Minggu, 05 Oktober 2008

Menyoal Ujian Praktek Akhir Tahun

Di dalam kurikulum berbasis kompetensi tersurat tujuannya adalah untuk dapat mengkondisikan anak didik yang mempunyai kemampuan atau kompetensi memadai atas materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. kompetensi ini merupakan kemampuan yang benar-benar dikuasai dan dipahami secara tuntas sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan. Selanjutnya dengan kemampuan tersebut, maka anak didik dapat survival dan bahkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk yang lain.
Sementara itu untuk mengetahui tingkat kemampuananak didik dalam penguasaan kompetensi untuk setiap materi pelajaran, guru dapat melakukan evaluasi pada setiap akhir pokok bahasan atau sepanjang proses pembelajaran dilaksanakan. Informasi kompetensi ini merupakan target utama dari pembelajaran pokok bahasan sehingga guru dapat memperolehnya jika penyampaian materi kepada anak didik sudah tuntas dan guru dapat mengadakan evaluasi khusus.
Informasi kompetensi ini tidak hanya terbatas pada pelajaran kognitif, melainkan juga pada pelajaran afektif dan psikomotor,bahkan psikomotor merupakan aspek pokok untuk mengukur tingkat penguasaan kompetensi bagi anak-anak yang bersekolah di SMK. Tetapi, anak didik yang bersekolah di sekolah umum-pun dapat diketahui informasi penguasaan kompetensi dengan kegiatan evaluasi praktek yang dapat deiperoleh dari kebiasaan seharti-hari..
Masalahnya timbul ketika ternyata sistem evaluasi kompetensi tersebut dilaksanakan secara akumulatif. Guru atau sekolah secara umum mengadakan evaluasi terhadap hampir seluruh aspek kompetensi yang ada di dalam materi pembelajaran mata pelajaran, biasanya dilakukan pada setiap akhir tahun pelajaran. Sistem evaluasi akumulatif ini umumnya dilaksanakan secara serempak untuk sekian mata pelajaran, misalnya yang seringkali kita jumpai adalah mata pelajaran Pendidikan Agama, Fisika, Kimia, Kewirausahaan, Komputer, dan pekerjaan bengkel. Semua itu adalah mata pelajaran yang umumnya dievaluasi penguasaan kompetensinya secara akumulatif. Sementara itu, setiap hari anak-anak sudah melaksanakan kegiatan praktek sebagai penerapan isi kurikulum dan setiap saat guru selalu menilai kompetensi anak didik pada setiap aspek kompetensi materi pembelajaran sehingga guru dapat memperoleh informasi tingkat kemampuan anak didik terhadap target kurikulum dari mata pelajaran. Artinya, setiap anak sudah dapat diketahui berapa level tingkat kompetensinya di dalam setiap mata pelajaran, sehingga penulis menganggap bahwa pengadaan proses evaluasi secara akumulatif merupakan kegiatan yang hanya menghabiskan dana pendidikan semata. Bagaimana tidak jika ternyata evaluasi tersebut sebenarnya sudah didapatkan guru pada saat evaluasi keseharian?!
Evaluasi kompetensi memang merupakan satu tahapan dan kondisi yang harus dilalui oleh anak didik agar dapat diketahui tingkat kemampuannya terhadap permasalahan atau pokok bahasan di dalam materi pelajaran. Dan, jika kita mengikuti apa yang tersirat maupun yang tersurat dalam kurikulum berbasis kompetensi, maka setidaknya kita mengetahui bahwa proses evaluasi kompetensi tersebut seharusnya dilakukan oleh guru selama proses pembelajaran atau setidaknya ketika satu pokok bahasan selesai dibahas atau dipelajarai anak didik. Dengan demikian, maka kita tidak memerlukan adanya ujian akumulatif pada akhir tahun sebab kompetensi anak didik sudah diketahui sejak proses pembelajaran dan hal tersebut akan lebih valid jika disetiap selesai menjalani uji kompetensi anak didik mendapatkan sertifikasinya.
Sungguh, penulis menganggap bahwa ujian praktek yang diseleng-garakan pada setiap akhir tahun pelajaran merupakan pemborosan yang seharusnya tidak dilakukan. Oleh guru atau sekolah. Hal ini disebabkan karena kompetensi anak didik mengenai pokok bahasan sudah dilalui anak didik dan anak didik berhak untuk mempelajari materi selanjutnya. Dalam hal ini kompetensi anak didik terhadap materi pembelajaran merupakan syarat utama yang harus dipenuhi anak didik sebelum dia diperkenankan mempelajari materi lanjutannya. Jika mereka tidak berhasil dalam uji kompetensi di akhir pembahasan materi pokok ternyata anak didik tidak berhasil, maak dia tidak boleh ikut mempelajari materi lanjutan. Dengan demikian, maka sebenarnya ujian praktek di akhir tahun sebagai akumulatif dari beberapa kompetensi pada mata pelajaran tidak diperlukan sebab anak didik sudah tersertifikasi berhasil untuk pokok bahsan bersangkutan.
Kita ambil saja pelajaran pendidikan agama atau pelajaran praktek pemesinan, maka sebenarnya kita mengetahui bahwa setiap kali anak memasuki jadwal pelajarannya, maka setiap kali itu pula dia harus mengikuti pembelajaran praktek. Hal ini berarti setiap kali itu pula guru mendapatkan informasi tentang tingkat kompetensi anak didik. Jika anak didik tidak berhasil memenuhi batas atau kriteria penguasaan kompetensi, maka dia tidak diperkenankan untuk mengikuti proses pembelajaran selanjutnya. Sekali lagi, penulis bertanya pada semuanya, kalau setiap saat anak didik sudah dapat diketahui tingkat penguasaannya terhadap kompetensi pelajaran, lantas untukapalagi kita mengadakan ujian kompetensi yang merupakan akumulatif dari sekian banyak kompetensi yang sudah dikuasai anak didik? Apakah sekedar untuk membuktikan bahwa anak didik benar-benar mempunyai kompetensi tersebut? Ataukah hanya sekedar untuk menarik dana dari masyarakat?
Belum lagi jika kompetensi tersebut berkaitan dengan pelajaran pen-didikan agama. Setiap saat anak didik mengikuti pelajaran agama, maka setiap saat itu pula guru agama memberikan evaluasi mengenai kompetensi beragama terhadap anak didik. Lantas mengapa harus diadakan ujian praktek diakhir tahun pelajaran? Kompetensi materi pelajaran agama didapatkan anak didik pada setiap pokok bahasan materi pembelajaran dan seringkali dilanjutkan pada evaluasi kompetensi bersangkutan. Hanya saja satu yang terlupakan bahwa setiap pelaksanaan evaluasi tersebut selalu tidak kita sertai dengan bukti sertifikasi kompetensi yang sudah dikuasai oleh anak didik, sehingga seringkali anak didik harus mengulang-ulang kompetensi yang sebenarnya sudah sangat dikuasainya.
