sang guru. Oleh karena itulah, pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran, guru harus melakukannya dengan menyertakan emosionalnya secara utuh sehingga proses pembelajaran dapat tuntas.

Guru dan Emosi

Pada kenyataannya bidang garapan yang harus dilaksanakan oleh guru adalah memberi bimbingan dan arahan kepada anak didik di dalam proses pendidikannya. Guru harus dapat memberikan bantuan, baik berupa bimbingan, arahan ataupun fasilitasi kepada anak didik sehingga tidak mengalami kesulitan dalam proses belajarnya.
Proses pembelajaran adalah suatu interaksi personal yang dilakukan secara sadar dan sistematis untuk melakukan perubahan kompetensi diri. Interaksi personal terjadi antara guru – guru, guru - anak didik, dan anak didik – anak didik. sementara kita menyadari bahwa setiap personal mempunyai latar belakang yang berbeda.
Perbedaan latar belakang ini tentu saja memberikan konsekuensi logis pada upaya penyamaannya, penyesuaiannya. Setiap personal dituntut untuk dapat menyesuaikan diri pada kondisi yang terjadi ataupun yang ingin dicapai dalam proses belajar tersebut. Hal ini merupakan konsep daar dari proses pembelajaran, yaitu berusaha untuk menyesuaikan kompetensi diri dengan kompetensi yang dipelajari.
Terkait dengan interaksi personal ini, maka agar proses penyesuaian diri dapat dicapai, maka perlu kesadaran diri dalam melakukananya. Dan, kesadaran tersebut melibatkan emosi diri. Emosi diri dapat kita artikan secara bebas sebagai bentuk atau perwujudan diri secara utuh, yaitu fisik maupun psikis seseorang. Seseorang yang sedang belajar, maka dia harus melibatkan dirinya secara utuh, baik fisiknya maupun psikisnya.
Dan sebagai fasilitator belajar, maka penguasaan emosi bagi guru sangatlah penting. Dengan penguasaan emosi ini, maka setidaknya guru dapat mengelola emosi tersebut untuk tujuan memberikan pendampingan dan arahan pada anak didik serta memberi bantuan secara utuh saat anak didik mengalami kesulitan belajar.
Pada saat melaksanakan tugas dan kewajibannya, guru berhadapan dengan anak didik yang mempunyai bekal kepribadian yang beragam. Anak didik dengan kepribadian yang beragam ini juga menuntut guru menyesuaikan dirinya sehingga dapat memahami tingkat kemampuan anak didiknya. Hal ini sangat penting sehingga pada saat mengajar, guru tidak menjadi sosok yang kaku atau menakutkan bagi anak didik.
Interaksi personal yang tercipta antara guru dan anak didik dalam proses pembelajaran memang satu bentuk interaksi yang unik. Ada satu aspek penting yang harus tercipta di dalam interaksi tersebut sehingga bukan sekedar interaksi semata. Jenis interaksi yan terjadi pada saat proses pembelajaran adalah interaksi edukatif, yaitu interaksi yang berisi proses pendidikan dan belajar. Interaksi ini bersifat edukatif, artinya interaksi tersebut diutamakan pada segala aspek yang terkaiat dengan proses pendidikan dan belajar bagi anak didik dan juga guru.
Oleh karena itulah, maka eksistensi emosi dalam proses pendidikan dan belajar sangat penting dan menentukan keberhasilan proses. Dengan tingkat pengelolaan emosi yang baik oleh guru, maka proses yang dijalankan diyakini dapat maksimal.
Peranan Emosi

Proses pembelajaran diarahkan untuk menciptakan atau mengkondisikan sikap dan pola hidup anak didik sehingga selaras dengan kehidupan masyarakat secara luas. Dengan belajar, maka seseorang dapat melakukan penyesuaian kondisi diri. Di dalam proses belajar, setiap saat anak didik mendapatkan materi pembelajaran terkait dengan hdiupnya.
Sementara proses pembelajaran dilaksanakan di dalam suatu interaksi yang berisi proses pendidikan atau disebut juga interaksi edukasi. Dalam interaksi edukasi inilah beberapa aspek diajarkan kepada anak didik secara sistematis sehingga terjadi perubahan yang signifikan.
Bahwa proses belajar merupakan proses perubahan. Seseorang yang mengikuti proses belajar sebenarnya berusaha untuk melakukan perubahan pada dirinya. Perubahan ini diarahkan agar terjadi penyesuaian dan keseimbangan dunia dalam diri dengan dunia di luar diri. Terkait dengan dunia dalam diri merupakan satu kondisi khusus yang secara alami sudah disiapkan pada diri masing-masing. Bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk mengelola dirinya.
Pengelolaam terhadap diri sendiri dapat dilakukan selama proses kehidupan setiap orang. Selama kehidupan, seseorang selalu melakukan proses belajar sehingga dirinya mempunyai kemampuan mengendalikan dirinya sehingga dapat menumbuhkan sikap hidup yang lebih baik. Bahwa proses perubahan pada diri merupakan tanggungjawab dan secara alami sudah dimiliki oleh semua orang. Setiap orang selalu berusaha agar dirinya mempunyai kompetensi yang melebih orang lain.
Proses belajar yang dilaksanakan oleh manusia pada dasarnya diimbangi oleh penyiapan kondisi diri dalam segala aspek, termasuk dalam hal ini aspek emosi. Aspek emosi berperan saat melakukan proses adaptasi terhadap setiap hal baru yang dihadapi oleh diri. Hal ini merupakan peleburan diri sehingga proses penyerapan pengetahuan, sikap dan keterampilan dapat terjadi secara maksimal.
Peranan emosi di dalam proses pembelajaran memang sangat penting sebab proses belajar diarahkan untuk pengkondisian diri peserta didik. Dan, pengkondisian inilah sebenarnya prinsip dasar pembelajaran. Pada saat guru mengajar, mendidik, maka pada saat tersebut dia berusaha untuk mengkondisikan peserta didik agar sesuai dengan yang diharapkan oleh proses tersebut.
Emosi adalah bagian dasar dari proses pembelajaran. Tanpa kesertaan emosi, maka proses tidak dapat terjadi. Bahkan, dalam segala kegiatan, Peranan emosi sangat penting sebab setiap kegiatan adalah bentuk interaksi personal dengan dunia luarnya.

Mendidiklah dengan Emosi

Anak didik adalah subyek belajar di dalam proses pembelajaran. Mereka mengikuti proses pembelajaran karena ingin melakukan reformasi atas kondisi yang ada di dalam dirinya. Kondisi yang dimaksudkan adalah ketidakbisaan menjadi penguasaan maksimal pada satu atau beberapa kompetensi.
Setiap kompetensi yang diajarkan oleh guru kepada anak didik didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai oleh anak didik dan proses pendidikan secara umum. Kompetensi inilah yang sebenarnya merupakan aspek penting pembelajaran pada saat sekarang ini. Kita harus menguasai satu atau beberapa kompetensi jika ingin menghadapi kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Untuk dapat memberikan kompetensi yang benar-benar sesuai, maka seorang guru harus mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi proses pembelajaran. Hal ini karena, sampai sekarang posisi guru belum dapat melepaskan konsep lama, yaitu bahwa pusat pembelajaran ada di guru. Konsep ini jelas sangat bertentangan dengan konsep dasar pembelajaran sebab sebenarnya yang sedang melakukan proses belajar adalah anak didik sehingga guru hanyalah memfasilitasi kebutuhan belajar bagi anak didiknya. Guru adalah fasilitator pendidikan dan bukan sentral dari proses pembelajaran.
Oleh karena kondisi tersebut, maka seorang guru harus dapat menyesuaikan dirinya dengan kondisi anak didik. Sebagai fasilitator, maka guru tidak boleh membawa situasi dirinya kepada anak didik. Artinya guru tidak boleh memaksa mmbawa anak didik ke dalam kondisi dirinya, melainkan guru yang harus memasuki kondisi anak didiknya. Seperti konsep quantum teaching, bahwa di dalam proses pembelajaran, kita harus membawa dunia anak ke dalam dunia kita dan bukan membawa dunia kita ke dunia anak-anak. Sebab anak-anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil! Gaya mengajar guru adalah gaya belajar anak didik. Kita, guru yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi anak didik dan bukan anak didik yang dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kondisi guru.
Ya. Kita harus dapat berposisi sebagaimana posisi anak didik dan tidak memaksa anak didik untuk memasuki dunia kita. Jika hal tersebut kita lakukan, maka anak didik masih belum mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan dunia kita. Kita yang harus selalu beradaptasi dengan dunia anak-anak. Kita yang harus selalu mengikuti kondisi anak didik dan tidak memaksa anak-anak untuk mengikuti kondisi diri kita.
Kita yang mendidik kita, maka kita yang harus memasuki dunia mereka dan melakukan perombakan dari dalam dunia mereka. Hal tersebut yang seharusnya dilakukan dan bukan memaksa anak didik mengikuti dunia kita. Sangatlah sulit jika kita harus memposisikan anak didik sebagaimana posisi kita sebab dunia anak didik sangat berbeda dibandingkan dengan dunia orang dewasa.
Sudah seharusnya guru di dalam melaksanakan proses pembelajaran menyertakan emosinya, perasaannya sehingga terjalin satu ikatan atau interaksi yang sinergis antara guru dan anak didik. Selama ini yang terjadi adalah adanya jarak yang membentang di antara guru dan anak didik sehingga komunikasi yang dibangun tidak dapat efektif. Tanpa kehadiran emosi, perasaan, maka interaksi yang terbangun hanyalah interaksi umum. Sementara kita menyadari bahwa interaksi guru dan anak didik adalah interaksi edukasi, yaitu interaksi yang didasarkan pada tujuan pendidikan sehingga terjadi perubahan signifikan pada pengetahuan, keterampilan dan pola hidup anak didik. Jika seorang guru mampu membangun satu interaksi edukasi dikelas pembelajarannya, maka secara langsung tercipta satu interaksi yang melibatkan emosi secara utuh.
Interaksi antara guru dan anak didik memang satu bentuk interaksi yang spesial (special interaction), dimana pelibatan emosi sangat menentukan kualitas interaksinya. Bahwa interaksi guru dan anak didik merupakan upaya peleburan dua kondisi sehingga didapatkan satu kondisi khusus, yaitu terciptanya kemudahan bagi anak didik untuk belajar. Jika salah satu pihak tidak melibatkan emosinya, maka hasil proses interaksi tidak dapat dicapai. Bahkan kegagalan proses pendidikan isebabkan oleh ketiadaan emosi di dalam pelaksanaan proses.
Emosi adalah jiwa dan perasaan

Di dalam proses pendidikan, dua elemen penting berinteraksi langsung untuk dapat mencapai tujuannya. Interaksi yang terjadi adalah interaksi personal sehingga seringkali menimbulkan konflik atau friksi yang tidak diinginkan. Hal ini karena masing-masing personal mempunyai pola pemikrian dan sikap yang berbeda sehingga pada saat interaksi dapat menimbulkan perbedaan pendapat atau misunderstanding. Kondisi ini sangat rawan bagi sebuah interaksi positif seperti proses pendidikan.
Jika antara guru dan anak didik terjadi misunderstanding, tentunya hal tersebut berdampak negatif terhadap proses belajar yang dilaksanakan. Sementara kita menyadari bahwa di dalam proses pembelajaran eksistensi guru dan anak didik adalah sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan keduanya berinteraksi sebagai sosok yang saling membutuhkan. Jika ternyata diantara keduanya terbentang jarak akibat misunderstanding, tentunya hal tersebut tidak mendukung eksistensi mereka.
Interaksi antara guru dan anak didik memang suatu interaksi khas. Interaksi tersebut terjalin sedemikian rupa sehingga komunikasi mereka tidak hanya secara fisik melainkan secara psikis juga. Di dalam proses pembelajaran, anak didik dan guru berinteraksi sebagai pribadi dengan kegiatan nyata secara fisik, tetapi pada saat itu pula terjadi proses interaksi secara psikis sebab guru menggarap aspek psikis anak didik. Bahwa guru tidak hanya mengajar, yaitu memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik, melainkan juga memberikan pendidikan sikap dan nilai-nilai positif kehidupan bermasyarakat.
Pada setiap kegiatan yang dilakukan oleh guru dan anak didik, terpancar sebagai bentangan benang merah yang menghubungkan antar pribadi sebagai sosok-sosok yang unik. Untuk keunikan tersebut, perlu ditangani dengan penuh perasaan. Kita tidak hanya mengarahkan anak-anak dalam koridor mengejar pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga nilai-nilaipositif kehidupan atau norma-norma kehidupan. Dan, guru mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk membimbing, memfasilitasi kebutuhan tersebut.
Dalam koridor inilah, kita dapat mengetahui bahwa untuk dapat memfasilitasi kebutuhan belajar dan pendidikan anak didik, maka kehadiran guru tidak hanya sebatas fisik, melainkan juga psikis. Dan, komunikasi secara psikis merupakan pendekatan seutuhnya dalam proses pendidikan. Dengan melakukan pendekatan psikis, sebenarnya kita sudah memasuki dunia paling pribadi pada anak didik. Jika kita berhasil memasuki dan menguasai dunia paling pribadi pada anak didik, tentunya anak didik menjadi sosok yang menyadari tugas dan kewajibannya dalam proses belajar.
Sebagai pembimbing belajar, maka peranan perasaan sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan dan pembelajarannya. Guru yang menyertakan perasaannya pada saat melaksanakan proses pendidikan memungkinkan keberhasilan menyentuh kesadaran anak didik. Dalam hal ini, guru harus dapat memasuki jiwa dan perasaan anak didik agar keberhasilan proses belajar dapat maksimal. Kondisi ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kesadaran dari dalam diri anak didik. kesadaran dari dalam diri anak didik dipercaya dapat menjadi motivator terbaik untuk pengembangan kompetensi dirinya.
Guru memang harus mengedepankan emosi, perasaan saat pembimbingan anak didik belajar sebab dengan cara seperti ini, maka proses pendekatan dan pendampingan belajar dapat maksimal sebab tercipta benang merah antara guru dan anak didik. Benang merah perasaan ini merupakan penghubung efektif dalam sebuah interaksi, apalagi interaksi edukasi. Edukasi adalah kegiatan terkait dengan perasaan, sehingga untuk hal tersebut berarti kita harus menyertakan perasaan saat menjalankan semua itu. Obyek kerja pendidikan adalah adaptif dan normative, maka setiap guru harus menyertakan perasaannya saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran. Hal ini sangat penting sebab bidang garapan guru adalah anak didik yang tentunya mempunyai kondisi kejiwaan yang berbeda. Dengan melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran berbasis jiwa dan perasaan, maka diyakini terjalin ikatan batin dan tercipta interaksi aktif yang mengalir lancar. Artinya, proses pembelajaran berlangsung sebagaimana program yang sudah disusun oleh guru.