Jika kita kaji ulang secara menyeluruh, maka kita pasti akan memperoleh sebuah kesimpulan yang begitu revolusioner, yaitu bahwa sebenarnya tidak perlu adanya ujian kompetensi di akhir tahun pelajaran! Hal ini disebabkan karena ujian kompetensi selalu dilaksanakan setiap akhir pembahasan pokok materi pembelajaran. Seluruh anak pasti sudha lengkap sertifikasi kompetensinya setiap selesai menerima penjelasan dan pembahasan materi pembelajaran. Bukankah sebenarnya ujian kompetnsi itu hanyalah upaya utukmendapatkan sertifikat ujian semata, tanpa melihat kemampuan dasar ayng telah dimiliki oleh anak didik selama proses pembelajaran di kelas.
Masalah selanjutnya adalah keterkaitan penentuan kualifikasi dan sertifikasi kompetensi yang diberikan pada uji kompetensi yang dinamakan tugas akhir atau project work. Apakah pelaksanaan ujian ini setelah dinilai diperoleh nilai positif dan tidak dapat dilepaskan dari keharusannya? Apakah efektifitas kegiatan benar-benar menunjang peningkatan kualitas lulusan? Ataukah semua kegiatan hanyalah formalitas sebagai langkah-langkah untuk memenuhi tuntutan kurikulum? Masih banyak lagi pertanyaan yang perlu kita jawab agar kita semakin yakin bahwa kegiatan ujian praktek dirasakan masih perlu untuk dilaksanakan di dalam dunia pendidikan kita ataukah justru sudah tidak layak dilaksanakan sebab tidak akurat dan relevan serta obyektifitas hasilnya tidak terukur pasti.
Penulis beranggapan bahwa ujian praktek sudah tidak relevan dilaksanakan di sekolah pada setiap akhir tahun dengan pertimbangan bahwa sebenarnya kompetensi anak didik sudah diketahui karena sudahdiuji oleh guru mata diklat pada setiap akhir pembahasan materi logikanya, jika seorang anak didik telah sampai pada tahun terakhir, berarti dia sudah memprogram seluruh mata diklat dan itu berarti sudah menempuh seluruh materi dari masing-masing mata diklat secara tuntas. Pada prinsipnya, jika seorang anak belum menun-taskan kewajiban atau jatah belajarnya dengan kualifikasi yang sudah ditentu-kan, maka dia tidak boleh mengikuti materi pelajaran selanjutnya. Tetapi, jika ternyata anak didik tersebut lancar-lancar saja, berarti segala komepetensi yang diharapkan dari setiap mata diklat sudah dikuasai. Jika demikian, maka untuk apa lagi dilakukan ujian praktek akumulatif?
Hal-hal yang menjadi pertimbangan adalah:
1. Obyektifitas yang kurang
Untuk mengetahui kualitas kompetensi seseorang seharusnya dilakukan secara obyektif sehingga apa yang didapatkan merupakan cerminan yang sebenar-benarnya dari seseorang. Proses mendapatkan informasi atau data tentang kualitas kompetensi seseorang dilakukan dalam sebuah ujian yang mengacu pada standar yang diberlakukan di sebuah wilayah atau negara. Dengan acuan seperti ini, maka diharapkan hasilnya merupakan sumber daya manusia yang benar-benar mumpuni dibidangnya.
Pada mulanya, program evaluasi kemampuan atau ujia kompetensi yang diselenggarakan oleh sekolah adalah program yang bersifat nasional sebaba alat ukut yang dipergunakan adalah dalam skala nasional. Seluruh sekolah yang mengadakan ujian praktek kompetensi diberikan instruksi atau patokan dasar yang harus dilaksanakan pada proses ujian praktek kompetensi. Ada beberapa pilihan pokok bahasan yang diujikan untuk mengetahui kompetensi anak didik yang dipilih oleh sekolah disesuaikan dengan kondisi sekolah.
Program ini sungguh sangat bagus sebab isinya sungguh ideal sekali. Anak didik diharapkan mempunyai kemampuan yang bersifat nasional dan selanjutnya dapat diterapkan atau diperlukan secara nasional juga. bahkan, dalam hal ini kita juga perlu mengacungkan jempol sebab di dalam program tersebut kita dapat melihat betapa tujuan ideal tersebut mengkondisikan sekolah pelaksana harus memiliki sarana prasarana yang memadai.
Untuk hal tersebut, sekolah harus disurvay kondisi nyatanya oleh asosiasi dunia industri atau dunia usaha . dunia industri atau duia usaha inilah yang akan memberi rekkomendasi atas kelayakan sebuah sekolah mengadakan ujian praktek. Jika memang sekolah tidak layak, maka dunia usaha dan dunia industri yang mencarikan tempat melaksanakan praktek. Ini merupakan kondisi ideal yang sungguh sangat mwenjanjikan untuk terciptanya lulusan yang benar-benar kompeten pada bidangnya, sesuai dengan program keahlian yang dipilihnya saat bersekolah.
Tetapi, selnjutnya jika kita melihat yang terjadi di lapangan, maka sungguh kita menjadi sangat apatis untuk terciptanya lulusan yang berkompeten terhadap bidangnya. Mengapa demikian ? jika kita mengikuti perjalanan pelaksanaan ujian prkaktek kompetensi yan dilaksanakan oleh sekolah, maka setidaknya telah terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan dasar pelaksanaan ujian praktek kompetensi tersebut.salah satu penyimpangan tersebut adalah sistem pengawasan dan penilaian hasil ujian praktek. Walaupun dikatakan bahwa ujian praktek kompetensi mempergunakan alat uji yang berskala nasional tetapi sistem evaluasinya masih tetap lokal, sehingga hal tersebut sangat dan sangat mengurangi obyektifitas evaluasi. Bagaimana-pun, setiap sekolah tidak menginginkan anak didiknya gagal.