Emosi bukanlah emosional

Dalam konteks pembelajaran, basis emosi yang kita maksudkan dalam hal ini adalah perasaan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang dan cinta. Guru yang mengajar dengan berlandaskan emosi artinya mengajar dengan penuh kasih sayang dan cinta kepada anak didiknya. Dengan demikian, maka terjalin ikatan batin yang kuat antara guru dan anak didik yang selanjutnya mampu menjadi jembatan penghubung antar pribadi agar ada saling peduli. Rasa saling peduli inilah yang selanjutnya diharapkan menjadi tenaga pendorong semangat belajar anak didik dan semangat mengajar guru.
Sementara emosional kita artikan sebagai kondisi penuh emosi negative yang meledak-ledak. Emosi yang meledak-ledak ini selanjutnya kita katakan sebagai kemarahan sehingga aspek yang muncul adalah negative. Guru tidak boleh emosional saat membimbing anak didiknya. Emosional berarti emosi yang berlebih dan bersifat negative ini merupakan racun yang mematikan kreativitas dan kemampuan belajar anak didik. Guru yang emosional adalah para algojo yang dengan kapak tajamnya siap membantai para pesakitan yang mengerang kesakitan dan sesambat kesakitan.
Tentunya sebagai pelaku pendidikan, yang dalam hal ini berusaha untuk mempositifkan kondisi anak didik, maka guru harus bertindak positif untuk anak didiknya. Guru harus melaksanakan tugas dan kewajibannya secara proporsional. Apapun yang dilakukan oleh guru harus dapat menggambarkan sikap sosok yang melindungi dan mengarahkan anak didiknya. Bukan malah sebaliknya, menghancurkan anak didiknya.
Maka, guru yang melaksanakan proses pembelajaran di kelas jangan dibarengi apalagi dilandasi oleh kondisi emosional yang negative. Bidang garapan guru adalah mengubah hal-hal negative yang ada dalam diri anak didik sehingga dapat menjadi hal-hal positif yang berguna bagi kehidupan masa depan anak didik. Proses pendidikan adalah proses positif untuk menghapus hal negative yang berkembang di lingkungan hidupnya.
Proses pendidikan memang harus melibatkan emosi kedua pihak seutuhnya, artinya mereka yang terlibat secara langsung dalam proses seharusnya melaksanakan tugas dan kewajibannya secara proporsional, tidak hanya terbatas secara fisik, melainkan juga secara psikis. Dan, inilah yang sesungguhnya menjadi landasan untuk dapat menyelenggarakan proses pendidikan dengan sebaik-baiknya. Hanya dengan pelibatan aktif emosi dalam proses pendidikan, maka terjalin sebuah interaksi social yang bermanfaat bagi proses pendidikan anak.
Mengajar dengan emosi bukanlah mengajar dengan emosional. Kita harus dapat membedakan kedua hal tersebut dengan sebaik-baiknya agar tidak terjebak pada kesalahan persepsi dan akhirnya menjadikan kita menyesalinya. Emosi yang kita maksudkan dalam hal ini adalah upaya menyertakan perasaan dalam kegiatan pembelajaran sehingga terjalin sebuah jembatan. Jembatan inilah yang diharapkan dapat menjadi penghubung rasa antara guru dan anak didik.
Dalam proses pendidikan dan pembelajaran, jembatan penghubung rasa ini sangat penting sebab yang terjadi adalah interaksi antar personal. Interaksi antar personal ini dapat terjadi dengan sebaik-baiknya jika antar personal dapat tercipta satu perasaan. Kita menyadari bahwa setiap personal mempunyai dasar sikap dan perasaan yang berbeda sehingga jika keduanya berinteraksi, maka seharusnya mereka mempunyai persepsi yang sama.
Agar proses pendidikan dan pembelajaran dapat berlangsung maksimal, tentunya harus ada keterikatan rasa antara pendidik dan pedidik. Keterikatan rasa inilah yang selanjutnya menjadi jembatan penghubung terbaik. Bahwa keterikatan rasa ini memungkinkan terciptanya satu interaksi yang benar-benar edukatif.
Sekali lagi dalam hal ini yang kita maksudkan emosi bukanlah emosional. Pada saat kita membimbing belajar anak didik, maka yang terutama harus kita kedepankan adalah emosi (rasa), bukan emosional. Dengan rasa, maka kita dapat melakukan pendekatan kepada anak didik, tetapi jika kita melakukannya dengan emosional, tentunya hasilnya bertolak belakang.

Dengan memeprhatikan berbagai hal yang terjadi pada saat kita melakukan proses pendidikan dan pembelajaran, maka setidaknya kita sangat menyadari bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam proses pendidikan dan pembelajaran, maka kita harus menciptakan jembatan penghubung antar rasa, guru dan anak didik. Jembatan inilah yang selanjutnya dapat mengantar pada keberhasilan. Mendidiklah dengan emosi berarti mendidiklah dengan perasaan dan jangan dengan emosional.

Menerapkan Kompetensi Keahlian dalam Kehidupan

Salah satu aspek penting yang diharapkan dapat menjadi bekal kehidupan anak setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah adalah keterampilan yang aplikatif. Hal ini sangat erat dengan kenyataan bahwa anak-anak yang mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah kejuruan mempunyai visi untuk menjadi tenaga kerja yang kompeten pada bidangnya. Visi ini sejalan dengan konsep penyelenggaraan pendidikan kejuruan, yaitu menciptakan sumber daya manusia yang terampil dan siap bekerja sebagai tenaga kerja kelas menengah. Anak-anak yang bersekolah di sekolah kejuruan memang diarahkan menjadi pribadi-pribadi mandiri sebagai tenaga kerja, baik sebagai tenaga di bengkel-bengkel orang atau di bengkel miliknya sendiri, berwirausaha.
Pentingnya Kompetensi Keahlian Anak Didik
Sumber daya manusia merupakan sosok-sosok penting yang secara langsung menangani setiap masalah kehidupan. Sementara permasalahan hidup semakin hari semakin krusial dan rumit sehingga perlu orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikannya. Kesulitan ini jika tidak segera diselesaikan, tentunya berdampak negative atas seluruh tatanan kehidupan. Jika jumlah orang-orang yang mampu banyak, tentunya dapat menyelesaikan masalah sebaik-baiknya.
Dan, sekolah sebagai institusi formal penyelenggara proses pendidikan dan pembelajaran mempunyai peranan yang sedemikian rupa sehingga kebutuhan sumber daya manusia yang kompeten harus segera dipenuhi. Sekolah harus menyelenggarakan proses pendidikan dan pembelajaran yang memungkinkan anak-anak menjadi orang-orang yang kompeten dalam, bidangnya. Kompeensi ini terutama dalam aspek keahlian yang mereka pelajari. Kompetensi keahlian inilah yang selanjutnya menjadi brandingself bagi anak didik dalam menghaapi kehidupan. Dengan brandingself inilah, maka eksistensi anak diakui oleh masyarakat dan selanjutnya hal tersebut memberikan kesempatan bagi anak mendapatkan pekerjaan dari masyarakat. Pekerjaan inilah yang menjadi sumber income kehidupan mereka dan keluarga.
Kompetensi keahlian yang dimiliki anak didik memang sangat penting bagi proses survive anak dalam kehidupannya di masyarakat. Dengan kompetensi yang dimiliki, maka anak didik dapat melakukan berbagai kegiatan yang memberikan income financial bagi kehidupannya. Dengan demikian, maka anak tidak perlu kebingungan bekerja setelah menyelesaikan masa belajarnya di sekolah. Kompetensi keahlian inilah yang menjadi jembatan bagi anak untuk menyeberangi sungai kehidupan yang penuh gejolak. Kalaupun jembatan itu rusak, maka kompetensi tersebut dapat mengantarkan anak hingga keseberang sebab anak mempunyai kompetensi untuk berenang. Anak didik tidak perlu kebingungan mencari pekerjaan sebab dengan kompetensi yang dimiliki, maka banyak perusahaan yang membutuhkan keahlian tersebut atau anak-anak menerapkan konsep kerja mandiri, wirausaha dengan kompetensi keahlian yang dimilikinya tersebut.
Setiap saat, banyak anak-anak yang menyelesaikan masa pendidikan dan pembelajarannya, itu berrati mereka secara serentak terjun ke masyarakat untuk bekerja, mencari pekerjaan atau menciptakan pekerjaan. Dua hal terakhir inilah yang selanjutnya menjadi pilihan akhir untuk anak-anak, berperan sebagai pencari pekerjaan ataukah menciptakan pekerjaan untuk dirinya dan atau orang-orang di sekitarnya. Semakin besar kompetensi keahlian anak didik, kesempatan untuk survive dalam hidup lebih besar pula. Semakin kompeten, berarti semakin terbuka kesempatan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. Dan, kondisi inilah yang sebenarnya kita harapkan dimiliki oleh anak didik sebagai hasil proses pendidikan dan pembelajaran.
Menerapkan Kompetensi Keahlian dalam Kehidupan
Permasalahan yang selanjutnya dihadapi oleh anak adalah setelah mereka menyelesaikan masa pendidikannya. Apa yang harus mereka lakukan setelah menyelesaikan amsa pendidikannya? Hal ini seringkali menjadi sesuatu fenomental bagi masyarakat. Dalam hal ini, jalan yang dituju oleh anak didik dapat dibedakan atas meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi ataukah langsung terjun ke masyarakat sebagai tenaga kerja.
Untuk mereka yang melanjutkan masa pendidikan ke jenjang lebih tinggi, mungkin tidak begitu bermasalah sebab selanjutnya tugas mereka adalah belajar dan belajar. Tetapi, bagi mereka yang memutuskan langsung terjun ke dunia kerja, mungkin karena orangtua tidak mampu membiayai atau mereka merasa tidak mampu secara intelektualitas, maka kompetensi keahlian menjadi sesuatu yang sangat penting. Mereka harus dapat melakukan kegiatan produktif yang memberikan income bagi kehidupannya.
Oleh karena itulah, maka hal terpenting yang harus dilakukan oleh anak didik, bahkan jauh sebelum mereka menyelesaikan masa pendidikannya adalah menerapkan kompetensi keahlian dalam kehidupannya. Penerapan kompetensi keahlian ini merupakan perwujudan dari upaya pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal. Hal ini sangat memungkinkan sebab segala aspek pendidikan dan pembelajaran yang diikuti oleh anak didik merupakan keterampilan yang secara langsung dapat diterapkan dalam kehidupan.
Dan, kegiatan ini dijadikan sebagai satu keharusan atau program bersama antara pemerintah, sekolah, orangtua , anak didik, dan masyarakat. Dengan menjadikan hal ini sebagai program bersama, maka secara langsung tertanamkan kesadaran bahwa mereka memang harus melakukan hal tersebut jika ingin proses pendidikannya seutuhnya, artinya anak didik tidak hanya menguasai teori melainkan juga praktik dari materi pelajarannya. Anak didik benar-benar menjadi kelompok intelektualis muda (young inteligentsia) sekaligus sebagai ahli muda (young practised). Intelektualis muda memebrikan kesempatan untuk belajar lebih jauh, praktikan muda memberikan kesempatan anak untuk berkiprah dalam dunia kerja secara langsung.
Sekolah kejuruan sebagai institusi penyelenggara pendidikan, pembelajaran, sekaligus pelatihan keterampilan bagi anak didik memang mempunyai tanggungjawab yang besar dalam memberikan kesempatan anak untuk berkiprah aktif dalam kegiatan produktif. Kegiatan produktif inilah yang merupakan langkah penerapan kompetensi keahlian anak didik. Jika hal ini dilakukan, maka proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah benar-benar memfasilitasi kesempatan anak didik untuk eksis dalam kehidupannya di masyarakat. Sekolah harus melaksanakan hal ini jika menginginkan anak didiknya menjadi sosok-sosok kreatif dan inovatif untuk kehidupannya. Menerapkan kompetensi keahlian dalam kehidupan menjadi cermin keberhasilan dunia pendidikan dalam mengelola proses mempersiapkan anak didik menjadi orang-orang yang berdaya bagi kehidupan.
Pentingnya Kompetensi Keahlian Bagi Hidup
Tingkat persaingan hidup semakin lama semakin ketat. Hal ini dapat kita ketahui dari kenyataan bahwa jumlah pencari kerja semakin banyak. Tingkat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan terasa semakin sulit. Jika pada beberapa waktu lalu, kesulitan itu dialami oleh mereka yang berpendidikan rendah, sekarang ternyata berkembang hingga mereka yang berpendidikan tinggi.
Jika pada jaman dulu, orangtua selalu mendorong anak-anaknya untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya dengan asumsi bahwa dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin terbuka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang ringan tetapi memberikan hasil besar. Dan, pada saat itu hal tersebut memang sangat signifikan. Bakan pada saat tersebut, orang-orang dapat berpindah tempat kerja dengan begitu mudahnya. Mereka tidak perlu susah-susah mencari pekerjaan sebab tidak sedikit dari mereka yang bekerja karena panggilan dinas dari instansi tertentu. Mereka tidak perlu membuat lamaran kerja dan menawarkan kesana kemari. Saat itu pekerjaan yang mencari pekerja.
Tetapi, untuk saat sekarang hal tersebut tidak menjamin bagi kita. Bahwa untuk saat sekarang ini kondisi mengalami perubahan yang sangat drastic sebab konsumen dan produsen sudah tidak seimbang. Lapangan pekerjaan dengan jumlah para pencari pekerjaan sudah sangat tidak seimbang. Satu lapangan pekerjaan harus direbut ribuan calon pekerja. Dengan demikian persaingannya semakin ketat. Mereka yang tidak siap untuk ikut bersaing, maka tersingkirkan dari antrian panjang para pencari pekerjaan. Dan, yang muncul sebagai pemenangnya adalah mereka yang mempunyai kemampuan, baik kemampuan intelektual, keterampilan dan mereka yang mempunyai kemampuan dalam sisi finansialnya.
Dengan memperhatikan gambaran sederhana tersebut, setidaknya kita mengetahui bahwa tingkat persaingan di dunia kerja memang sangat ketat dan tidak semua orang mendapatkan kesempatan. Oleh karena itulah, maka perlu ada langkah-langkah konkrit untuk memberikan bekal aplikatif bagi kehidupan ini. dengan perubahan pola hidup menuju globalisasi dalam segala aspek, tentunya dibutuhkan orang-orang yang selalu siap dalam kondisi apapun. Kita tidak membutuhkan orang pandai tetapi hanya secara teoritis semata, tidak mempunyai keterampilannya terkait dengan kepandaiannya tersebut. Begitu juga, kita tidak butuh orang yang mampu secara praktik tetapi tidak mempunyai bekal teorinya. Sedapat mungkin, kita harus mengkondisikan adanya perimbangan antara teori dan praktik.
Kompetensi keahlian untuk saat sekarang sudah menjadi satu kondisi yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Ada banyak contoh yang mengalami kegagalan dalam hidupnya sebab pada dirinya tidak ada kompetensi yang mampu dijadikan sebagai bekal kehidupannya. Mereka boleh pandai, tetapi sama sekali tidak mempunyai kemampuan, kompetensi sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akibat yang terjadi adalah mereka tersingkir dalam persaingan tenaga kerja. Cukup banyak calon pekerja yang gugur dan terjerebab dalam ketidakberdayaan saat harus bersaing dengan yang lainnya. Mereka mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi tetapi, tidak didukung keterampilan yang memadai sehingga tidak dapat survive dalam kehidupannya.
Tetapi hal tersebut sangat berbeda jika yang kita bicarakan adalah orang-orang dengan tingkat kompetensi diri yang tinggi. Walaupun mereka tidak pandai tetapi keterampilan yang mereka miliki merupakan bekal yang tidak ternilai harganya. Orang-orang dengan tingkat kompetensi tinggi masih mempunyai kesempatan untuk bekerja walaupun mereka tidak mendapatkan pekerjaan dari orang lain. Dengan kompetensi yang dimiliki, maka mereka dapat melakukan kegiatan-kegiatan produktif. Mereka tetap survive walaupun tidak perlu melamar pekerjaan. Mereka dapat menerapkan kompetensi dirinya untuk bertahan hidup.
Disinilah pentingnya eksistensi kompetensi keahlian dimiliki oleh anak didik, sebab sebenarnya kehidupan ini hanya dapat berlangsung jika ada orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan produktif bagi masyarakatnya. Oleh karena itulah, maka kita sebagai pembimbing, fasilitator pendidikan dan pembelajaran anak didik seharusnya mulai mengarahkan kerangka proses pada pembekalan kompetensi keahlian bagi anak didik. berikan keterampilan sebanyak-banyaknya kepada anak didik agar mereka dapat survive dalam kehidupannya.
Kompetensi Keahlian untuk Hidup
Kompetensi keahlian adalah keistimewaan yang dimiliki seseorang dan menjadi brandingself. Kompetensi keahlian ini berbeda untuk setiap orang sebab semua tergantung pada kemampuan menyerap dan memahami aspek keahliannya. Semakin bagus tingkat pemahamannya, maka smakin bagus tingkat kompetensinya.
Di dalam kehidupan, tuntutan atas kemampuan istimewa sangatlah penting sebab tingkat persaingan hidup semakin ketat. Dengan pola kehidupan yang dinamis dan konsekuensi logis atas setiap kondisi yang dihadapi, maka setiap orang harus mempunyai ‘kartu As’ yang dapat dipergunakan untuk menghadapinya. Kartu As inilah yang menjadi cirri khas untuk setiap orang sehingga membedakannya dengan orang lain. Perbedaan inilah yang selanjutnya menjadi penentu posisi seseorang dalam kehidupan.
Tentunya dalam hal ini, orang-orang yang mempunyai kompetensi tinggi menempati posisi baik dalam kehidupan sedangkan mereka yang tidak mempunyai kompetensi tersisih dan terpinggirkan. Selanjutnya hal ini membuka kesempatan bagi dirinya untuk bersaing mendapatkan segala hal yang dibutuhkan dlaam kehidupan.
Jadi sebenarnya, kompetensi keahlian adalah sarana untuk hidup. Dengan memanfaatkan kompetensi keahlian yang kita miliki, maka kita dapat menghadapi kehidupan dengan sebaik-baiknya. Setiap permasalahan hidup dapat kita hadapi dan selesaikan dengan kompetensi keahlian yang kita miliki. Walaupun kompetensi keahlian sedemikian kecil, tetapi jika diterapkan sebaik-baiknya dan proprosional, maka hal tersebut dapat meningkatkan survive hidup. Misalnya menulis, jika kita mempunyai kompetensi menulis, maka menulis dapat kita jadikan sebagai sumber income kehidupan kita. Dengan menulis, maka banyak orang yang mampu bersaing dalam hidupnya dan bertahan dari kesulitan yang ada. Begitu juga dalam hal yang lain. Kompetensi keahlian yang kita miliki adalah untuk menghadapi hidup dan menyelesaikan setiap permasalahan yang ada dalam kehidupan. Itulah urgensinya.