Oleh karena itulah, maka setiap sekolah menerjemahkan isi program secara fleksibel, bahkan sangat radikal. Mereka hanya menerapkan sebagian kecil saja dari ketentuan program. Akibatnya, sifat ujian praktek yang nasional-pun kehilangan makna. Mereka melaksanakannya sebagaimana ujian yang lainnya, dimana pelaksanaannya sudah di sekolah sendiri dengan peralatan yang ada, guru pengawasnya adalah guru-guru yang kesehariannya adalah guru praktek di sekolah tersebut, pihak DU/DI yang hadir-pun seringkali hanyalah orang-orang yang tidak kompetens, dan yang paling parah adalah sistem penilaian hasil ujian-pun dikelola sendiri oleh sekolah. Hal ini saja sudah menggambarkan betapa rancunya sistem pelaksanaan ujian praktek di sekolah, khususnya di sekolah menengah kejuruan. Jika dikatakan atau dipergunakan alat uji berskala nasional, maka seharusnya semua sistem mengacu pada standar perlakuan nasional dan sekolah hanya mendapatkan hasil akhir dari ujian tersebut. tetapi dengan sistem pengelolaan sendiri, maka sifat kenasionalan sistem hanyalah sekedar kamuflase, bahkan kadang-kadang dipergunakan sebagai sarana untuk mendapatkan / pemasukan dana dari masyarakat semata.
Oleh karena itulah, maka penulis mengatakan bahwa sebenarnya ujian praktek yang dilaksanakan setiap akhir tahun, apapun namanya, ada yang menamakan ujian kompetensi (UKOM), ada yang mengatakan sebagai Tugas Akhir (TA) atau Project Work (PW), semua itu bukanlah sebuah kegiatan yang mewakili obyektifitas hasil yang memadai. Kegiatan tersebut telah kehilangan obyektifitas dan menjadi kegiatan subyektifitas sebab semua hal yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat diatur oleh sekolah agar anak didik tidak gagal sehingga sekolah-pun tidak jatuh pamornya. Akibatnya, tingkat kompetensi anak didik yang lulus ujian-pun bukan lagi kualifikasi tingkat nasional walaupun alat ujiannya berskala nasional. Lantas, bagaimana dengan agenda peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini?
2. Pemborosan dana yang berlebih
Untuk kegiatan ujian praktek diperlukan anggaran yang jika dikaji, tidaklah sedikit. Biaya yang diperlukan tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan dan alat-alat yang dipergunakan dalam ujian praktek. Umumnya, masa ujian praktek ini sekaligus dipergunakan sekolah sebagai momen untuk menambah jumlah sarana dan prasarana, khususnya sarana bengkel sehingga ragam dan jumlah peralatan menjadi bertambah. Dan, untuk memenuhi program tersebut, maka sekolah mengambil kebijakan untuk memungut biaya dari masyarakat/orangtua anak didik. Dengan persetujuan komite sekolah, yang dalam hal ini sebenarnya merupakan perpanjangan tangan masyarakat/orangtua anak didik tetapi selanjutnya berubah posisi sebagai pendukung utama kebijakan sekolah, maka dibuatlah edaran untuk penarikan dana kegiatan ujian akhir tahun, khususnya ujian praktek kompetensi.
Bukankah sudah digariskan bahwa pemungutan dana ujian hanya diperbolehkan pada sekolah yang mengadakan ujian praktek, walau kenyataannya secara keseluruhan dana ujian dipungutkan dari masyarakat, orangtua anak didik,sedangkan pemerintah memberikan bantuan biaya. Sekali lagi, pemerintah hanya memberi bantuan biaya ujian yang jika dikalkulasi masihlah jauh dari jatah minimal operasional sehingga sekolah tetap harus memungut biaya dari orangtua.
Orang mengatakan, kalau bantuan itu kan ala kadarnya, kecuali jika pemerintah menanggung biaya ujian, maka mungkin pemungutan biaya kepada orangtua amak didik-pun tidak akan dilakukan. Penanggungan biaya oleh pemerintah memang merupakan langkah, yang seharusnya konkrit sebagai implementasi dari program pengentasan kemiskinan serta pembuktian atas gembar-gembor yang disampaikan pemerintah tentang pendidikan gratis.
Selanjutnya, jika telaah lebih lanjut, maka setidaknya kita mendapatkan kenyataan bahwa sebenarnya ujian praktek kompetensi hanyalah kegiatan pemborosan dana. Kenapa? Pada sub penjelasan di atas kita mengetahui bahwa sebenarnya ujian praktek ini diprogramkan sebagai kegiatan nasional, tetapi pada kenyataannya ujian ini hanyalah ujian yang bersifat pretise semata, harga diri semata bagi sekolah penyelenggaranya. Dengan rasa bangga menyatakan, secara tidak langsung kepada masyarakat bahwa sekolah mampu mengadakan ujian praktek kompetensi anak didik dengan alat ujian berskala nasional. Padahal jika dikaji ulang, maka sebenarnya ujian tersebut sama sekali tidak berbobot dan sama sekali tidak menggambarkan kondisi yang obyektif atas kompetensi anak didik. Mungkin dapat saja ini dikatakan sebagai sebuah permainan kondisi yang tidak sesuai dengan pengeluaran dana untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.
Masyarakat dikondisikan untuk mendanai kegiatan yang sama sekali tidak memberikan nilai tambah terhadap hasil dari kegiatan. Masyarakat dibebani tanggungjawab yang seharusnya tidak perlu dilakukan, sebab kegiatan tersebut dapat dilaksanakan selama proses pembelajaran dilaksanakan di sekolah.
Seharusnya kita mulai berpikir untuk menciptakan atau mewujudkan pendidikan yang benar-benar murah dengan meniadakan beban-beban masyarakat yang seharusnya tidak perlu sehingga efektifitas kegiatan benar-benar kita peroleh sesuai dengan hasil akhir kegiatan. Bagaimana-pun kita perlu mempertanyakan penggunaan dana pendidikan yang kita keluarkan disesuaikan dengan hasil yang kita dapatkan. Bukankah sekarang ini kita berada pada kondisi jaman yang serba transparan dengan kuliatas akuntabilitas terhadap masyarakat yang tinggi? Apalagi, selama ini kita juga seringkali mendengar bahwa selama kegiatan ujian praktek, sekolah telah mendapatkan bantuan dari pemerintah?
3. Sertifikasi yang kurang profitable
Setelah anak didik melaksanakan kegiatan ujian praktek akhir tahun, maka anak didik mendapatkan bukti atas kondisi kompetensi yang dimilikinya. Hal ini memang salah satu tujuan dilaksanakannya ujian praktek kompetensi, yaitu untuk mengetahui tingkat kemampuan anak didik dalam penguasaan kompetensi dasar program keahlian yang dipilihnya. Dengan ujian praktek kompetensi ini, maka kita dapat mengetahui pokok kompetensi yang dikuasai anak didik dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai keahlian dasar yang dipakai sebagai penunjang hidup setelah menyelesaikan masa pendidikan di sekolah.