Menciptakan Entrepreneur Muda dari Sekolah

Sekolah dalam bahasa Yunani dikatakan sebagai waktu luang. Selanjutnya pengertian ini mengalami sebuah perkembangan arti sebagai upaya untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan-kegiatan positif untuk kehidupan. Bahkan selanjutnya sekolah dapat diartikan sebagai bangunan yang didirikan untuk menyelenggarakan proses atau kegiatan-kegiatan positif. Dan, yang terakhir kita dapat mengartikan bahwa sekolah adalah proses belajar, yaitu proses penyesuaian diri dengan lingkungan luar. Dengan memperhatikan pengertian-pengertian tersebut, maka kita mendapatkan informasi bahwa sekolah mencoba mengkondisikan anak didik agar siap menghadapi kehidupan dengan sebaik-baiknya. Untuk hal tersebut berarti anak didik harus membekali diri tidak hanya dengan pengetahuan dan sikap positif, tetapi juga dengan keterampilan aplikatif bagi kehidupannya.
Efektifitas pemanfaatan waktu luang dalam proses belajar memang diarahkan agar anak didik mengisi dengan kegiatan positif. Kegiatan positif ini sudah seharusnya dilakukan oleh semua orang agar kehidupannnya benar-benar berarti. Dengan demikian, maka terkurangi kemungkinan bertambahnya para pengangguran terdidik di negeri ini. Sudah cukup banyak pengangguran di negeri ini, setiap tahun terus mengalami perkembangan sebab setiap tahun sekolah meluluskan sekian banyak anak yang belum siap untuk mengisi lapangan pekerjaan. Banyak anak didik yang sudah menyelesaikan masa belajarnya dan belum mampu survive dalam kehidupannya dengan mengimplementasikan bekal yang didapatkan dari proses belajar. Tentunya hal ini sangat merugikan sebab masa belajar dengan biaya yang tidak sedikit ternyata tidak kontributif untuk kehidupan yang lebih baik.
Menyadari kondiri tersebut, maka sekolah menerapkan berbagai konsep program yang mengedepankan upaya memberikan bekal life skill kepada anak didik. hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran di sekolah kejuruan, yaitu membimbing anak didik agar menjadi tenaga kerja kelas menengah yang siap bekerja. Sekolah kejuruan memang mengedepankan proses pembelajaran yang aplikatif dengan kompetensi keahlian bagi anak didiknya. Dan, yang lebih nyata adalah adanya program-program kewirausahaan yang dilaksanakan secara integral dengan program pembelajaran. Program ini disusun dan dilaksanakan sebagai satu kesatuan kegiatan yang mempersiapkan anak didik sebagai bagian dunia secara aktif.
Spesifikasi Program di Sekolah Kejuruan
Program pembeljaaran di sekolah kejuruan memang berbeda dengan sekolah umum. Hal ini karena tujuan pembelajaran di sekolah kejuruan memang tidak sama dengan sekolah umum. Hal yang paling utama adalah pembelajaran praktik, yaitu pembelajaran yang bertujuan memberikan bekal keterampil-an aplikatif. Pendidikan kejuruan memanag mempersiapkan anak didik sebagai tenaga kerja kelas menengah yang siap bekerja di masyarakat. Oleh karena itulah, maka program pembelajaran yang diterapkan adalah pembelajaran dengan konsep learning by doing.
Pembelajaran dengan konsep learning by doing merupakan program yang meletakkan konsep bahwa sebenarnya efektivitas pembelajaran dapat dicapai jika anak didik mengalami secara langsung aspek yang dipelajarinya. Dengan mengalami sendiri segala hal terkait dengan aspek belajar, maka setidaknya anak didik mempunyia pengalaman psikis dan fisik yang utuh. Dengan menerapkan konsep learning by doing, maka terjadi keseimbangan pengalaman psikis dan fisik. Kondisi ini memungkinkan tertanamnya pengalaman sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupananak didik sekarang dan masa depan.
Untuk dapat melakukan proses pembelajaran dengan konsep learning by doing, maka pengelola sekolah melakukan kolaborasi antar mata pelajaran dan selanjutnya menyusun sebuah garis besar pembelajaran yang spesifik. Kolaborasi mata pelajaran ini disesuaikan dengan kebutuhan hidup sehingga pada saatnya nanti, anak didik dapat menerapkannya untuk kehidupannya. Hal ini sangat penting agar tujuan pembelajaran di sekolah kejuruan bukan sekedar wacana semata.
Spesifikasi program di sekolah kejuruan ini dapat kita lihat dari materi pembelajaran yang salah satunya adalah pembelajaran produktif, yaitu pembelajaran yang membimbing anak didik agar dapat menghasilkan barang atau jasa. Aspek inilah yang tidak kita dapati di sekolah umum. Pembelajaran produktif ini merupakan implementasi dari konsep learning by doing. Anak didik dibimbing untuk melakukan kegiatan belajar dengan melakukan secara langsung dalam bentuk praktik. Pada saat inilah anak didik diberikan pembelajaran untuk menghasilkan barang atau jasa.
Program pembelajaran di sekolah kejuruan memang sangat spesifik. Hal ini karena tujuan pembelajarannya berbeda jika dibandingkan dengan pembelajaran pada umumnya. Anak didik harus terbiasa melakukan kegiatan praktik agar mereka menguasai konsep dan sekaligus cara mengaplikasikan konsep dalam pekerjaan nyata. Anak didik dapat langsung bekerja setelah menyelesaikan masa belajarnya atau jika ada dana, maka mereka dapat melanjutkan masa belajar di perguruan tinggi.
Bekal keterampilan teknis untuk entrepreneur muda
Entrepreneur adalah orang-orang yang mempunyai visi dan misi kuat untuk melakukan kegiatan-kegiatan nyata dengan menciptakan dan mengembangkan sendiri semua sumber daya diri tanpa bergantung pada bantuan orang lain. Orang-orang dalam kelompok ini mengefektifkan semua potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan visi hidup dan didukung kegiatan nyata.
Ada banyak kegiatan hidup yang sebenarnya dapat dipersiapkan sejak dini sehingga pada akhirnya, saat dibutuhkan, maka kita tinggal mengaplikasikannya. Persiapan yang kita lakukan merupakan kegiatan pengembangan potensi yang ada dalam diri dan memunculkannya sebagai keahlian khususnya. Hal ini untuk mengantisipasi kebutuhan hidup atas orang-orang yang kreatif dengan tingkat keterampilan yang memadai. Hidup ini membutuhkan orang-orang kreatif yang dengan kreativitasnya mampu melakukan perubahan pola kehidupan, khususnya pada dirinya.
Program pembelajaran di sekolah kejuruan yang mengedepankan produktivitas membutuhkan proses pembekalan yang memadai. Dan, sebenarnya hal paling utama adalah bekal keterampilan bagi anak didik. Bekal keterampilan ini ssecara sistematik dan berkesinambungan harus diberikan kepada anak didik sehingga bekal tersebut utuh. Artinya sejak tingkat pertama anak didik sudah diberikan landasan keterampilan dan secara berjenjang mereka menerima kelanjutan dari keterampilan tersebut. Bekal keterampilan ini diberikan secara teoritis maupun praktis, terutama dititikberatkan pada keterampilan praktis.
Untuk menciptakan entrepreneur muda dari sekolah, maka bekal keterampilan merupakan modal utama bagi anak didik. Tanpa bekal keterampilan yang memadai, maka segala keinginan, visi tidak mungkin dapat terwujudkan. Keterampilan adalah modal untuk berkarya. Hal ini karena untuk menjadi entrepreneur, maka kita harus dapat memanfaatkan kemampuan kita secara maksimal dan tidak bergantung pada orang lain. Artinya anak harus melakukan kegiatan berdasarkan keterampilan yang dimilikinya secara maksimal dan tidak berharap bantuan secara langsung dari orang lain.
Keterampilan teknis ini merupakan bekal untuk melakukan kegiatan produksi atau menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat. Bekal inilah yang sesungguhnya digarap secara intens dalam proses pembelajaran. Dengan proses pembelajaran ini, maka setiap saat dapat ditingkatkan kemampuan anak sehingga pada saatnya mereka menjadi orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Jika kondisi ini sudah tercapai, maka selanjutnya anak didik mengaplikasikan dalam kehidupannya.
Keterampilan Usaha atau Entrepreneur skill
Setelah anak didik diberi keterampilan teknis untuk melaksanakan kegiatan produksi barang atau jasa, maka selanjutnya keterampilan ini didukung dengan bekal keterampilan usaha atau entrepreneurship sesuai bidangnya. Anak-anak dibimbing dengan berbagai kegiatan, bahkan kiat untuk dapat melakukan kegiatan usaha yang efektif.
Keterampilan usaha ini merupakan follow up dari kegiatan produksi yang sudah dilakukan oleh anak didik dalam proses pembelajaran. Dalam proses ini, anak didik diberikan berbagai pengetahuan dan keterampilan untuk dapat memasarkan hasil kerjanya kepada masyarakat, konsumen. Pada proses pembelajaran keterampilan usaha ini, anak didik dihadapkan secara langsung dengan pekerjaan dan upaya memasarkan hasil pekerjaan tersebut.
Dalam pembelajaran keterampilan usaha, anak didik dikondisikan untuk dapat menerapkan konsep-konsep usaha yang mengedepankan kemampuan dirinya. Oleh karena itulah, anak didik dibimbing untuk mengembangkan diri dengan interaksi pada masyarakat secara aktif. Anak-anak diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan keterampilan yang diarahkan pada pelayanan masyarakat.
Tentunya dalam hal ini anak didik dapat memperoleh pekerjaan dari masyarakat dan selanjutnya, mengerjakannya di bengkel sekolah. Dengan melakukan kegiatan ini, maka anak didik memperoleh income dari jasa kerja dan sekaligus menciptakan jejaring kerja dengan masyarakat. Inilah yang sesungguhnya sedang kita kerjakan bagi perkembangan dan peningkatan kualitas anak didik.
Dengan memberikan keterampilan usaha kepada anak didik, maka sebenarnya kita telah menciptakan entrepreneur muda dari sekolah. Anak-anak yang telah menyelesaikan masa belajar dapat secara langsung masuk ke dunia kerja dengan bekerja sendiri berdaarkan bekal keterampilan yang dimilikinya. Dalam hal ini anak didik tidak harus bergantung pada orang lain, pabrik untuk dapat survive dalam hidupnya. Inilah yang sesungguhnya proses mendidik entrepreneur muda dari sekolah.