Dan, agar proses penentuan tingkat kualifikasi dan kompetensi anak didik, maka setiap akhir ujian praktek, anak didik diberikan sertifikat atau dilakukan sertifikasi terhadap kemampuan anak didik. Sertifikasi inilah langkah yang dipergunakan sebagai bukti kemampuan yang dimiliki oleh anak didik. Dengan sertifikat inilah, maka anak didik diharapkan mempunyai kemudahan-kemudahaan pada saat mencari pekerjaan sebab pada sertifikat trersebut tercantum kemampuan yang dikuasai oleh anak didik dan dapat diterapkan dalam pekerjaan.
Sertifikasi ini pada sekolah teknik merupakan pernyataan dan pengakuan dunia industri dan dunia usaha sebagai institusi pasangan sekolah dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran teknik. Secara teknis, institusi ini menjamin kualifikasi anak didik terhadap penguasaan kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam sertifikat tersebut. penjaminan inilah yang sebenarnya dibutuhkan agar sertifikat ujian praktek kompetensi benar-benar bermanfaat bagi anak didik.
Tetapi, apa yang selanjutnya kita dapatkan? Ternyata, sertifikat yang telah ditandatangani dan dijamin oleh dunia industri dan dunia usaha, yang diterbitkan tidaklah profitable atau mendatangkan manfaat bagi pemegangnya. Banyak perusahaan yang belum dapat menerima sertifikat tersebut sebagai bukti kemampuan anak terhadap kompetensi yang tercantum dalam sertifikat tersebut.
Sebenarnya program ujian praktek kompetensi ini sangatlah bagus bagi peningkatan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan, tetapi penangannan yang kurang tepat menjadikan sertifikat ini hanyalah sebuah simbol yang kurang bahkan tidak profitable bagi pemiliknya. Para pelaku industri beranggapan bahwa sertifikat tersebut masih belum menunjukkan kualitas yang obyektif atas penguasaan kemampuan di anak didik. Sebab seringkali mereka mendapatkan kenyataan bahwa ketikaanak-anak diuji dalam penerimaan tenaga kerja, ternyata sama sekali tidak berkemampuan sebagaimana tercantum dalam sertifikat tersebut.
Mungkin, kita perlu mengakui secara tegas bahwa memang hal tersebut sering terjadi pada para lulusan sekolah kita. Terlalu banyak lulusan yang sama sekali tidak mampu menyelesaikan ujian saat proses rekruetmen tenaga kerja pada perusahaan. Akibatnya, seringkali pelaku industri masih harus menyekolahkan mereka atau melatih mereka untuk bidang yang sebenarnya dinyatakan sebagai kompetensi dasar anak didik. Tentu saja hal ini sangat memalukan bagi dunia pendidikan dan inilah barometer dari ketidakberhasilan dunia pendidikan kita, apalagi pada saat sekarang ini, dunia pendidikan, khususnya tingkat SLTA hanya diukur dari tiga mata diklat untuk tingkat kelulusannya, yaitu BBM (Bahasa, Bahasa, Matematika) anak teknik sama sekali tidak diujia nasionalkan mata diklat kejuruannya!
Memperhatikan semua hal yang terjadi ai akhir tahun pelajaran, khususnya berkaitan dengan proses ujian praktek kompetensi setidaknya kita perlu segera introspeksi terhadap segala hal yang berkaitan dengan efektifitas dan relevansi kegiatan terhadap kebutuhan masyarakat atas lulusan yang dihasilkan sekolah. Jika kondisi yang terjadi tetap seperti sekarang ini, maka sampai kapan-pun kualitas pendidikan tidak akan pernah meningkat dan kualitas sumber daya manusia-pun tidak akan pernah terngakat dan mampu bersaing dengan tenaga-tenaga kerja dari negara lain yang tingakt kemampuannya jauh di atas sumber daya manusia asal Indonesia.
Sumber daya manusia Indonesia masih terbatas pada tenaga kasar, buruh, pembantu rumah tangga, sopir, atau kalau ukuran mereka mungkin tidka lebih dari budak modern. Ataukah kita tetap bertahan untuk posisi sebagai negara pengeksport tenaga kerja kelas buruh?

Intelektual VS Mistik

Dunia pendidikan merupakan dunia yang setiap langkahnya selalu didasari oleh pola pikir rasional dan mengedepankan nalar. Di dalam dunia pendidikan setiap permasalahan yang timbul selalu diusahakan untuk dipecahkan secara ilmiah, dengan dasar ilmu pengetahuan. Langkah-langkah strategis ditentukan dan selanjutnya diterapkan secara intens.
Orang-orang umum seringkali berpendapat bahwa mereka yang berada pada dunia pendidikan adalah orang-orang yang rasionalitasnya tinggi. Orang-orang seperti ini lebih mengandalkan penalaran secara logika daripada hal-hal yang muskil dan tidak masuk akal. Itulah, kenapa dunia pendidikan di manapun menjunjung tinggi intelektualisme daripada segala sesuatu yang diluar nalar apalgi tidak dapat dipikirkan atau dikaitkan dengan intelektualisme.
Oleh karena itulah, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru didasari pada tujuan untuk mendapatkan pengetahuan setinggi-tingginya dengan menjunjung tinggi logika dan martabat keilmuan. Hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh logika dan meruntuhkan martabat keilmuan sedapat mungkin dihindarkan dari langkah - langkah dan kebijakan - kebijakan pendidikan.
Tetapi, apa yang terjadi ketika masa ujian sudah diambang pintu? Rasanya kita semua dapat melihat, bahkan mengalami sendiri hal-hal yang berbau mistik mengambil peranan dalam menentukan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan langkah-langkah antisipasif yang dilakukan sekolah dengan harapan anak didik dapat melalui ujian secara mantap dan berhasil guna. Tidak sedikit sekolah yang kemudian mengarahkan langkah atau orang mngetakan bahwa dalam kondisi seperti ini segala cara ditempuh agar anak didik berhasil. Hal ini sebab berkaitan dengan nama diri sekolah. Walaupun lanmgkah tersebut sangat berseberangan dengan kondisi normal sehari-hari.
Penulis melihat bahwa ada penyelewengan terhadap langkah-langkah antisipasif yang sebenarnya cuikup baik, tetapi karena dasar tujuannya yang menyimpang, maka langkah-langkah ini tidak lagi konstruktif bahkan nyata-nyata menjadi langkah yang destruktif. Langkah-langkah ini tidak lagi membangun karakter terbaik atau membangun sikap-sikap positif melainkan justru merusak sikap-sikap positif dan menjadikannya sebagai langnkah-langkah yang merusak. Langkah-langkah ini justru menjadikan anak didik sebagai subyek yang mempunyai kepercayaan semu dan selanjutnya terjerat pada sikap ketergantungan pada sesuatu yang jelas tidak ilmiah.
Anak-anak dihadapkan pada sesuatu yang mistik dan metafisik, bahkan jika boleh dibilang absurd. Anak-anak digiring untuk menggantungkan diri pada sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dijabarkan dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Hal ini benar-benar merupakan pengalaman baru, tetapi sekilas sungguh sangat menjanjikan bagi kesukseskan kegiatan. Anak-anak diberikan pemantapan jiwa terhadap sebuah kepercayaan atas kondisi pralogika atau kondisi yang belum mengenal atau menggunakan logika sebagai dasar berpikir. Misalnya, kepercayaan bahwa pohon mempunyai kekuatan gaib yang dapat menyerang seseorang dan sebagainya.
Ini merupakan kondisi flash back yang terjadi dalam pola kehidupan manusia sebagaimana sebuah film kehidupan yang menggambarkan pola kehidupan sebelum sang lakon berperan. Di dalam film, hal ini setidaknya membantu para penonton untuk lebih memahami dan mengenal sang tokoh yang diceritakan. Tetapi, kalau kemudian kondisi tersebut terjadi pada kehidupan nyata, apakah bertujuan agar kita lebih memahami dan mengerti kondisi? Ataukah ini merupakan tanda kemunduran pola pemikiran generasi?
Pendidikan mengajarkan pada kita keilmiahan dan kepercayaan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Aspek inilah yang selama ini kita dapatkan sebagai hasil dari proses pembelajaran. Kita diarahkan untuk dapat menerima segala aspek kehidupan dengan menggunakan logika dan kepercayaan mutlak pada sang pencipta, bukan pada yang lainnya. Setiap menghadapi masalah,kita diharapkan mempertimbangkan berdasarkan dalil aqli dan dalil naqli sehingga terjadi keselarasan hidup. Tetapi meskipun demikian, semua itu bukanlah sesuatu yang diluar nalar atau logika, sebab ini adalah masalah keimanan.
Masalah yang sesungguhnya sedang kita kritisi adalah mengapa beberapa praktisi pendidikan menjelang ujian nasional telah melakukan langkah-langkah antisipasif yang menyimpang? Anak-anak bukannya diarahkan agar mempersiapkan diri sebaik-baiknya terhadap materi ujian yang akan dihadapi dan mendekatkan diri kepada sang Pencipta agar diberikan ketenangan dalam menghadapi ujian nasional. Ini adalah hal logis dan masuk nalar yang seharusnya ditekankan oleh guru kepada anak didiknya, bukan malah memberikan langkah-langkah alternatif yang, maaf sangat tidak rasional! Bagaimana dapat seorang guru memberikan langkah anak didiknya ke supranatural atau katakanlah dukun agar dapat berhasil dalam mengikuti ujian nasional?! Segala syarat dituruti, misalnya menjampi-jampi nomor peserta, nama peserta, pensil yang dipakai untuk mengerjakan jawaban soal. Bahkan ada yang memesan pada sang ‘dukun’ agar para pengawas yang menjalankan tugas pengawasan ‘tertidur’ di dalam ruang pengawasan atau tidak kerasan mneunggu di dalam ruangan. Padahal kalau sekedar ingin membuat sang pengawas tidak kerasan dikelas adalah pekerjaan yang mudah, yaitu suruh saja anak-anak kentut bergiliran di ruangan, maka sang pengawas pasti kegerahan di ruangan. Beres!
Tetapi, memang segala cara harus dilakukan agar hasil kegiatan ujian nasional dapat tercapai secara maksimal. Logika-pun sepertinya sudah tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan lngkah tersebut. mereka tidak memperdulikan apakah langkah-langkah tersebut logis ataukah tidak, intelek ataukah mistis! Bagi mereka hanya satu yaitu berupaya sekuat tenaga dengan berbagai langkah yang dipercaya dapat memberikan pengaruh positif terhadap kejiwaan anak didik. Mereka mengabil kebijakan untuk memakai langkah-langkah by pass atau jalan pintas tersebut tidak lain adalah sebagai pembekalan mental spiritual. Bagi mereka persiapan mental menjadi tenaga dalam diri yang perlu dibangkitkan sehingga anak didik tidak mengalami nervouse saat ujian berlangsung. Bagaimana-pun kondisi mental seorang anak pada saat engikuti ujian sangat berpengaruh terhadap proses yang harus dilaluinya. Tetapi, jika ternyata langkah antisipasi yang diambil oleh pihak sekolah adalah langkah-langkah absurd seperti itu, maka penulis merasa sangat prihatin. Ya, penulis merasa sangat prihatin sebab menganggap bahwa hal tersebut sudah tidak mencerminkan intelektualitas ataupun derajad keilmuan yang merosot jauh dari pakemnya. Lantas dimanakah derajad keilmuan tersebut berada?
Kita bukannya antipati terhadap segala hal yang berbau seperti itu, tapi setidaknya kita juga perlu bersikap ilmiah dalam menghadapi kondisi sepreti ini. Pembelajaran adalah sebuah proses, sehingga dari hal tersebut, maka kita dapat mencoba mengkondisikannya sejak awal proses dilakukan, bahkan sejak direncanakan kita sudah dapat memprediksi apa yang bakalan kita hadapi. Guru mengadakan proses pembelajaran sejak tingkat satu hingga anak didik sampai pada tingkat tiga, yang harus mengikuti ujian nasional. Bagaimana mungkin anak didik dianggap tidak siap mental? Setiap saat kita melaksanakan proses pembelajaran, maka pada sat tersebut kita selalu emmberikan dukungan dan dorongan semangat yang sedemikianrupa sehingga anak-anak merasa mantap dan siap menghadapi ujian. Bukankah hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah kesiapan pengetahuan atau materi pelajaran yang diujikan dengan didukung oleh kondisi jiwa yang mantap? Penguasaan terhadap materi pelajaran sudah setiap hari diberikan oleh guru, baik melalui proses harian ataupun proses-proses pengayaan dan sebagainya, sedangkan pemantapan mental-pun tidak pernah lepas dari perhatian guru-gurur sebab setiap mengajar selalu memberikan dukungan moril, semangat dan kepercayaan diri menghadapi kondisi ujian. Lantas, untuk apa kita harus pergi ke ‘dukun’?
Kalau hal seperti ini seringkali menjadi panduan dalam upaya mencapai keberhasilan dalam proses ujian, maka sudah pasti peranan logika positif tidak berlaku dan tenaga negatif akan menancap di dalam diri dan menjadi pola kehidupan selanjutnya. Memang, manusia mempunyai kewajiban untuk selalu berusaha menggapai semua cita-citanya, bahkan setinggi langit-pun! Jika perlu seseorang akan mengabaikan harga diri hanya karena ingin mencapai tujuannya. Bagaimana kita tidak mengabaikan harga diri jika ternyata kita masih saja berkutet pada hal-hal yang penuh dengan keabsurdan, kemuskilan atau mistik?!