Sabtu, 23 Januari 2010

Program Pembelajaran Berbasis Produksi

Program pembelajaran di sekolah kejuruan merupakan program khusus yang diarahkan untuk menjadi-kan lulusannya sebagai tenaga kerja ataupun young entrepreneur berbasis sekolah. Dengan mengikuti proses pembelajaran di sekolah kejuruan, maka goal yang ingin dicapai adalah kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan atau bekerja. Terlalu banyak lulusan yang gagal menghadapi kehidupan. Para lulusan pendidikan ternyata hanya menjadi pengangguran terdidik, yaitu kelompok orang-orang yang mempunyai tingkat inteletualitas tinggi tetapi tidak dapat berperan aktif dalam kehidupan nyata.
Orangtua mengirim anak-anak belajar di sekolah kejuruan adalah untuk mempermudah anak-anak mendapatkan pekerjaan tersebut. Hal ini sebagai wujud kesadaran masyarakat bahwa harus ada spesifikasi dan kualifikasi kemampuan anak untuk dapat bertahan hidup dalam kehidupan ini. Mereka sangat menyadari bahwa tingkat persaingan tenaga kerja ataupun pendidikan sangat ketat sehingga kemungkinan masuk menjadi semakin kecil. Apalagi ketika menyadari bahwa semakin hari kualitas calon tenaga kerja semakin bagus dan hal tersebut semakin meningkatkan kualitas persaingan.
Pilihan orangtua jatuh pada sekolah kejuruan sebab di dalam proses pembelajarannya, sekolah kejuru-an mempunyai muatan pembelajaran keterampilan aplikatif, yaitu keterampilan yang banyak digunakan oleh masyarakat. Kondisi ini menjadi alasan utama para orangtua untuk mengirimkan anak-anaknya ke sekolah kejuruan. Bagi orangtua, program dan proses pembelajaran di sekolah kejuruan merupakan program aplikatif. Setiap hal yang diajarkan disekolah kejuruan adalah hal-hal yang memungkinkan anak didik mampu bertahan hidup dengan segala hal yang didapat dari proses pendidikan dan pembelajaran.
Sekolah Kejuruan = Sekolah Keterampilan
Satu hal yang perlu kita sadari dari proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah kejuruan adalah pembelajaran keterampilan. Program pembelajaran ini meurpakan ciri khas sekolah kejuruan. Oleh karena itulah, maka sekolah kejuruan disebut juga sekolah keterampilan.
Tetapi dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara sekolah kejuruan dengan sekolah umum. Di sekolah umum, keterampilan memang diberikan sebagai salah satu mata pelajaran, tetapi isi dan tujuannya tentu saja berbeda. Keterampilan di sekolah umum diberikan agar anak didik mempunyai keterampilan pendamping untuk kehidupannya. Di sekolah kejuruan, keterampilan ini adalah kompetensi dasar yang harus dimiliki anak didik.
Keterampilan yang dimaksudkan disekolah kejuruan adalah keterampilan yang secara langsung dapat diterapkan dalam kehidupan dan menjadi brandingself. Selnajutnya brandingself ini adalah nilai plus dan nilai jual bagi anak didik. keterampilan yang didapatkan di dalam pembelajaran sekolah kejuruan adalah bagian integral dan diarahkan sebagai aplikasi keahlian anak didik.
Oleh karena itulah, maka perlu kiranya disadari oleh semua pihak bahwa sekolah kejuruan adalah institusi pendidikan yang sekaligus mengadakan proses pelatihan bagi anak didik. sekolah kejuruan adalah sarana diklat, pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan anak didik sebagai sosok terdidik dan terlatih untuk bekerja. Dengan proses pelatihan, maka anak-anak lulusan sekolah kejuruan dapat langsung berperan dalam kehidupan. Anak-anak dapat langsung bekerja pada orang lain atau lebih khusus mempergunakan keterampilannya sebagai modal kerja mandiri.
Sekolah kejuruan memberikan bekal keterampilan keahlian yang dapat menjadi bekal kehidupannya. Keterampilan ini adalah alat hidup. Dengan keterampilan ini, anak didik dapat bekerja agar survive dalam kehidupannya. Hal inilah yang paling penting dari konsep kerja sekolah kejuruan. Mencetak anak-anak menjadi tenaga kerja atau orang-orang yang produktif. Dengan cara atau program ini, maka setelah anak didik menyelesaikan masa pendidikan dan pembelajarannya, mereka tidak perlu bingung mencari pekerjaan, Mereka dapat menerapkan bekal keterampilannya untuk memperoleh penghasilan bagi kehidupannya.
Dengan demikian secara luas, sekolah telah melakukan pembatasan atas pertambahan jumlah pengangguran terdidik. Keterampilan yang dimiliki oleh anak didik dari proses pendidikan dan pembelajaran telah menjadi jembatan penghubung yang efektif anak dengan kehidupan masyarakat. Anak didik mampu melakukan kegiatan produktif dalam kehidupan sebab keterampilan yang dimilikinya.
Pembelajaran Praktik Berorientasi Produk
Proses pembelajaran di sekolah kejuruan memang salah satu aspeknya adalah pembelajaran produktif. Pembelajaran produktif merupakan perwujudkan dari upaya memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengaplikasikan pembelajaran keterampilan atau psikomotorisnya. Seperti kita ketahui, sekolah kejuruan memberikan keterampilan aplikatif kepada anak didik adalah agar dapat berjuang hidup dengan bekal keterampilan tersebut. Keterampilan itu adalah nilai-nilai positif yang dimiliki lulusan SMK dan tidak dimiliki oleh lulusan SMU. Dengan demikian dapat meningkatkan kesempatan dalam persaingan tenaga kerja ataupun penciptaan lapangan pekerjaan.
Oleh karena itulah, maka program pembelajaran praktik yang dilaksanakan di sekolah kejuruan tidak hanya terbatas agar anak didik praktik membuat benda kerja tetapi secara nyata anak didik harus membuat benda kerja. Program pembelajaran harus sudah diarahkan untuk memperoduksi barang yang dibutuhkan masyarakat. Dengan cara seperti ini, maka efektivitas program dapat tercapai maksimal, yaitu penguasaan keterampilan oleh anak didik sesuai standar kebutuhan masyarakat.
Program pembelajaran praktik sudah saatnya diarahkan untuk dapat menghasilkan barang layak pakai, bukan barang yang hanya bakal disimpan di gudang. Dengan demikian, bahan yang digunakan untuk praktik dapat memberikan income yang selanjutnya dijadikan sebagai dana untuk pengadaan bahan berikutnya. Hal ini merupakan sala satu teknik manajemen keuangan untuk kegiatan pembelajaran praktek. Tentunya dengan demikian, maka ada penghematan pada sisi keungan untuk kegiatan praktik.
Pembelajaran berorientasi produksi artinya setiap kegiatan praktik yang dilaksanakan di bengkel sekolah diarahkan untuk memproduksi barang atau jasa. Anak-anak dikondisikan untuk dapat membuat barang-barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat, baik karena memperoduksi sendiri atau melayani pesanan dari masyarakat. Dengan demikian, maka rasa tanggungjawab anak didik dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya sehingga menjadi seorang professional muda. Anak didik dapat menjadi young entrepreneur yang mumpuni sejak sekolah.
Program pembelajaran praktik di sekolah kejuruan sudah seharusnya diarahkan untuk memberikan bekal kemampuan hidup. Dan, belajar membuat, menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat. Dengan cara seperti ini, anak didik terbiasa menghasilkan barang dan jasa sehingga dapat memperoleh income dan sekaligus langganan untuk pekerjaannya.
Di samping itu semua, dengan mengarahkan proses pembelajaran kearah produksi, maka aspek pembiayaan proses dapat ditutup oleh hasil penjualan barang atau jasa dari bengkel sekolah. Barang-barang yang diproduksi dalam proses pembelajaran di bengkel sekolah dapat dijual ke masyarakat dan dana yang diperoleh dapat diarahkan untuk membeli bahan baru pembelajaran praktik selanjutnya. Dengan demikian, maka kesinambungan proses pembelajaran praktik dapat ditingkatkan tanpa harus mengganggu pos lainnya, atau setidaknya dapat menjadi dana sharing untuk proses pengadaan bahan dan alat yang dibutuhkan untuk pembelajaran praktik.
Program pembelajaran yang diorientasikan pada produk memberikan kesempatan kepada semua pihak terkait untuk ikut berperan dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Dan, yang paling penting dalam hal ini adalah terbukanya kesempatan bagi anak didik untuk secara aktif melakukan kegiatan produksi berbasis sekolah.
Perlu Kurikulum Khusus untuk Implementasi Program
Sebenarnya, proses pembelajaran di sekolah kejuruan sudah diarahkan untuk memberikan bekal keterampilan kepada anak didik. Dalam hal ini, acuan untuk proses pendidikan dan pembelajaran sebenarnya sudah diterapkan oleh sekolah. Acuan ini adalah kurikulum yang setiap tahun mengalami perubahan disesuaikan dengan kondisi atau kebutuhan masyarakat.
Setiap tahun kurikulum mengalami perubahan sebab kondisi masyarakat yang dinamis. Sebagai institusi dan kegiatan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, maka proses pendidikan dan pembelajaran harus selalu menyesuaikan diri agar setelah lulus anak-anak mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan produktif. Dengan kemampuan inilah, maka selanjutnya anak didik berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka langsung bergiat dalam kehidupan dan bukan menajdi pengangguran yang meresahkan masyarakatnya.
Kurikulum khusus yang kita maksudkan dalam hal ini adalah kurikulum yang disusun berdasarkan kesepakatan antara sekolah dengan dunia usaha/dunia industry atau masyarakat secara umum. Sekolah dan dunia usaha/dunia industry harus membuat kesepakatan untuk materi pelajaran yang signifikan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan kurikulum yang merupakan hasil penyusunan bersama inilah, maka setidaknya aspek pembelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Setiap aspek yang dibutuhkan masyarakat sedapatnya dialokasikan dalam jatah pembelajaran yang harus diberikan di sekolah. Dengan demikian, anak didik benar-benar mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan dalam kehidupan ini. Artinya anak-anak benar-benar mempelajari dan melatih diri dengan materi yang memang dibutuhkan dalam hidup.
Perlu guru yang kompeten di bidangnya
Untuk dapat mewujudkan semua program yang sudah dicanangkan oleh pemerintah dan sekolah pada khususnya, maka diperlukan kerjasama dari setiap elemen terkait. Hal ini mengingat bahwa proses pendidikan merupakan kegiatan kompleks dengan berbagai aspek kegiatan. Oleh karena itulah, maka perlu kesinergisan langkah sehingga program kerja tidak timpang dalam pelaksanaannya.
Khususnya dalam aspek pembimbing atau guru yang akan mendampingi anak didik dalam proses pendidikan dan pembelajarannya. Bagaimana-pun guru masih menjadi sentra kegiatan pembelajaran bagi anak didik. Hal ini karena sifat anak didik yang masih labil, gampang mengalami perubahan jiam terpengaruh oleh sesuatu di luar dirinya.
Dalam hal pembelajaran berbasis produksi, gruu memegang kunci keberhasilan proses sebab guru tidak hanya mendidik dan mengajar, melainkan juga melatih anak didik agar menguasai teknik dan aplikasi keterampilan. Dengan posisi sebagai pelatih, instruktur, peranan guru menjadi sentral kegiatan, artinya anak didik membutuhkan eksistensi guru dalam kegiatannya.
Dengan posisi guru sebagai sentral kegiatan, tentunya dibutuhkan guru-guru yang benar-benar menguasai, kopeten dalam bidang tersebut. Jika tidak, maka proses pelatihan menjadi pelatihan sastra, banyak omong tetapi sedikit kegiatan nyata. Padahal seharusnya sedikit omong tetapi banyak bekerja. Dalam bidang teknik, yang dibutuhkan adalah orang-orang yang suka giat bekerja, bahkan maniak kerja agar pekerjaan dapat segera diselesaikan dan memberikan hasil berupa income financial dan penghargaan masyarakat atas hasil pekerjaan kita.
Guru-guru harus kompeten dalam bidangnya agar semua aspek pembelajaran tersampaikan kepada anak didik secara maksimal. Semua waktu yang digunakan secara efektif untuk proses pelatihan dan setiap kemampuan yang dimiliki oleh guru dapat tersampaikan untuk anak didik. dengan kompetensi yang dimiliki oleh guru, maka setidaknya anak didik dapat memiliki kemampuan yang sama dengan sang guru.
Program pembelajaran berbasis produksi memang menuntut semua elemen terkait berperan aktif untuk pelaksanaan terbaik bagi anak didik. Hal ini karena hanya dengan kerjasama, maka segala sesuatu dapat dicapai secara maksimal. Dengan menerapkan pola program pembelajaran berbasis produksi, berarti sekolah sudah mengarahkan anak didik sebagai sosok-sosok produktif dengan keterampilan yang memadai. Dan, hanya guru-guru yang kompeten dapat memberikan pelatihan maksimal bagi anak didik.
Selanjutnya jika hal tersebut benar-benar terwujud, maka sekolah-pun mendapatkan keuntungan sebab hasil kegiatan anak-anak yang memproduksi barang atau jasa untuk masyarakat telah memposisikan sekolah di hati masyarakat. Dan, pada akhirnya, kegiatan ini dapat menjadikan sekolah sebagai pusat kegiatan keterampilan bagi masyarakat.

Minggu, 17 Januari 2010

Guru sebagai Agen Pendidikan

Proses pendidikan diarahkan untuk melakukan perubahan konsep pemikiran anak sehingga tercipta dinamisasi sikap yang bermuara pada upaya peningkatan kualitas diri secara maksimal. Dengan perubahan konsep ini, maka selanjutnya diharapkan dapat mengarahkan pola pemikiran yang benar – benar mampu menunjukkan jati dirinya di antara lingkungan kehidupan yang serba ketat dalam persaingan global.
Untuk dapat mengembangkan konsep pemikiran ini, maka pendidikan dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat dasar hingga menengah dan pada akhirnya ke jenjang tinggi. Di setiap jenjang dibutuhkan orang-orang yang mempunyai kemampuan sesuai dengan kebutuhannya sehingga apa yang dipelajari, apa yang dididikkan kepada anak didik benar-benar sesuai dengan kondisi yang dihadapi di masyarakat.
Dalam konteks ini, guru adalah sosok yang secara langsung meng-ambil atau mendapatkan tugas dan kewajiban untuk mendampingi anak-anak yang belajar sehingga benar-benar mendapatkan materi pelajaran yang tepat. Hal ini karena guru adalah sumber pengetahuan dan keterampilan yang mampu ditransfer ke anak didik.
Guru adalah sosok yang dianggap mempunyai kemampuan lebih dalam upaya melakukan perubahan konsep pemikiran pada anak didik sehingga tercipta dinamisasi secara signifikan dengan kondisi kehidupannya. Dengan demikian, maka anak didik benar-benar melakukan proses pendidik-an yang dibimbing oleh guru.
Terkait dengan upaya peningkatan kualitas diri dengan perubahan konsep pemikiran anak terhadap setiap permasalahan hidup, maka keberada-an guru memang merupakan keniscayaan. Dengan adanya guru, maka anak dapat memperoleh berbagai hal yang dipercaya dapat meningkatkan kualitas dirinya serta merubah konsep pemikirannya terhadap segala hal.
Tugas guru di dalam proses perubahan konsep pemikiran dan pening-katan kualitas diri secara maksimal sangatlah berat sebab terkait dengan pola pemikiran yang nilainya sangat relatif antara satu dengan yang lainnya. Kita tidak dapat mengevaluasi secara pasti tingkat penguasaan konsep pemikiran yang dimiliki oleh seseorang setelah mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran.
Di dalam proses pendidikan dan pembelajaran, tugas dan kewajiban guru adalah sebagai agen pendidikan (agent of education). Dalam hal ini guru berperan sebagai agen yang mengatur distribusi pengetahuan jatah anak didik. Sekaligus di dalam hal ini guru adalah pelaku pendidikan yang secara aktif memberikan materi pelajaran yang menjadi jatah pembelajaran anak didik.
Secara umum peranan guru sebagai agen pendidikan adalah untuk menyelenggarakan proses pendidikan untuk anak didik agar terjadi proses transfer pengetahuan, sikap dan keterampilan secara proporsional dan mampu dijadikan sebagai bekal kehidupan anak didik. Sebagai agen pendidikan, maka seorang guru harus dapat memposisikan diri secara tepat dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang relevan dengan kebutuh-an hidup di masyarakat.
Sebenarnya sejak dahulu, saat orang mulai melakukan dan membutuh-kan proses belajar telah terjadi proses transfer yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain sehingga terjadi perubahan yang signifikan atas kondisi sebelum dan sesudah mengikuti proses belajar. Disinilah pentingnya seorang agen agar proses pendidikan dan pembelajaran dapat berjalan lancar. Tanpa adanya agen, tentunya terjadi kesulitan saat proses berjalan. Akan terjadi kesimpangsiuran proses yang berlanjut pada ketidak berhasilan proses mencapai tujuan yang sesungguhnya.
Berbagai macam bahan pendidikan dan pembelajaran dapat diberikan oleh guru untuk kebutuhan belajar anak didiknya. Anak didik tidak perlu kebingungan saat membutuhkan materi untuk proses pendidikan dan pembelajaran yang diikutinya. Datang saja ke guru, atau ikuti saja ketentuan yang diberikan oleh seorang guru, maka proses pendidikan dan pembelajaran yang diikuti anak didik dapat berlangsung lancar dan tidak terhambat oleh berbagai kesulitan belajar.
Hal ini identik ketika kita membutuhkan barang-barang kebutuhan hidup dengan harga yang lebih murah, maka kita datang ke seorang agen yang dapat menyediakan barang yang kita inginkan tersebut. Di agen, maka semua barang yang kita inginkan tersedia dan kita mendapatkan beberapa rupiah sebagai diskon atas pembelian kita tersebut.
Di dalam proses pendidikan, peranan agen pendidikan tidak jauh berbeda dengan agen barang di toko. Tetapi dalam hal ini tingkat penyediaan barang yang dimaksudkan lebih istimewa dan perlakuan yang lebih khusus. Begitu juga dengan guru sebagai agen pendidikan. Mereka harus memberi-kan pelayanan pendidikan dan pembelajaran yang sebaik-baiknya kepada anak didik sehingga proses perubahan konsep pada anak didik benar-benar tercapai dan menghasilkan anak-anak dengan tingkat kualitas diri yang terbaik dan maksimal bagi sebuah proses.
Proses pendidikan merupakan proses yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga dibutuhkan orang-orang yang mempunyai komitmen tinggi terhadap proses tersebut. Dengan komitmen tinggi terhadap upaya peningkatan dan pengembangan kualitas, tentunya program peng-entasan dunia pendidikan dari keterpurukannya dapat segera diwujudkan secara nyata.
Memang, peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran sebenar-nya sangat terkait dengan eksistensi guru sebagai agen pendidikan. Sebab dengan posisi sebagai agen pendidikan, maka guru berkewajiban untuk memberikan yang terbaik bagi anak didik sehingga tujuan pendidikan dapat dicapai secara maksimal.
Bagaimanapun, proses pendidikan dan pembelajaran membutuhkan orang-orang yang memahami secara baik konsep pendidikan dan pembelajar-an yang dilakukan. Kita tidak mungkin mempercayakan proses pendidikan dan pembelajaran pada orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan sebagaimana yang dituntut sebagai guru.
Tuntutan agar guru benar-benar dapat menempatkan diri sebagai agen pendidikan merupakan aktualisasi dari tugas dan kewajiban guru itu sendiri. Hal ini menunjukkan betapa sebenarnya profesi sebagai guru adalah profesi khusus yang tidak semua orang dapat menjalaninya secara baik. Tidak semua orang dapat menjadi guru yang agen pendidikan, walaupun siapapun dapat saja menjadi guru, pengajar.
Ya, sebenarnya tidak semua orang dapat menjadi guru secara utuh sebab tuntutan profesi yang sedemikian rupa sehingga kemampuan diri merupakan salah satu kondisi yang harus dimiliki oleh orang-orang yang berkeinginan menjadi guru. Boleh saja orang - orang yang mempunyai kemampuan intelektual tinggi mengambil profesi sebagai guru, tetapi tidak semua orang intelek dapat menjadi guru. Ada syarat atau kondisi khusus yang harus dimiliki oleh seseorang ketika memutuskan menjadi seorang guru. Kondisi khusus yang dimaksudkan adalah kemampuan pada penguasaan emosional diri, kemampuan mengelola proses dan tentunya saja kemampuan penguasaan konsep-konsep pendidikan itu sendiri.
Untuk hal tersebut, maka seseorang yang memutuskan untuk menjadi seorang guru harus selalu meningkatkan kemampuan dirinya dengan secara terus menerus dan sistematis. Dengan peningkatan kemampuan diri ini, maka proses pembelajaran yang dilakukannya dapat maksimal.
Kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru adalah bekal yang paling utama dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban secara nurani. Bahwa proses pendidikan dan pembelajaran sebenarnya merupakan proses transfer kemampuan yang dimiliki oleh seseorang (guru) kepada orang lainnya (anakdidik). Transfer hanya dapat dilakukan jika guru mempunyai kelebihan dibandingkan anak didik. Hal ini terkait pada kenyataan bahwa aliran hanya dapat terjadi jika ada perbedaan di antara dua pihak atau banyak pihak. Seperti air sungai, hanya dapat mengalir karena adanya prbedaan tinggi permukaan tanah. Listrik hanya dapat mengalir jika terdapat perbedaan potensial dari sumber listrik dan yang lainnya. Tanpa perbedaan tersebut, maka akan terjadi keseimbangan sehingga menjadikan segala tenang.
Proses pendidikan sebenarnya upaya untuk mengubah dan itu artinya kita selalu berusaha menghilangkan keseimbangan antara sumber dan pemakainya. Dengan ketidakseimbangan kondisi anak didik tersebut, maka kita dapat melakukan proses pendidikan pada anak didik. Dan, disinilah peranan guru sebagai agen pendidikan akan terasa lebih dan memegang peranan tertinggi. Dengan ketidakseimbangan tersebut, maka akan terjadi upaya secara terus menerus untuk menyeimbangkan kondisi dengan melalui proses belajar. Dan, guru adalah agen utama yang menjadi pelaku utama proses dan anak didik adalah subyek belajar yang menerima dan memiliki semua yang diberikan oleh guru untuk dimanfaatkan sebagai bekal hidupnya.
Sebagai agen pendidikan, maka guru sudah seharusnya menyadari posisinya secara baik dan melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya

Minggu, 10 Januari 2010

Jiwa Kewirausahaan Perlu Ditanamkan secara Integral

Setiap saat, dunia pendidikan selalu menjadi sasaran tembak bagi ketidakpuasan masyarakat atas hasil prosesnya. Hal ini dapat kita temukan di setiap akhir tahun pembelajaran ataupun setelah anak didik dinyatakan tamat pembelajaran dan lulus ujian. Anak-anak memasuki dunia kehidupan di masyarakat sehingga mereka dituntut untuk dapat menjaga eksistensi dirinya dengan kemampuan yang didapatkan dari proses pendidikan dan pembelajaran. Tetapi, yang dihadapi oleh masyarakat sungguh sangat berlainan dengan kenyataan. Anak-anak belum dapat memenuhi keinginan masyarakat, apalagi kebutuhan masyarakat atas sosok-sosok yang mampu berperan untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Seperti kita ketahui bersama, salah satu hal yang menjadi cerminan atas ketidakberhasilan proses pendidikan, setidaknya ini adalah anggapan masyarakat, adalah tidak terserapnya lulusan sekolah dalam dunia pekerjaan. Masyarakat melihat bahwa banyak anak-anak yang lulus dari sekolah tidak mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, apalagi untuk masyarakat. Akibatnya, banyak anak-anak yang menjadi pengangguran terdidik di masyarakat. Hal ini oleh masyarakat dianggap sebagai proses yang sia-sia. Proses pendidikan yang sudah dijalani oleh anak didik, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas membutuhkan waktu sekitar dua belas tahun ternyata belum mampu menjadikan anak-anak sebagai sosok yang mampu menangani kegiatan hidup secara ekonomis.
Tentunya kita tidak menyalahkan masyarakat, tetapi juga tidak dapat menghakimi sekolah sebagai institusi pendidikan yang gagal menjalankan perannya. Dalam konteks ini kita harus dapat berpikir dan bertindak bijak sebab proses pendidikan merupakan tanggungjawab dan kewajiban bersama. Dengan demikian, ketika proses pendidikan dan pembelajaran dianggap mengalami kegagalan, maka seharusnya bukan hanya guru dan sekolah yang menjadi kambing hitam kesalahan proses. Untuk itulah, maka kita perlu melakukan repersepsi dan rekonstruksi, bahkan reorientasi terhadap proses pendidikan terkait dengan kebutuhan masyarakat.
Repersepsi terhadap proses pendidikan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memahami secara utuh segala hal yang dilaksanakan dalam proses tersebut. Dengan demikian, maka diharapkan setiap pihak benar-benar memahami konsep dasar pendidikan terkait dengan tanggungajwab dan kewajiban penyelenggaraan proses pendidikan. Repersepsi memungkinkan tumbuhnya kesadaran atas tujuan pendidikan yang hendak dicapai secara pribadi, lokal, nasional, maupun internasional. Diharapkan hal ini dapat mengurangi sikap negative terhadap hasil proses pendidikan terhadap satu pihak semata.
Rekonstruksi terhadap proses pendidikan memungkinkan setiap orang yang terlibat mampu dan mau mengambil peran secara aktif dalam proses sehingga konstruksi proses dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Jika semua pihak berjibaku secara bersama-sama dalam upaya membentuk kembali (rekonstruksi) bangunan pendidikan di negeri ini, maka kemungkinan pencapaian tujuan sesuai dengan kebutuhan.
Reorientasi terhadap proses pendidikan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mengatur ulang orientasi pendidikan yang diharapkan dapat dicapai oleh proses pendidikan. Setiap pihak dapat mengatur kembali orientasi pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Reorientasi diharapkan dapat membangkitkan semangat baru dalam pengelolaan dan penyelenggaraan proses pendidikan.
Memperhatikan ketiga konsep tersebut, maka salah satu kegiatan konkrit untuk kegiatan yang kontributif adalah pemantapan jiwa kewirausahaan. Kita harus melakukan repersepsi, rekonstruksi, dan reorientasi proses pendidikan sehingga pada saat anak didik menyelesaikan proses, maka mereka benar-benar menjadi sosok-sosok yang mampu berkiprah dalam kehidupannya. Dan, pemantapan jiwa kewirausahaan merupakan langkah konkrit untuk mewujudkan ketiga langkah reposisi pendidkan kita.
Jiwa kewirausahaan harus kita tanamkan kepada anak didik sehingga aspek tersebut benar-benar menjadi bagian integral dalam diri anak didik. Kita harus dapat menjadikan jiwa kewirausahaan ke dalam diri anak didik sehingga hal tersebut menjadi kebiasaan. Jiwa kewirausahaan yang sudah menjadi suatu kebiasaan sangat memungkinkan bagi anak untuk mengaplikasikannya secara langsung dalam kehidupannya, kapan saja. Dengan demikian, maka setidaknya anak didik yang sudah menyelesaikan amsa pendidikannya benar-benar mempunyai bekal berwirausaha dalam hidupnya dan tidak menjadi kelompok pengangguran terdidik. Hal ini juga untuk menggugurkan statement yang sudah ditanamkan masyarakat terhadap dunia pendidikan, yang dikatakan mengalami kegagalan dan proses yang sia-sia. Masyarakat segera terkondisikan apresiasinya terhadap proses pendidikan sebagai proses positif yang mempersiapkan anak didik sebagai sosok kreatif dan siap bekerja. Hal itulah yang terpenting untuk memperbaiki citra dunia pendidikan kita.
Pembiasaan usaha sebagai pemicu semangat kewirausahaan
Sebenarnya, jiwa kewirausahaan dapat kita tanamkan sejak anak-anak mengikuti proses pendidikan di tingkat dasar. Bahkan, masa ini merupakan masa yang paling penting dalam proses pendidikan. Masa menempuh pendidikan di sekolah dasar adalah masa-masa penanaman konsep knowledge dan sikap yang terbaik. Pada usia ini, anak-anak mempunyai daya tanggap yang sangat baik terhadap segala stimulus yang masuk ke dalam dirinya. Anak-anak usia ini mempunyai kemampuan merekam dan menyimpan setiap stimulus dan menjadikannya sebagai bagian integral dari dirinya. Termasuk dalam hal ini jika mereka kita stimulasi dengan kegiatan kewirausahaan. Keterampilan aplikatif yang diharapkan dapat mengarahkan mereka sebagai sosok-sosok mandiri yang mampu menjaga eksistensi dirinya dalam masyarakat, bahkan mengembangkan kondisi kehidupan masyarakatnya secara prima.
Untuk itulah, maka program penanaman jiwa kewirausahaan seharusnya sudah kita lakukan sejak anak didik masih di tingkatan dasar. Pada saat inilah, kita sudah mulai menanamkan konsep-konsep terkait dengan kegiatan kewirausahaan pada anak didik. Kita berikan kepada mereka hal-hal yang terkait dengan kegiatan kewirausahaan, walau hanya pengenalan minimalis. Kita kondisikan anak-anak sehingga melakukan kegiatan dasar kewirausahaan, misalnya kegiatan ekonomi dikelas, kebiasaan usaha, yaitu warung kelas.
Sejak sekolah dasar, anak didik dapat kita latih untuk menanamkan jiwa kewirausahaan agar menjadi bagian integral dalam dirinya. Warung kelas merupakan satu kegiatan ekonomis yang dikelola dan dibiayai oleh anak didik. Warung kelas diselenggarakan di ruang kelas dan dibuka hanya pada saat proses belajar istirahat. Dengan demikian, maka anak-anak tidak perlu keluar kelas jika ingin jajan. Hal ini memudahkan guru untuk memonitor anak-anak saat istirahat. Pada sisi yang lain, warung kelas dapat menghindarkan anak didik dari jajan yang kurang sehat.
Warung kelas dapat kita jadikan sebagai dasar penanaman jiwa kewirausahaan sebab pada kegiatan ini, semua hal dari anak didik, untuk anak didik dan oleh anak didik. Warung kelas ini adalah milik anak-anak sehingga setiap anak mempunyai tanggungjawab dan kewajiban yang sama dalam upaya peningkatan dan kelancaran penjualan jajan yan ada. Setelah jajan habis, maka beberapa orang secara bergantian bertugas untuk belanja makanan dan jajan untuk periode jualan ke depan. Pada saat ini, anak dapat mengetahui apakah warung kelasnya mendapatkan untung ataukah tidak. Dan, nilai keuntungan tersebut ditambahkan untuk belanja untuk membesar atau memperbanyak barang dagangan.
Dengan cara ini, maka tumbuh kesadaran dalam jiwa anak didik bahwa mereka dapat melakukan kegiatan usaha. Kesadaran ini diyakini dapat memicu semangat kewirausahaan anak-anak. Dalam konteks ini yang paling dibutuhkan adalah bimbingan guru agar kegiatan ini tidak mengganggu proses pendidikan anak. Artinya, warung kelas hanya dibuka pada saat sebelum masuk waktu pembelajaran dan pada saat jam istirahat. Diluar kedua jam tersebut, maka secara tegas guru melarang adanya transaksi jual beli.
Memang, pembelajaran kewirausahaan tidak dapat dilakukan secara teoritis. Kita harus mengkondisikan agar anak didik melakukan pembeljaaran kewirausahaan dengan menerapkan learning by doing. Anak didik harus dibiasakan untuk melakukan secara langsung kegiatan terkait dengan penanaman jiwa kewirausahaan sehingga hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan anak beriwrausaha.
Pembelajaran berkesinambungan
Tentunya, proses pendidikan kewirausahaan tidak hanya diberikan pada saat anak di sekolah dasar, melainkan diberikan secara berkesinambungan sejak anak bersekolah di sekolah dasar. Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan di sekolah dasar adalah basis dari seluruh kegiatan pembelajaran kewirausahaan. Hal ini karena, selanjutnya pembelajaran kewirausahaan diberikan kepada mereka di sekolah lanjutan pertama dan dilanjutkan pada saat mereka di sekolah lanjutan atas.
Tentunya dengan cara seperti ini, kita dapat meningkatkan kegiatan kewirausahaannya sehingga setiap saat anak didik merasakan bahwa kegiatan kewirausahaan sangat penting bagi mereka. Di setiap tingkatan sekolah, anak didik kita berikan konsep sekaligus praktik kewirausahaan. Dengan konsep pembelajaran berkesinambungan ini, maka anak selalu berada pada situasi dimana mereka harus melakukan kegiatan ekonomi untuk kelompoknya. Bahkan, untuk anak-anak yang berada di sekolah lanjutan, kegiatan kewirausahaan dapat secara individual. Anak-anak secara individual diberikan kepercayaan untuk menjalankan kegiatan kewirausahaan ini.
Pembelajaran kewirausahaan diberikan kepada anak didik, baik secara konsep maupun praktik. Hal ini agar kompetensi anak didik semakin lengkap. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh anak didik dilengkapi dengan konsep-konsep teoritik sehingga langkah mereka mempunyai dasar dan dapat menjadikan mereka sebagai wirausahawan yang paham lapangan dan landasan kegiatan. Hal ini memungkinkan anak didik tidak sekedar sebagai pelaku kegiatan, melainkan juga sebagai innovator dan creator kegiatan. Kegiatan praktik menjadikan mereka pelaku sedangkan konsep-konsep menjadikan mereka sebagai orang-orang yang selalu memikirkan hal-hal baru berdasarkan konsep yang mereka ketahui.
Setelah di sekolah dasar mereka melakukan langsung kegiatan kewirausahaan dengan konsep sederhana yaitu kegiatan dari, oleh dan untuk mereka sendiri, maka di sekolah lanjutan, konsep tersebut dikembangkan semakin luas untuk melayani orang-orang di sekitar mereka, tidak hanya mereka. Mereka dikondisikan untuk mengembangkan kemampuan usaha ke masyarakat. Mereka harus dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal terkait dengan bidang usahanya.
Pembelajaran kewirausahaan secara berkesinambungan dilaksanakan dengan monitoring dan evaluasi (monev) ketat, artinya secara periodek anak-anak harus melakukan pelaporan atas setiap kegiatan mereka. Mereka harus melaporkan setiap perkembangan usaha yang dilakukan kepada guru pembimbing yang ditugaskan mendampingi kegiatan mereka. Kegiatan monev merupakan kegiatan wajib bagi setiap usaha agar secara dini terpantau perkembangan ataupun kemerosotan usaha, terutama kemerosotannya agar segera dapat diambil kebijakan untuk memperbaiki kondisi.
Memang, kegiatan kewirausahaan yang dilakukan oleh anak didik selama proses pembelajarannya ini diarahkan sebagai proses pendidikan. Tetapi sebenarnya semua itu merupakan kegiatan yang membekali anak didik dengan keterampilan dan kemampuan aplikatif untuk kehidupannya. Dengan demikian, maka setelah mereka menyelesaikan masa pendidikan dan pembelajarannya, sudah siap melanjutkan kegiatan wirausaha yang sudah mereka rintis sejak sekolah tersebut.
Jadikan kegiatan kewirausahaan sebagai kegiatan enjoy
Banyak orang bilang bahwa kegiatan wirausaha adalah kegiatan yang sangat sulit diwujudkan. Hanya mereka yang mempunyai bakat dan keturunan wirausaha yang dapat mewujudkan semua itu. Tentu saja ini hanya memoir atau wacana yang sangat menyesatkan sehingga banyak orang yang mundur sebelum merealisasikan usaha yang mereka inginkan. Mereka termakan oleh wacana tersebut sehingga tidak berani maju hanya karena tidak ada darah keturunan usahawan atau dianggap tidak bakat dalam bidang usaha.
Benarkah opini atau wacana seperti ini? Tentunya kita harus menanggapi hal tersebut secara bijak. Bahwa opini bahwa orang-orang yang berasal dari keluarga usahawan lebih pas jika melakukan kegiatan wirausaha lebih dikarenakan mereka sudah terbiasa pada kondisi usaha. Mungkin sejak kecil mereka sudah melakukan kegiatan usaha walau mereka tidak menyadarinya. Mereka tidak sadar bahwa selama ini mereka telah belajar berwirausaha sebab setiap hari mereka melakukannya. Pada saat waktu luang, mereka ikut melayani transaksi dengan konsumen. Kadang mereka juga ikut melakukan transaksi saat orangtua harus menambah jumlah barang di gudang toko.
Sementara bagi mereka yang tidak mempunyai keluarga atau orangtua yang bergerak di dunia usaha, sejak kecil mereka tidak pernah merasakan bagaimana situasi berwirausaha itu. Mereka tidak mempunyai pengalaman batin untuk kegiatan wirausaha. Akibatnya, mereka harus mengawali kegiatan sejak dari nol. Hal inilah yang seringkali membuat mereka wegah, malas. Mereka merasa berat dan sulit untuk babat alas hutan kewirausahaan. Mereka merasa begitu beratnya langkah saat harus memulai kegiatan kewirausahaan. Tetapi, mereka harus mempertahankan hidup dalam kehidupan ini.
Jika kita sempat berkunjung dan berbaur dengan orang-orang yang menggeluti dunia kewirausahaan kelas menengah kebawah, maka kita akan melihat kenyataan bahwa mereka melakukan semuanya dengan lapang hati. Mereka begitu enjoy saat melakukan kegiatannya. Setiap hari mereka isi dengan keceriaan, kelakar dan sebagainya merupakan hiasan terindah bagi mereka. Mereka adalah kelompok wirausahawan yang tidak hanya mengandalkan bakat, apalagi modal financial untuk pengembangan dan perkembangan usahanya. Mereka melakukan kegiatan usaha dengan enjoy, tanpa beban. Mereka meyakini bahwa yang mereka lakukan anak memberikan kondisi terbaik bagi mereka. Seperti yang disampaikan oleh menteri pendidikan, kegiatan kewirausahaan harus diposiiskan sebagai hobi.
Begitulah, seharusnya kegiatan wirausaha yang kita berikan kepada anak-anak. Kita arahkan dan kondisikan anak-anak sehingga mereka mempunyai apresiasi dan persepsi yang benar terhadap kegiatan wirausaha. Dan, salah satu aspek yang perlu kita tanamkan kedalam hati mereka adalah perasaan senang terhadap kegiatan wirausaha. Anak-anak memang harus diarahkan agar menyenangi kegiatan wirausaha sehingga memposisikan kegiatan ini sebagai kegiatan tanpa beban. Anak-anak harus merasakan bahwa kegiatan wirausaha bukanlah kegiatan yang berat, melainkan kegiatan yang mampu membuat hati nyaman.
Jika anak didik sudah mempunyai perasaan suka dan enjoy saat melakukan kegiatan kewirausahaan, maka itu berarti kita telah menanamkan jiwa kewirausahaan secara integral dalam diri anak didik. Memang kita harus mampu mengkondisikan anak didik sedemikian rupa sehingga secara intens dan terintegrasi dalam diri anak didik.
Lulusan sekolah memang sudah seharusnya adalah sosok-sosok yang mempunyai kemampuan untuk survive. Kemampuan survive tersebut adalah implementasi dari kemampuan wirausaha yang dimiliki anak didik, baik konsep maupun praktiknya. Jika anak didik mampu survive dalam hidupnya, maka hal tersebut mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Dengan kemampuan wirausaha yang dimiliki, maka anak didik tidak hanya sebagai sosok-sosok secara umum, melainkan sosok-sosok produktif untuk kehidupan.
Sekolah memang sudah seharusnya melakukan proses pembekalan kemampuan kewirausahaan untuk anak didiknya. Sudah waktunya kita menunjukkan kepada masyarakat bahwa selain memberikan bekal pengetahuan dan sikap kepada anak didik, kita juga memberikan keterampilan kewirausahaan kepada anak didik sehingga saat lulus mereka sudah siap bekerja. Bagi yang mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan bagi mereka yang tidak, mereka dapat menerapkan kemampuan kewirausahaan untuk kehidupannya. Tidak menjadi pengangguran terdidik, melainkan sebagai wirausahawan muda yang berhasil. Anak-anak siap menjalani kehidupan dengan usaha yang sudah dirintis sejak sekolah. Pasti dapat!