Dunia pendidikan merupakan cerminan dari pola pikir keilmiahan dengan mendasarkan pada penalaran dan kemampuan logika serta pengetahuan, jika ternyata hanya untuk mencapai keberhasilan dalam menempuh ujian nasional, ternyata nomor, nama, dan pensil anak didikhatrus diberi jampi-jampi oleh ‘dukun’. Lantas, dimanakan logika yang selama ini menjadi landasan langkah mencapai keberhasilan, dimanakah keimanan dan kepercayaan kita pada sang Pencipta jika untuk memantapkan mental, maka kita lebih mempercayai sang ‘dukun’?!
Sungguh, jika kualitas pendidikan kita terpuruk, bukanlah sesuatu yang aneh jika ternyata langkah untuk mencapai keberhasilan dalam ujian menggantungkannya pada ‘dukun’ yang katanya mampu membuat anak didik ‘mampu’ mengerjakan soal-soal ujian dengan baik. Dengan jampi-jampi yang telah dibalurkan pada pensil dan nomor peserta serta membumikan nama peserta, maka segala kekuatan dunia dapat bersatu dan memberikan kemampuan ekstra kepada anak didik sehingga anak yang tidak mampu-pun dapat mengerjakan soal dengan baik. Sungguh, jika demikian, kenapa pula kita bersusah payah memberikan proses pembelajaran kepada anak didik agar berpengetahuan dan berketerampilan sebagai bekal kehidupannya?
Dunia pendidikan kita masih digantungkan pada kebiasaan jampi-jampi ‘dukun’ yang sanggup meningkatkan perolehan nilai anak didik dalam menjalani ujian akhir/nasional. Sementara itu, kegiatanan pembelajaran sama sekali tidak mencerminkan keberhasilan dalam memberikan bekal kepada anak didik untuk menghadapi ujian nasional. Semua materi pembelajaran yang diberikan selama proses sama sekali tidak mempunyai relevansi dan dianggap tidak memberikan korelasi terhadap tingkat keberhasilan anak didik.
Duh, sungguh, sekali lagi penulis merasa sangat terenyuh saat menyadari bahwa dunia pendidikan kita telah diintervensi oleh dunia maya yang benar-benar maya sebab tidak mendasarkan pada keilmiahan dan logika positif. Anak-anak dianggap tidak berpengetahuan danberketerampilan yang memadai sehingga harus meminta tolong pada ‘sesuatu’ yang abstrak dan absurd. Kita menggadaikan dunia pendidikan pada dunia absurd. Lantas, bagaimana nasib negeri ini jika semua pelaku pendidikannya tidak lagi berpikir rasional, bahkan mendewakan pikiran irrasional?
Semoga saja kita menyadari bahwa tingkat keberhasilan dalam mengikuti ujian akhir adalah tergantung pada seberapa banyak bekal pengetahuan dan keterampilan kita. Jika kita mampu memiliki bekal pelajaran yang banyak, maka segala hal yang berhubungan dengan proses ujian tidak menjadi penghalang keberhasilan kita. Kita perlu menekankan kepada diri kita masing-masing bahwa keberhasilan anak didik dalam menempuh ujian adalah tergantung pada proses pembelajaran yang kita lakukan sejak anak didik masuk sekolah kita. Bagaimana kita memperlakukan mereka dalam proses pebelajaran dan bagaimana cara kita memproses pembelajaran merupakan hal terutama yang menjadi penentu keberhasilan anak didik.
Rasanya sudah waktunya kita benar-benar mengarah pada pencapaian kuailtas pendidikan. Tidak perlu kita memberikan bantuan mengerjakan soal-soal ujian untuk anak didik apalagi dengan membawa semua peralatan ujian ke ‘dukun’. Sungguh sangat memilukan jika hal tersebut terus saja terjadi. Ternyata dunia pendidikan kita tidak terlepas dari dunia mistik yang absurd.

Gembongan, 16 Mei 2006

Kepala Sekolah Revolusioner

Suatu hari saat kami duduk di ruang guru, kami berbincang tentang kondisi sekolah yang semakin hari kami rasakan semakin tidak kondusif. Kami merasa harus peduli dean memang sangat peduli terhadap kondisi tersebut sebab berkaitan langsung dengan rejeki kami.
Sekolah kami adalah salah satu sekolah swasta yang membidangi teknologi kejuruan, sehingga yang kami bina mayoritas anak laki-laki. Tetapi, bukan masalah anak didik yang menjadi pembicaraan kami. Bagi kami, masalah anak didik adalahhal yang lumrah. Kalau anak nakal, itu hal yang lumrah dan masih dapat kami tangani secara langsung. Tetapi, yang kami bicarakan adalah kondisi sekolah secara umum.
Mungkin, yang kami alami juga dialami oleh sekolah swasta yang lainnya atau sebagaimana perjalanan hidup ini, kadang ada di atas, kadang ada di bawah. Seperti perputaran roda. Mereka yang besar, di atas, pada saatnya akan menjadi kecil atau berada di bawah.
Begitulah yang selalu kami bicarakan jika kami berkumpul dan pada akhirnya kami mempunyai satu kesepakatan bahwa kondisi seprti ini hanya dapat diselesaikan atau dihilangkan jika ada kesepakatan untuk melakukan perubahan di segala bidang. Oleh karena itulah dibutuhkan seseorang yang tegas, seseorang yang revolusioner, yaitu seorang kepala sekolah revolusioner.
Kepala sekolah revolusioner selalu menggagas perubahan-perubahan ataupun perbaikan-perbaikan kondisi secara cepat untuk menjawab kondisi sekolah. Kepala sekolah revolusioner menerapkan prinsip bahwa yang tidak seide untuk perbaikan kondisi tidak boleh terlibat dalam setiap langkah yang diterapkan, sebab semua itu hanya menjadi penghambat program. Bahkna, mungkin penyabot program saja.
Oleh karena itulah, maka kepala sekolah revolusioner selalu berpikir dan bertindak konstruktif. Dia tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan tanpa arah dan tujuan yang pasti. Sebab, apa yang diakukannya adalah hasil dari evaluasi dalam segala hal yang terjadi di sekolah. Setiap saat, kepala sekolah revolusioner mengevaluasi dan memperhatikan kondisi sekolah meliputyi manajemen personal, manajemen operasional, sarana prasarana, kondisi anak didik, manajemen hubungan masyarakat, lingkungan dan sebagainya.