Proposal Kerja untuk Proses Pembelajaran Keterampilan

Latar Belakang
Pendidikan kejuruan merupakan satu bentuk proses perubahan yang dilakukan untuk memberikan keterampilan kepada anak didik. Hal itu sebagai bentuk kesadaran atas kondisi yang harus dihadapi anak didik di dalam kehidupan masyarakat. Kita menyadari bahwa cukup banyak anak didik yan sukses dalam proses pendidikan tetapi mengalai kegagalan dalam kehidupannya. Mereka mengalami kesulitan saat harus menghadapi kehidupan.
Perubahan pola kehidupan memang menjadi satu hal penting yang harus dapat dihadapi dan diselesaikan sebaik-baiknya. Setiap orang harus mempunyai kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaan atau kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya. Untuk hal tersebut, maka salah satu aspek pendidikan dan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah kejuruan, pendidikan kejuruan adalah memberikan keterampilan aplikatif.
Selama ini yang terjadi pada proses pendidikan kejuruan, terutama proses pembelajaran keterampilan dilakukan sebagai paket yang sudah tersusun sedemikian rupa sehingga ada keseragaman keterampilan pada setiap lulusan. Akibatnya, tingkat persaingan tidak berkurang, bahkan semakin meningkat. Jumlah lulusan tetap maksimal, tetapi daya tampung kerja mengalami minus. Sementara untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, banyak yang terbentur pembiayaan yang sangat tinggi.
Sebenarnya, pembelajaran keterampilan yang diberikan kepada anak didik dalam praktek sekolah sudah cukup memadai bagi penambahan keterampilan bagi anak diidk. Tetapi, pada saat anak harus menerapkannya dalam kehidupan ternyata masih belum mencukupi. Masih cukup banyak keterampilan hasil praktek sekolah yang belum signifikan dengan kebutuhan di masyarakat. Disamping keseragaman materi keterampilan diberikan kepada anak didik saat praktek sekolah. Hal ini karena materi tersebut sudah disusun dalam sebuah kurikulum sentralistik. Kalaupun kurikulum tersebut desentralistik, ternyata silabusnya masih sentralistik.
Tentunya, dengan kondisi seperti ini seringkali terjadi gap antara materi pembelajaran dengan kebutuhan di masyarakat. Bahkan, tidak jarang materi pembelajaran jauh berbeda dengan materi yang dibutuhkan dalam kehidupan. Akibatnya, anak-anak yang sudah lulus tidak dapat menerapkan keterampilan yang didapatkan dari proses pembelajaran di sekolah. Sangat berbeda antara materi pelajaran dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Keterampilan yang dipelajari di sekolah, ternyata sama sekali tidak berguna dalam kehidupan. Tidak salah jika kemudian tumbuh anggapan bahwa proses pembelajaran sia-sia saja.
Jika anggapan seperti ini tumbuh terus dan menjadi sesuatu yang fenomental, maka peran sekolah dalam kehidupan menjadi sesuatu yang diabaikan oleh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memberikan respon positif terhadap proses pendidikan, bahkan pendidikan dianggap sebagai sarana untuk pembodohan anak didik. Pendidikan dianggap sebagai sarana untuk menciptakan barisan pengangguran terdidik. Dan, sebagai pencipta citra negatif atas eksistensi bangsa yang besar ini. Pendidikan memang telah menjadi aspek penting untuk membangun karakter dan citra diri suatu bangsa.
Wajib menyusun Proposal Kerja
Pendidikan kejuruan memberikan program pelatihan keterampilan kepada anak didik dalam proses pembelajaran praktek di bengkel sekolah. Pada setiap tingkatan, anak didik diberikan pembelajaran keterampilan, bahkan jatah pembelajarannya lebih banyak dibandingkan dengan materi pelajaran lainnya. Keterampilan adalah citra sekolah kejuruan sebagai wujud penjagaan eksistensi diri dalam kehidupan masyarakat.
Untuk melaksanakan proses pembelajaran keterampilan, maka guru mengacu pada isi silabus yang didapat dari pusat. Silabus ini diterjemahkan menjadi sebuah kerangka pendidian dan pembelajaran yang disusun dan diberikan kepada anak didik. kerangka pendidikan dan pembelajaran ini selanjutnya kita namakan sebagai kurikulum. Dengan kurikulum ini, maka anak didik menjalani proses pembelajaran yang diselenggarakan guru di kelas. Proses pembelajaran merupakan kegiatan implementasi dan aplikasi isi kurikulum.
Seharusnya, jika kita melaksanakan proses adaptasi, maka kurikulum yang dipergunakan oleh setiap sekolah disesuaikan dengan hasil yang hendak dicapai. Sementara hasil yang hendak dicapai didasarkan pada kebutuhan masyarakat atas lulusan terdidik yang mempunyai kompetensi sesuai kebutuhan masyarakat. Seharusnya lulusan tiap sekolah mempunyai kompetensi yang berbeda walaupun program keahlian dan kompetensi keahliannya sama. Tetapi kerana yang terjadi adalah copy paste, maka yang terjadi adalah seluruh sekolah menghasilkan lulusan yang kondisinya sama.
Terkait dengan pembelajaran praktek di bengkel, maka seharusnya ada ketentuan khusus bagi anak didik agar dapat mengikuti proses belajar praktek keterampilan di bengkel sekolah. ketentuan khusus ini meurpakan upaya untuk menciptakan citra khusus ada anak didik, lulusan setiap tahunnya. Ketentuan khusus ini diterapkan sejaka anak didik berada di tingkat dua dan berlanjut di tingkat tiga. Dan, ketentuan khusus ini adalah paspor bagi anak didik agar dapat mengikuti proses pembelajaran praktek.
Pada saat anak didik di tingkat satui semester dua, ketentuan khusus harus sudah dipersiapkan oleh anak didik sehingga pada saat mereka naik ke tingkat dua, mereka sudah mempunyai pekerjaan yang harus dilakukan pada proses pembelajaran praktek di bengkel sekolah. pada sisi lainnya, ketentuan khusus yang dilakukan oleh anak didik adalah untuk menyediakan dan pengadaan sarana prasarana untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran praktek.
Ketentuan khusus yang kita maksudakan dalam hal ini adalah proposal kerja. Proposal kerja merupakan bentuk pengajuan permintaan kerja yang disusun oleh anak didik kepada sekolah dan dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Proposal kerja ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh anak didik dan tanpa proposal kerja, maka mereka tidak dapat mengikuti proses pembelajaran praktek pada tingkat selanjutnya, khususnya untuk tingkat dua dan tingkat tiga. Mereka harus menyusun proposal kerja yang nantinya menajdibahan atau pekerjaan yang harus dilakukan saat pembelajaran praktek.
Tentu saja dalam hal ini, proposal kerja yang disusun oleh anak didik harus dinilai oleh satu trim khusus yang berkompeten pada bidangnya. Hanay proposal kerja yang layak saja yang dapat disetujui dan dilaksanakan pada kegiatan pembelajaran praktek di tingkat berikutnya. Jika anak didik belum selesai menyusun proposal, maka selama itu mereka tidak boleh mengikuti proses pembelajaran praktek. Mereka harus menyelesaikan proposal kerja hingga layak diterapkan dan selanjutnya mengikuti proses pembelajaran praktek.
Dengan demikian, maka proses pembelajaran praktek yang dilaksanakan anak didik adalah pekerjaan yang didapatkan dari masyarakat. Artinya, pekerjaan praktek anak didik adalah barang-barang yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Dan, selanjutnya, jika hasil pekerjaan seleai, berarti anak didik sudah mempunyai konsumen untuk satu pekerjaan yang dilakukan. Ini merupakan awal dari kegiatan kewirausahaan anak didik.
Bagi sekolah, proposal kerja yang dikumpulkan dan disetujui untuk dilaksanakan sebagai materi pekerjaan dalam program pembelajaran praktek merupakan alat untuk menentukan pengadaan bahan dan alat praktek. Berdasarkan isi proposal, khusus aspek bahan yang dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut, maka sekolah dapat belanja bahan. Dengan cara seperti ini, maka efektivitas belanja benar-benar dapat dicapai. Artinya, bahan yangd ibeli memang sesuai dengan bahan yang dibutuhkan anak didik dalam proposalnya. Dengan demikian, tidak ada pembelian yang melebihi batas kebutuhannya.
Oleh karena itulah, program proposal kerja harusd iajdikan program wajib bagis emua anak didik, sejak awal tingkat dua dan diawali pada tingkat atu semester dua. Anak didik yang tidak mengumpulkan proposal atau proposalnya setelah dinilai masuk dalam kelompok atau kategori tidak layak kerja, harus memperbaiki atau segera menyusun proposal. Jika tidak menyusun, berarti mereka tidak dapat mengikuti pembelajaran praktek.
Manfaat yang lain, yang didapat dari proposal kerja ini aalah tumbuhnya kompetensi anak didik dalam proses penyusunan proposal kerja. Proposal kerja sangat dibutuhkan saat hidup di masyarakat. Dalam bidang teknik, proposal kerja adalah permintaan untuk mendapatkan pekerjaan dan selanjutnya mengerjakananya. Semakin pandai, kompeten dalam penyusunan proposdal kerja, maka semakin mudah bagi kita untuk mendapatkan pekerjaan.
Bekerja lebih Konsen
Ketika anak didik menyusun dan mengumpukan proposal kerja dan dinyatakan layak untuk dilaksanakan, maka berarti anak didik mendapatkan pekerjaan yang diharapkan. Penyusunan proposal didasari pada penentuan pilihan pekerjaan yang didapatkan di masyarakat. Pada saat menusun proposal, anak didik terlebih dahulu menyeleksi berbagai barang yang dibutuhkan amsyarakat. Artinya, pekerjaan yang dilakukan oleh anak didik adalah pilihannya sendiri.
Tentunya, pada saat penyusunan proposal, anak didik telah menentukan tujuan pembuatan proposal, tujuan dan manfaat barang, membuat gambar kerja, bahan dan alat yang dipakai, biaya pekerjaan dan tidak kalah pentingnya adalah perhitungan ekonomi, penjualan sehingga didapatkan keuntungan dari pekerjaan tersebut. Inilah hal yang diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi anak didik terhadap proses pendidikan.
Pada sisi anak didik, kegiatan ini merupakan nilai plus bagi keterampilan dirinya. Dengan memuat proposal, maka secara teknis mereka mempunyai pengalaman dalam proses penyusunan proposal sehingga dapat menjadi keterampilan khusus bagi kehidupannya. Tidak banyak orang-orang dengan kemampuan penyusunan proposal yang aplikatif dan efektif. Oleh karena itulah, maka orang-orang yang kompetns dalam penyusunan proposal menjadi sosok-sosok yang dibutuhkan masyarakat.
Sebagai orang-orang teknik, maka keterampilan-keterampilan aplikatif memang menjadi satu tuntutan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan keterampilan aplikatif ini, maka pekerjaan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Dan, dengan keterampilan aplikatif ini, maka tingkat konsentrasi kerja terjaga maksimal sehingga benar-benar efektif. Hal ini karena pekerjaan yang dikerjakan merupakan permintaannya sendiri. Dan, karena permintaannya sendiri, maka asumsi dalam hal ini adalah mereka benar-benar menguasai segala aspek terkait dengan pekerjaan tersebut.
Jika kita sudah familiar dengan segala yang kita kerjakan, maka segalanya berjalan lancar. Kita tidak kesulitan saat harus mengerjakan pekerjaan sebaba kita sudah mengetahui hal-hal yang harus dikerjakan. Selain itu, pekerjaan ini adalah pengajuan, permintaan kita dan itu berarti kita sangat memahami segala hal yang kita ajukan. Tentunya kondisi ini sangat kondusif untuk melakukan pekerjaan agar hasilnya maksimal.
Kesimpulan
Pembelajaran keterampilan memang seharusnya dipolakan sedemikian rupa sehingga secara teknis anak didik mempunyai pengalaman maksimal. Pengalaman maksimal ini pada akhirnya menjadi citra diri dalam mempersiapkan masa depan. Apalagi jika kita melihat kondisi yang berlaku dalam kehidupan, dimana keterampilan merupakan prasyarat untuk dapat survive, maka pembelajaran keterampilan merupakan satu keharusan.
Dan, untuk memaksimalkan peran serta anak didik dalam proses pembelajaran keterampilan, maka salah satu aspek penting yang harus dilakukan oleh anak didik adalah menyusun proposal kerja. Dengan proposal kerja ini, maka menunjukkan bahwa anak didik siap untuk melakukan kegiatan belajar. Mereka sudah mempunyai materi yang harus dikerjakan dan sekolah memfasilitasi kegiatan tersebut dengan menyediakan segala hal terkait dengan pekerjaan tersebut. Sekolah dapat mempersiapkan bahan dan alat untuk bekerja bagi anak-anak.
Proposal kerja menjadi sesuatu yang sangat penting dan menentukan proses dan hasil proses yang diharapkan bersama. Bagi pihak sekolah, proposal kerja ini digunakan untuk menyusun rencana anggaran sekolah, khususnya dalam alokasi penyediaan barang dan alat kerja. Dengan proposal kerja ini, maka sekolah tidak perlu lagi belanja untuk hal-hal yang kurang efektif. Sekolah hanya belanja untuk hal-hal yang memang diperlukan untuk pekerjaan anak diidk.
Sementara bagi anak didk, proposal kerja ini merupakan alur jalan yang harus dilalui untuk memperoleh pengalaman belajar keterampilan secara utuh. Dengan proposal, maka langkah kerja anak didik semakin sistematis dan teratur.

Jika Anak Melakukan Pelanggaran Sekolah

Latar belakang
Diakui atau tidak, dalam dunia pendidikan formal, cukup banyak anak didik yang kehilangan semangat belajarnya. Mereka tidak bersemangat untuk menjalani tugas dan kewajibannya sebagai pelajar. Justru, mereka banyak yang meninggalkan ruang belajar untuk melakukan kegiatan lain, misalnya kongkow di taman sekolah atau di kantin sekolah. Walau seringkali diobrak, tetapi kegiatan tersebut tetap terjadi dan dilakukan. Bahkan tidak jarang mereka yang sengaja meninggalkan ruang belajar, tentunya dengan pamit pada guru untuk ke ‘belakang’. Tentu saja itu hanya alasan semata. Mereka tidak betul-betul ke ‘belakang’, melainkan hanya duduk-duduk di kantin atau di tempat lain yang tersembunyi dari pemantauan guru.
Jika kita selidiki, maka ada banyak alasan yang sesungguhnya membuat mereka bersikap seperti itu. Mereka memang melakukan hal tersebut secara sengaja sebab semangat belajar yang runtuh. Mereka kehilangan semangat belajar pada saat proses belajar sedang berlangsung, bahkan sebelum proses belajar berlangsung. Oleh karena itulah, maka mereka meninggalkan kelas belajarnya. Mereka merasa enggan untuk belajar dan pergi ke belakang adalah untuk mengalihkan pikiran dan kejenuhan yang dihadapi. Hal ini sebenarnya merupakan fenomena yang terjadi di hampir seluruh sekolah yang ada. Tidak hanya di sekolah swasta, melainkan terjadi juga di sekolah negeri, yang notabene sering dijadikan sebagai acuan atas kedisplinan belajar.
Kita memang tidak dapat memberikan cap kondisi ini kepada sekolah begitu saja. Sebagai sebuah fenomena, maka kita menyadari bahwa semua ini merupakan kejadian umum. Semua sekolah dapat saja mengalami hal seperti ini. Oleh karena itulah, maka kita harus mampu mengantisipasi agar sekolah kita tidak mengalami hal yang sama, setidaknya mengurangi kuantitas pelanggaran jenis tersebut. Hal ini karena kita menyadari bahwa sebenarnya ada banyak aspek yang menyebabkan anak didik bersikap seperti itu. Dan, semua itu bukan semata-mata kesalahan anak didik.
Semua bukan kesalahan anak didik
Selama ini yang terjadi setiap kali ada anak didik yang melakukan pelanggaran adalah mayoritas kesalahan ditimpahkan pada anak didik. vonis salah selalu jatuh ke anak didik sebagai pesakitan ataupun kambing hitam atas segala hal yang terjadi. Ini merupakan hal yang lazim dilakukan, bhakan oleh para orangtua saat menyadari bahwa anaknya melakukan pelanggaran kedisiplinan sekolah.
Kita memang harus mau mengakui bahwa sebenarnya, pada saat terjadi pelanggaran kedisiplinan oleh anak dididik, semua itu bukan secara otomatis menunjukkan bahwa anak didik melakukan suatu kesalahan. Tidak semua kejadian yang melibatkan anak didik merupakan akibat kesalahan anak didik. hal tersebut harus kita pahami betul sehingga kita dapat bertindak proporsional dan tidak salah langkah. Apa jadinya jika apa yang kita lakukan ternyata salah?
Anak didik adalah sosok manusia yang sedang mencari jati diri. Mereka sedang membangun sebuah gedung untuk kehidupan masa depannya. Mereka mengikuti proses belajar di sekolah adalah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Mereka adalah sosok pribadi sehingga pada saatnya mereka harus bertanggungjawab atas kehidupan pribadinya. Untuk hal tersebut, maka mereka harus mepunyia kemampuan. Oleh karena itulah, maka mereka harus bersekolah, menempuh pendidikan dan belajar banyak hal agar kehidupan di masa depan menjadi lebih baik dari yang selama ini mereka alami bersama keluarganya.
Sebagai pribadi yang sedang mencari jati diri, tentunya kondisi kejiwaan mereka masih labil. Artinya, mereka masih gampang mengalami perubahan sikap dan pola kehidupan. Bahkan karena kelabilannya, maka mereka gampang sekali terpengaruh oleh lingkungannya. Dan, umumnya pengaruh yang gampang sekali dicerna dan dimiliki adalah pengaruh negative. Oleh karena itulah, maka tidak salah jika setiap kali ada permasalahan yang terjadi dalam kehidupan anak didik, maka yang muncul adalah penghakiman terhadap anak didik.
Sungguh, hal ini merupakan satu sikap yang kurang proporsional. Dalam dunia hukum kita mengenal istilah praduga tidak bersalah sehingga anak didik juga berhak mndapatkan kondisi tersebut. Jika ada kejadian dan hal tersebut melibatkan anak didik, seharusnya anak didik tidak begitu saja mendapatkan perlakuan sebagai pesakitan. Anak didik seharusnya diperlakukan secara proporsional dan didasari oleh rasa kasih sayang serta langkah-langkah edukatif.
Semua kejadian bukan semata kesalahan anak didik. sikap dan pola pikir ini harus kita tanamkan dalam hati kita sebagai upaya positif thinking terhadap segala hal yang terjadi. Di samping itu, kita juga harus meyakini bahwa pada dasarnya anak didik adalah pribadi yang baik. Oleh karena itulah, mereka dikirim ke sekolah untuk meningkatkan nilai-nilai positif dalam dirinya pada tingkat perkembangan yang signifikan dengan kebutuhan hidupnya.
Persepsi positif terhadap setiap kondisi memungkinkan terciptanya satu interaksi positif diantara guru dan anak didik. Anak didik akan merasa sangat diperhatikan oleh guru dan selanjutnya guru akan mendapatkan sikap terbaik dari anak didik. Dengan demikian, maka anak didik dapat menjadi sosok-sosok yang penurut pada setiap ucapan yang kita tujukan untuk mereka. Begitulah, kita sebagai guru tidak seharusnya menjatuhkan vonis bersalah begitu saja kepada anak didik sebelum mengetahui secara pasti pokok permasalahannya. Kita harus meyakini bahwa tidak semua masalah merupakan kesalahan anak didik.
Beberapa hal penyebab anak didik melakukan pelanggaran.
Pada saat kita menghadapi anak didik yang bermasalah, maka seharusnya pada saat itu kita menganalisa segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kejadian tersebut. Guru harus secara arif melakukan analisa terhadap permasalahan dan tidak secara langsung membuat keputusan bahwa anak didik bersalah telah melakukan pelanggaran. Dan, selanjutnya pelanggaran tersebut Jika kita telaah disebabkan oleh banyak hal, misalnya pola pembelajaran yang kurang tepat, pendidik yang kurang memahami kondisi dan pola pendidikan, atau proses pendidikan dan pembelajaran yang menjemukan.
Proses pendidikan dan pembelajaran merupakan proses panjang yang dilakukan secara sistematis. Proses secara sistematis ini seringkali menghadirkan situasi yang berbeda pada para pelaku kegiatan. Dengan pola yang tersistematis tersebut, maka ada satu kondisi yang harus dilakukan dan tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan oleh para pelakunya jika ingin mencapai keberhasilan. Di dalam proses pendidikan dan pembelajaran, anak didik memang harus mengikuti proses yang sudah tersistem dan berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan dalam sebuah interaksi edukatif dengan seorang guru sebagai fasilitatornya.
Sebagai kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan, tentunya dapat menyebabkan situasi negative di hati anak didik. situasi yang terus menerus terjadi secara berkesinambungan, apalagi monoton, tentunya menyebabkan pesertanya disergap kejenuhan. Mereka dapat kehilangan sense untuk mengikuti proses belajar dan menumbuhkan kebosanan dan keengganan untuk mengikuti proses yang dilakukan atas dirinya. Kehilangan sense inilah yang selanjutnya ditengarai menjadi salah satu penyebab anak didik melakukan pelanggaran kedisiplinan di sekolah. Anak didik kehilangan rasa terhadap proses yang seharusnya mereka jalani secara maksimal.
Sense terhadap proses belajar menjadi sangat penting sebab dengan sense tersebut, maka anak didik merasakan bahwa proses belajar begitu menarik dan harus diikuti. Tetapi, ketika sense tersebut hilang, maka yang tertinggal hanyalah sebuah proses yang sangat menjemukan dan memancing mereka untuk melakukan sesuatu diluar pakemnya sebagai pelajar. Mereka merasa enggan mengikuti proses belajar dan justru lebih suka dan enjoy saat meninggalkan proses belajar tersebut. Jika anak didik lebih suka meninggalkan proses pendidikan, maka sebenarnya pada saat tersebut proses belajar dalam posisi diujung tanduk.
Oleh karena itulah, maka seorang guru harus memahami eksistensi sense belajar ini sehingga terus terjaga kualitas dan seangat belajar anak didik. guru hartus dapat menjaga agar sense belajar yang dimiliki anak didik tetap berkobar. Guru harus dapat melakukan hal tersebut agar proses belajar yang dibimbingnya dapat berjalan lancar. Hal ini karena jika sense belajar anak didik bagus, maka tingkat kualitas konsentrasi dan keterlibatan anak dalam proses pendidikan dan pembelajaran dapat maksimal. Tentunya jika kondisi seperti ini, maka tingkat keberhasilan proses sangat tinggi.
Terkait dengan berbagai pelanggaran yang sering kita jumpai di sekolah-sekolah, maka dapat kita jelaskan satu persatu agar dapat kita hadapi setiap masalah secara proporsional. Hal ini sangat penting agar kita tidak lagi menjadi hakim yang begitu saja memvonis anakdidik hanya karena telah melakukan satu pelanggaran disiplin sekolah, tanpa mau mengorek latar belakang anak didik melakukan hal tersebut.
a. Pola pembelajaran yang kurang tepat
Bahwa proses pembelajaran dilaksanakan mengikuti pola-pola tertentu sehingga memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pola-pola ini merupakan langkah taktis yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan ketertarikan anak didik terhadap materi pelajaran. Proses pembelajaran memberikan kesempatan bagi anak didik untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk bekal kehidupannya. Pengetahuan dan keterampilan inilah yang diharapkan dapat memposisikan anak didik secara proporsional di masyarakat.
Dan, setiap materi pelajaran mempunyai cirri khas di dalam proses transferring ke anak didik. Setiap materi membutuhkan cara-cara yang berbeda pada saat menyampaikan kepada anak didik. Kita tidak dapat menerapkan cara secara sembarangan sebab hal tersebut justru dapat menjadi penghalang tersampaikannya materi pelajaran ke anak didik. Seharusnya, setiap materi tersampaikan kepada anak didik secara baik, jelas dan mudah diterima oleh anak didik. Bahkan, didalam satu mata pelajaran, setiap materinya disampaikan dengan cara yang berbeda agar dapat diterima anak didik secara maksimal. Misalnya, ada materi yang dapat disampaikan dengan cara ceramah, tetapi materi yang lain menuntut kegiatan berupa praktek. Tentunya, jika kedua materi ini disampaikan dengan cara yang sama, maka hasilnya tidak dapat maksimal.
Tentunya, jika proses pembelajaran yang diterapkan tidak tepat, maka hal tersebut berdampak pada hilangnya semangat anak didik untuk mengikuti proses tersebut. Anak didik merasa sulit saat harus beradaptasi dengan proses pembelajaran yang diikutinya. Mereka tidak dapat mengikuti, apalagi dituntut untuk memahami setiap aspek yang diajarkan oleh guru. Akibatnya, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Akhirnya, mereka menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan diluar proses pembelajaran. mereka kehilangan konsentrasi dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing atau berkelompok.
Jika kondisi ini tidak disadari oleh guru, maka anak menjadi semakin jauh dari kegiatan belajar dan tenggelam dalam kegiatan yang diciptakannya sendiri. Ada anak didik yang tenggelam dalam pikirannya sendiri sehingga tidak memperhatikan semua penjelasan guru. Ada juga anak didik yang sibuk bergurau dengan teman-temannya sehingga suasana kelas menjadi ramai dan rebut. Dan, yang lebih tragis lagi adalah anak-anak yang tidak betah berada di dalam ruangan kelas, mereka akhirnya pamitan ke belakang pada sang guru.
Anak-anak memang pamitan ke belakang, artinya mereka mau kekamar kecil untuk buang hajat kecil ataupun hajat besar. Tetapi, jika kita telusuri yang mereka lakukan di belakang, kita pasti mengurut dada sebab mereka ternyata kongkow di kantin atau taman sekolah. Mereka memang sengaja neinggalkan ruang kelas untuk menghindari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Mereka merasa tersiksa dengan pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Mereka merasa bahwa guru tidak dapat melaksanakan proses pembelajaran sebab proses tersebut ternyata justru membuat mereka bingung dan sulit menerimanya.
Oleh karena itulah, maka pada saat melaksanakan proses pembelajaran, guru harus mampu menentukan pola pembelajaran yang diterapkan untuk anak didiknya, disesuaikan dengan tipe materi pelajaran yang saat itu harus diberikan kepada anak didik. guru harus dapat memilah dan memilih pola belajar yang sesuai dengan materi pelajarannya. Jika tidak, maka hal tersebut menyebabkan anak didik melakukan pelanggaran kedisiplinan yang sebenarnya dipicu oleh pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Lantas jika hal seperti ini terjadi, siapa yang patut disalahkan? Salahkah anak didik jika mengalami kejemuan saat belajar dan mencari solusi dengan bermain atau berbincang dengan temannya atau pergi ke kantin sekolah?
b. Pendidik yang kurang memahami kondisi dan pola pendidikan
Di dalam proses pembelajaran, posisi guru sebagai fasilitator memungkinkan guru memberikan pelayanan dan bimbingan serta pendampingan anak didik saat mengikuti proses pembelajaran. Dengan pelayanan guru, maka anak didik dapat memeproleh aspek pendidikan dan pembelajaran yang diharapkannya. Dalam konteks ini, guru menjadi sosok yang selalu siap memberikan bantuan kepada anak didik pada saat mengalami kesulitan. Dalam hal ini, kita berasumsi bahwa anak didik masih dalam tahap mengembangkan diri sehingga seringkali menghadapi kesulitan dan berhak mendapatkan bantuan edukasi.
Guru memang bertugas melayani masyarakat, anak didik dalam upaya peningkatan kualitas diri. Guru melayani anak didik dalam hal melakukan perubahan kemampuan yang dimilikinya. Kita menyadari bahwa pada awalnya anak didik adalah sosok yang belum dapat melakukan sesuatu atau belum mempunyai sesuatu dan ingin mendapatkannya dari proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itulah, guru bertugas membantu melayani anak didik agar mereka dapat menggapai keinginan tersebut. Memang, untuk dapat memiliki suatu kemampuan dapat dilakukan secara autodidak, tetapi eksistensi guru tetap menjadi acuan untuk dapat mencapai kesuksesan tersebut.