Untuk hal tersebut memang dituntut seorang kepala sekolah yang tanggap terhadap kondisi sekolahnya secara menyeluruh. Hal ini karena kepala sekolah adalah pimpinan sekolah, wajar saja jika dia harus mampu berpandangan luas terhadap kondisi sekolah pada saat kemarin, sekarang, dan esok hari. Kepala sekolah harus dapat melihat kondisi hari-hari kemarin sebagai upaya untuk menilai tingkat keberhasilan program sekolah dan sebagai acuan untuk menerapkan program-program selanjutnya. Kepala sekolah-pun harus mampu melihat kondisi sekolah pada saat sekarang sebagai upaya langkah-langkah perbaikan program yang kemarin. dan, pada akhirnya, seorang kepala sekolah harus dapat melihat atau memprediksi apa yang bakal terjadidi hari-hari esoknya. Dengan kemampuan ini, maka seorang kepala sekolah dapat berkreasi dan selanjutnya menerapkan program-program sebagai inovasi atas apa yang diprogramkan.
Bahkan, dapat saja dikatakan bahwa seorang kepala sekolah yang revolusioner adalah kepala sekolah yang dapat bertindak gila-gilaan untuk mencapai tujuan program sekolah. Kepala sekolah harus berani melakukan manuver-manuver tindakan yang menurut orang banyak tidak wajar. Kepala sekolah revolusioner haruslah dapat dan berani mendobrak ketidakwajaran yang secara langsung menyebabkan sekolah kolaps. Tindakan gila-gilaan yang dilakukan oleh kepala sekolah merupakan upaya memperbaiki kondisi secara cepat dan memutus rantai kausal yang menjadi penyebab kondisi kolaps sekolah.
Memang, untuk mengkondisikan hal tersebut, kepala sekolah harus berani sebab dia pasti akan berhadapan dengan banyak personil yang masing-masing membawa kepentingan yang berbeda. Orang-orang yang merasa terancam oleh tindakan-tindakan kepala sekolah pasti akan bereaklsi, baik reaksi positif maupun reaksi negatif. Reaksi positif mungkin akan menambah kekuatan program, tetapi rekasi negatif merupakan kekuatan yang merongrong program sehingga mengancam eksistensi semuanya.
Kepala sekolah revolusioner tidak akan berpikir untuk mundur dalamproses mewujudkan segala program yang telah disusunnya. Dia berpegang pada pepatah, ‘biar anjing menggonggong, kafilah tetap tetap berlalu’. Walaupun banyak orang yang memperbincangkan, khususnya sebagai hambatan, dia tidak akan urungkan niat untuk memperbaiki kondisi sekolah. Bahkan, dia akan semakin berani bertindak jika merasa ada yang menghalangi langkahnya. Prinsip hidupnya, jika ada penghalang, maka penghalang adalah orang yang tidak ingin perubahan dan orang-orang seperti ini berarti telah mendapatkan kemudahan-kemudahan dari sistem lama. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang menghisap sistem, apalagi jika sistem sudah kritis tetapi tetap saja bersikeras mempertahankan eksistensi dari sistem.
Kepala sekolah revolusioner dapat emmbaca kondisi seperti itu dan cepat mengambil langkah-langkah positif untuk hal tersebut. sudha barang tentu, tindakan atau langkah-langkah kepala sekolah mengacu pada perbaikan kondisi dengan menghilangkan segala hambatan yang ada. di dalam pandangannya, para penghambat adalah yang merusak, seperti benalu yang menumpang hidup dengan menghisap habis jatah makanan untuk pohon utama. Maka, langkah yang paling tepat adalah menghilangkan semua benalu yang merugikan sekolah tersebut.
Pengurangan tenaga mungkin merupakan hal yang biasa untuk perkembangan sekolah secara umum. Hal ini adalah upaya rasionalisasi kondisi antara sekolah dengan jumlah tenaga yagn ada dengan kebutuhan tenaga yang sesungguhnya. Adalah sesuatu yang sia-sia jika kita mempunyai tenaga yang banyak untuk menangani hal yang kecil/sedikit. Beberapa orang hanya akan menjadi beban sekolah dan tidak efektif.
Memang hal ini tidak manusiawi tetapi kondisi mengharuskan tindakan tersebut. pertimbangan paling utama dari tindakan ini adalah efektivitas maksimal SDM yang ada. kita berusaha memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing SDM yang sesuai dengan bidang garapannya.
Rasionalisasi SDM memang merupakan salah satu langkah konkrit untuk memperbaiki dan mengangkat kondisi sekolah yang sudah kolaps. Istilah yang lebih pas mungkin perampingan di segala bidang, artinya kita harus menyesuaikan kuantitas pekerjaan dengan kuantitas tenaga kerja yang ada. oleh karena itulah, maka pada setiap bidang garapan tenaga kerja yang menangani disesuaikan, baik dari jumlah maupun kualitas personalnya. Utamanya adalah kualitas personal terhadap bidang pekerjaan. Atau hal ini dikenal dengan istilah,’the right man in the right place’
Jika kita telaah lebihjauh, sebenarnya keberhasilan suatu pekerjaan tidaklah tergantung pada kuantitas orang yang mengerjakannya. Memang, dalam pola kehidupan tradisional kita mengenal hidup bergotongroyong,holobis kuntul baris, bahwa seberat apapun pekerjaan pasti dapat kita selesaikan jika kita kerjakan secara bersama-sama. Tetapi hal tersebut terutama pada pekerjaan-pekerjaan berat yang emmbutuhkan tenaga, sedangkan untukpekerjaan-pekerjaan yang menuntut kemampuan otak, misalnya di sekolah, maka sudah barang tentu kualitas SDM jauh lebih penting daripada kuantitasnya. Apa gunanya banyak orang jika tidak memiliki kualitas sebagaimana yang diharapkan untukjenis pekerjaannya?!
Oleh karena itulah, setidaknya untuk dapat melakukan perubahan-perubahan yang mengarah pada perbaikan kondisi, maka seorang kepala sekolah revolusioner adalah sosok yang memiliki kans untuk memperbaiki kondisi. Hal ini disebabkan, seorang kepala sekolah revolusioner memiliki konsep-konsep berikut:
a. Berpandangan luas
Orang-orang revolusioner pada dasarnya adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan khusus di dalam dirinya. Kemampuan ini membuatnya dapat memposisikan diri dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun. Mereka tidak membatasi diri pada lingkungan yang sempit, yang bakal mengkungkung diri, sehingga aspek appaun menjadi bekal kompetensi dirinya.
Berkaitan dengan kepala sekolah revolusioner, maka dia adalah siosok yang dapat menerima dan emmberi masukan ide orsinil yang menempatkan tujuan seluas-luasnya demi perbaikan kondisi. Kepala sekolah revolusioner menempatkan segala aspek sebagai bagian dari langkah-langkah program perbaikan dan pengembangan secara luas.