Terkait dengan tugas dan kewajiban tersebut, maka hal penting yang harus dimiliki oleh guru adalah pemahaman atas segala kondisi yang terjadi di lingkungannya. Guru harus memahami kondisi kelasnya, kondisi anak didiknya dan berbagai kondisi lain yang terkait dengan peningkatan kualitas dirinya. Hal ini karena kondisi lingkungan mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap proses pengembangan dan peningkatan kualitas diri tersebut. Tidak heran jika pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran guru dituntut untuk dapat memahami kondisi dan pola pendidikan terkait dengan kondisi tersebut.
Bahwa kondisi seseorang ataupun lingkungan pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran ikut menentukan keberhasilan proses, merupakan sesuatu yang sudah kita pahami. Jika kondisi tidak mendukung, maka proses pendidikan dan pembelajaran tidak dapat terlaksana sebaik-baiknya. Walau kita menyadari bahwa proses belajar dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja, tetapi pemahaman terhadap kondisi pada saat proses berlangsung merupakan hal penting bagi semua guru. Jika tidak, maka anak didik sangat mungkin melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kriteria hasil proses pendidikan dan pembelajaran yang kita lakukan.
Pelanggaran anak terhadap kedisiplinan yang diterapkan di sekolah sebenarnya merupakan satu kondisi yang tercipta sebagai dampak. Sesungguhnya tidak ada anak yang ingin melanggar aturan kedisiplinan yang sudah diterapkan, apalagi aturan tersebut sudah disosialisasikan secara luas di seluruh civitas akademika. Ketika mengetahui tata aturan yang diberlakukan, biasanya setiap sekolah menerbitkan buku yang berisi tata tertib, tata aturan yang harus diterapkan dalam pola interaksi, maka sejak itulah mereka sudah bertekad untuk mengikuti dan mematuhi semua aturan itu. Masalahnya, kenapa tetap saja ada, banyak anak didik yang melanggar kedisiplinan sekolah?
Dalam hal ini, kita memang harus melihat masalah secara prporsional. Kita harus membuang jauh-jauh subyektivitas kita dan mengedepankan obyektivitas agar hasil penilaian proporsional. Jika kita masih menyertakan subyektivitas dikawatirkan apa yang kita lakukan masih penuh dengan tendensi pribadi atau tuntutan yang bersifat pribadi. Melihat masalah secara proporsional berarti kita harus melakukan segala hal sesuai dengan haknya dan tidak menyertakan keperluan pribadi di dalamnya. Begitu juga pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran.
Pemahaman guru terhadap kondisi dan pola pendidikan ditengarai menjadi salah satu aspek yang dapat meningkatkan keberhasilan proses. Hal ini juga dapat mengikat anak didik untuk tetap berada di tempat, ruang kelas pada saat proses dilaksanakan. Guru yang tanggap terhadap kondisi lingkungan memungkinkan untuk tetap mengkondisikan anak-anak pada situasi belajar dan mengarahkan anak-anak yang menimpang pada proses belajar.
Pemahaman guru terhadap kondisi dan pola pendidikan merupakan wujud dari kemampuan respon, kemampuan menanggapi guru terhadap kondisi lingkungan belajar. Semakin bagus kemampuan respon guru, tentunya kondisi pembelajaran semakin bagus juga. Guru segera mengetahui setiap kejadian atau indikasi akan terjadinya sesuatu di dalam ruang pembelajarannya. Dengan kemampuan ini, maka guru dapat melakukan langkah-langkah preventif terhadap kondisi yang dapat mengancam proses.
Kemampuan guru untuk merespon atau mengantisipasi kondisi seperti ini memungkinkan bagi guru untuk mencegah terjadinya hal-hal negative dalam interaksi personal. Guru dapat segera menyelesaikan permasalahan sebelum masalah itu sendiri muncul ke permukaan. Dengan demikian, maka kondisi pembelajaran yang diampuhnya tetap terjaga dan terkontrol sepanjang waktu serta mampu mengarahkan anak didik ada jalur yang seharusnya mereka lalui. Eksistensi dan kemampuan guru menjadi kendaraan yang bakal membawa anak didik dalam kondisi yang kondusif untuk belajar dan menghindarkan anak didik melakukan hal-hal yang menyimpang dari seharusnya.
Seharusnya, pelanggaran kedisiplinan yang dilakukan oleh anak didik dapat dicegah oleh para guru. Mereka seharusnya sudah mengetahui adanya indikasi pelanggaran jauh sebelum pelanggaran terjadi sehingga tidak menimbulkan kesulitan. Tentunya dengan demikian, kondisi interaksi terjaga bahkan dapat dikembangkan sebagai proses pembelajaran inovatif dengan peran aktif anak didik. pola pendidikan dan pembelajaran seperti ini sudah saatnya diterapkan sebagai upaya peningkatan kualitas hasil pembelajaran. Oleh karena itulah, guru harus mempunyai pemahaman terhadap kondisi lingkungannya. Guru tidak boleh acuh apalagi tidak respon pada lingkungannya.
c. Proses pendidikan dan pembelajaran yang menjemukan
Kegiatan pembelajaran menuntut tersedianya kondisi yang kondusif. Kondisi kondusif yang kita maksudkan dalam hal ini adalah kondisi yang benar-benar mampu menumbuh kembangkan kesadaran anak didik dalam mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran. Bahwa setiap peserta didik harus terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sebab mereka yang seharusnya melakukan proses belajar. Anak didik mengikuti proses pembelajaran sebab ingin melakukan perubahan atas kompetensi yang ada pada dirinya. Oleh karena itulah, maka mereka harus menyadari tugas dan kewajibannya dalam proses pembelajaran.
Sementara untuk kelancaran proses pembelajaran, maka ada seseorang yang bertugas untuk memfasilitasi dan membimbing serta mendampingi agar proses berlangsung maksimal. Dengan fasilitasi, bimbingan dan pendampingan ini, maka apa yang seharusnya dipelajari anak didik akan dimiliki secara maksimal. Anak didik tidak melakukan pembelajaran secara acak melainkan sudah disistematis. Hal ini sangat penting sehingga pengalaman anak didik sesuai dengan tingkatannya.
Dalam hal pendampingan dan pembimbingan, anak didik berharap mendapatkan sosok yang benar-benar mampu memberikan segala yang diharapkannya. Anak didik berharap agar guru pembimbingnya benar-benar sosok yang mengerti kebutuhan anak didiknya. Guru haruslah sosok yang mempunyai kemampuan untuk membimbing, memfasilitasi dan mendampingi anak didik pada saat proses pembelajaran. Oleh karena itulah, maka guru harus mempunyai kemampuan untuk mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran.
Guru yang mampu mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran secara baik adalah guru yang mampu menciptakan kondis terbaik bagi proses pembelajarannya. Guru harus menerapkan konsep PAIKEM agar proses pembelajarannya menjadi sesuatu yang berarti bagi anak didik. Penerapan konsep ini sangat berarti agar tidak meumbuhkan kejemuan di hati anak didik. Selama ini yang terjadi adalah kebosanan anak didik terhadap situasi pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru. Anak didik menganggap bahwa proses pembelajaran yang dilaksanakan guru begitu menjemukan sehingga mengurangi atensi mereka pada kegiatan belajar. Dan, secara keseluruhan, anak didik beranggapapan bahwa proses pendidikan menjadi sebuah penjara bagi kehidupannya.
Kita perlu mengakui bhawa pada saat sekarang, sekolah dan proses belajar telah dianggap sebagai penjara bagi anak didik. Mereka merasa bahwa proses pembelajaran telah membatasi aktivitasnya. Anak merasa terkungkung di dalam ruang ukuran enam puluh tiga meter persegi, tujuh meter kali sembilan meter. Selama empat jam atau 4 kali empat puluh lima menit mereka harus berada di ruangan kelas dan mendengarkan atau menyaksikan segala hal yang dilakukan oleh guru. Alasan klasik yang mereka dapatkan adalah untuk kepentingan amsa depan. Bahwa mereka mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran adalah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Dan, hal tersebut harus mereka lakukan sejak sekolah dasar hingga sekolah lanjutan. Mereka harus mengikuti berbagai tata aturan yang kadangkala sangat bertentangan dengan keinginannya, bahkan kebutuhannya. Anak didik dikondisikan agar melakukan sesuatu tidak sesuai dengan konsep hdupnya, tanpa dapat melawan atau memberontak untuk melepaskan diri.
Jika kemudian mereka memberontak, maka pada saat itu dianggap sebagai pelanggaran kedisiplinan. Tentunya, anak didik tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka telah dikondisikan untuk mengikuti segala aturan yang dusah disusun. Mereka juga harus mengikuti berbagai kegiatan yang diprogramkan untuk proses belajar, mereka tidak dapat menolak atau dianggap telah melanggar kedisiplinan. Tentunya kondisi ini menciptakan persepsi negative di hati anak didik. Apalagi jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam kondisi yang tidak menarik, tidak memikat hati. Anak didik gampang mengalami kejenuhan dan akhirnya jemu dengan proses belajar, yang akhirnya membuat mereka ingin keluar kelas.
Guru yang tidak kreatif pada umumnya melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional. Mereka mempertahankan pola pembelajaran tersebut dengan asumsi bahwa pola tersebut telah terbukti efektif dalam upaya peningkatan kompetensi anak didik. Sementara kita menyadari bahwa kondisi setiap tahun mengalami perubahan. Pola pemikrian anak didik terus mengalami perubahan, bahkan apresiasi terhadap proses pembelajaran-pun mengalami perubahan. Anak didik jaman sekarang mempunyai penilaian berbeda terhadap proses pembelajaran.
Anak didik jaman sekarang adalah generasi instan, artinya mereka ingin segala hal yang diikutinya sudah siap dan memang terposisikan untuk mereka. Mereka ingin proses pembelajaran sudah dalam bentuk jadi, tidak menuntut mereka terlalu banyak menerima. Mereka sangat perlu berpikir dan juga menganalisa materi pelajaran. Tentu saja hal ini dalam konsep pendidikan dan pembelajaran merupakan tujuan proses belajar, tetapi kenyataan yang ada di lapangan seperti itu. Anak didik tidak siap belajar tetapi siap digerojok dengan pengetahuan dan keterampilan. Setidaknya, mereka berharap mengikuti proses pembelajaran yang menuntut secara aktif peran serta mereka dan tidak memposisikan mereka sebagai obyek semata.
Oleh karena itulah, tidak aneh jika guru menguasai kelas, maka anak didik merasa sebagai sosok yang tidak aktif. Mereka menjadi sosok pendengar atau penyalin materi yang dicatatkan oleh guru di papan tulis atau didiktekan di lembaran kertas tulis. Dalam konteks kita sekarang ini, penguasaan guru di dalam pengelolaan kelas bukanlah diartikan sebagai penguasaan tunggal atas kelas tersebut. Konteks ini memberikan informasi pada kita bahwa penguasaan guru dalam pengelolaan kelas adalah pada bagaimana guru mengorganisir kelasnya sehingga anak didik yang aktif melaksanakan proses pembelajaran, guru hanyalah fasilitator dalam proses tersebut. Guru bukan penguasa tunggal dalam kelas belajar, justru guru adalah pelayan bagi anak didik agar proses belajarnya dapat maksimal.
Anak didik harus berperan dalam proses pembelajaran sehingga mereka menyadari bahwa proses tersebut adalah tugas dan kewajiban. Dengan demikian, maka mereka terbebaskan dari kondisi jemu sebab harus ikut terlibat aktif dalam proses belajar, bukan sekedar memperhatikan atau mendengarkan segala penjelasan guru. Justru pada saat-saat tertentu, mereka harus menjelaskan kepada teman-temannya tentang materi pelajaran yang sedang mereka pelajari bersama. Berarti, tidak ada waktu bagi mereka untuk bersikap seenaknya atau mengabaikan proses pembelajaran. Artinya, anak didik dapat berperan sebagai pembimbing temannya sebagai asisten guru dalam proses pembelajaran.
Memang, jika anak melakukan pelanggaran disiplin sekolah, kita tidak dapat langsung menjatuhkan vonis kesalahan kepada anak didik. Kita perlu menganalisa dan mengambil kesimpulan atas analisa tersebut. Kita harus mengembalikan pokok permasalahan pada setiap aspek penting dalam proses pembelajaran. Pelanggaran disiplin anak didik pada kenyataannya bukan semata-mata karena kesalahan anak didik. Ada banyak hal yang dapat menjadi penyebab anak didik melakukan kesalahan, yang selanjutnya kita katakan sebagai pelanggaran disiplin sekolah.
Untuk itulah, maka seharusnya kita segera melakukan langkah evaluasi ataupun introspeksi atas segala yang kita lakukan pada saat melakukan proses pembelajaran. Kita harus mengevaluasi pola pembelajaran yang kita terapkan dalam proses dan segera melakukan langkah antisipasif ataupun rehabilitasi dan kuratif jika ternyata ada langkah yang tidak signifikan terhadap proses belajar anak didik. Guru harus menyadari bahwa di dalam proses belajar, yang melakukan proses adalah anak didik sehingga guru perlu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk melakukan proses pembelajaran dibawah pembimbingannya.
Oleh karena itu, jika kita mendapati anak didik melakukan pelanggaran disiplin sekolah, kita setidaknya menerapkan konsep praduga tak bersalah kepada anak didik. Kita harus yakin bahwa jika anak didik melanggar disiplin sekolah bukan berarti anak didik melakukan suatu kesalahan. Sebab pelanggaran yang dilakukan oleh anak diidk tersebut dapat saja merupakan satu bentuk protes terhadap kondisi yang dihadapi saat belajar. Anak diidk merasa tidak nyaman dengan kondisi pembelajaran yang dijalaninya, maka mereka berharap ada perubahan dengan melakukan hal-hal yang melawan kenyamanan guru. Dan, guru seharusnya segera tanggap terhadap setiap perubahan sikap anak didik pada saat mengikuti proses pembelajaran dan selanjutnya dapat memikat atensi belajar.
Pemahaman atas kondisi, kebutuhan dan pola pembelajaran yang sesuai dengan tingkatan apresiasi dan persepsi anak didik atas materi pelajaran sangat mendukung atensi anak didik. Guru harus mempunyai kemampuan tersebut jika menginginkan anak didiknya tetap bertahan tinggal di dalam kelas pembelajarannya. Jika tidak, maka sampai kapanpun anak didik tetap berlaku seperti itu karena mereka merasa kecewa dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tetapi guru tidak memahaminya sehingga tidak dapat segera melakukan langkah konkrit penyelesaiannya. Bagi anak didik, sikap guru yang tidak merespon sikap mereka merupakan satu sikap negative dan harus dihilangkan dari seorang guru. Guru harus responsib terhadap setiap kondisi di kelasnya atau anak didiknya. Guru tidak hanya menyampaikan materi pelajaran melainkan membimbing dan memfasilitasi anak didik untuk belajar lebih baik.
Jika kita ingin mencegah anak didik dari tindakan pelanggaran kedisiplinan sekolah, maka guru harus responsib dan segera melakukan langkah-langkah antisipasi atas kondisi negative yang dapat tercipta dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya. Hal ini karena anak didik sangat mungkin terpengaruh hal-hal negative dalam kehidupan dan guru bertugas membimbing anak didik.