Berpandangan luas dapat diaratikan sebagai kemampuan untuk merespon dan memberi tanggapan positif terhadap setiap permasalahan secara proporsional dengan isi lebih dari yang lainnya. Kepala sekolah yang berpandangan luas tidak akan kehabisan akal jika menghadapi masalah bahkan menjadikan masalah sebagai pijakan untuk mencapai kondisi yang lebih besar.
Kepala sekolah revolusioner akan berpandangan luas sehingga pada setiap kebijakan yang dikeluarkan merupakan refleksi dari kondisi ideal yang harus dicapai oleh sekolah. Setiap saat dia akan mengeluarkan ide-ide yang kreatif dan inovatif dalam upaya untuk peningkatan kualitas sekolah secara umum.
b. Dedikasi tinggi
Untuk mencapai tujuannya, maka orang-orang yang revolusioner mempunyai dedikasi yang sangat tinggi. Dedikasi adalah pengrobanan untuk keberhasilan suatu usaha atau tujuan, dapat juga dikatakan sebagai bentuk pengabdian yang tulus. Pengorbanan yang diberikan oleh orang-orang ini tidak hanya tenaga dan pikiran, harta benda, waktu, perhatian, tetapi segala hal yang dirasanya dapat mendukung keberhasilan usaha.
Orang-orang revolusioner tidakmemikirkan apa yang bakal didapatkan dari segala usaha yang dilakukannya. Mereka hanya berpikir bagaimana usaha tersebut dapat dicapai dan emmberikan kebaikan pada semua orang di sekolah. Mereka tidak peduli apapun yang menjadi konsekuensi atas usaha yang dilakukan tersebut.
Oleh karena itulah, maka jika seorang kepala sekolah ingin berposisi secara revolusioner, maka dia harus rela berkorban apapun. Tidak hanya kata-kata, tetapi sesuatu yang konkrit. Kepala sekolah revolusioner tidak memikirkan memikirkan apa yang bakal diperoleh dari suatu usaha, tetapi berpikir bagaimana memfasilitasi usaha tersebut agar dapat segera tercapai.
Kepala sekolah revolusioner adalah sosok yang dapat memuasakan diri dari segala keinginan yang bersifat pribadi bahkan mungkin untuk sementara, selama kondisi sekolah kolaps tidak berpikir untuk mendapatkan sesuatu dari sekolah, justru sebaliknya kepala sekolah revolusioner akan emmfasilitasi semua kebutuhan sekolah agar dapat bangkit kembali. Apapun akan dikorbankan asalkan sekolah dapat bangkit dan berkembang lagi.
Memang berat kondisi seperti ini. Tidak ada orang yang dapat bersikap seperti itu. Kalaupun ada, mungkin ada satu diantara seribu orang. Itupun belum tentu secara tulus melakukan semua itu. Selalu ada tendensi yang begitu besar dan seperti bom waktu yang siap meledak. Kapanpun dan selanjutnya dapat kita bayangkan apa yang bakal terjkadi.
Dengan demikian, setidaknya kepala sekolah revolusioner adalah orang-orang yang latar belakang kehidupannya sudah mapan dan tidak dikejar oleh kebutuhan hidup yang bertubi-tubi. Kepala sekolah revolusioner haruslah orang yang dari segi finasial sudah tidak begitui memikirkan imbalan atas kerjanya atau tidak terlalu ngoyo untuk mendapatkan apa yangdiinginkanya. Semua sudah tersedia dan kegiatan di luar, dalam hal ini di sekolah hanyalah sebagai upaya untuk mendapatkan status saja. Dia tidak peduli berapa-pun yang didapatkan dari sekolah, bahkan tidak dapat-pun tidak menjadi masalah. Yang terpenting bagi dirinya adalah dapat mengajar, medidik anak-anak sebagai bentuk pengabdian dirinya pada kehidupan serta sebagai sarana untuk bersilahturahmi dengan teman-teman. Inilah yang dinamakan dedikasi yang tinggi.
c. Loyalitas yang utuh
Loyalitas dapat diartikan sebagai kesetiaan dan kejujuran terhadap institusi, dalam hal ini sekolah. Kepala sekolah revolusioner mempunyai tingkat loyalitas yang utuh terhadap sekolah yang dipimpinnya. Dia penh perhatian terhadap kondisi yang menimpa sekolahnya dan tidak membagi kesetiannya dengan institusi lainnya.
Kepala sekolah revolusioner mempunyai loyalitas yang utuh, artinya semua tindakan.ide dan pikirannya hanya dia peruntukkan bagi sekolah. Setiap saat yang dipikirkannya adalah sekolah dan sekolah. Setiap ide yang dimilikinya adalah untuk sekolah. Bahkan, seringkali hingga di rumahpun dia tetap berpikir tentang sekolah,walaupun untuk itu dia harus membengkalaikan hal-hal yang lainnya.
Kepala sekolah revolusioner tidak mudah terpikat oleh berbagai bujukan untuk mengabaikan kondisi sekolah. Apalagi pada saat sekolah sedang kolaps, dia begitu setia endampingi sekolah dengan pola-pola manajemen yang dipikirkan agar dapat mengangkat kondisi sekolah. Walaupun ada pihak lain yang iming-iming dengan posisi lebih baik, dia tidak akan mengeng, dia tidak akan berubah pikiran dengan menerima tawaran yang ada. dia lebih terikat untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi sekolah yang kolaps agar dapat hidup lagi. Tidak lantas meninggalkannya.
d. Berani bertindak konkrit
Orang-orang revousioner umumnya dikatakan sebagai kelompok orang-orang nekat, bonek (bonde nekat). Mereka tidak lagi mengindakan segala hal. Tetapi dalam konteks ini, kita menambahkan satu poin yaitu pemikiran yang dalam. Orang-orang revolusioner di bidang pendidikan adalah kelompok orang-orang nekat yang menginginkan perbaikan kondisi dengan me4ndasarkan setiap langkahnya dengan pemikiran yang matang.
Nekat dapat kita asumsikan sebagai berani. Orang-orang nekat adalah orang-orang yang berani, walau nilai rasanya sangatlah negatif tetapi setidaknya kondisi itu juga diperlukan untuk memperbaiki kondisi sekolah sebab dengan bondo nekat, maka setidaknya kita sudah melangkahkan program ke arah yang seharusnya.
Kepala sekolah revolusioner tidak takut untuk melakukan tindakan-tindakan yang menurutnya sangat berkaitan dengan upaya perbaikankondisi dan peningkatan kualitas. Kalau dia sudah memutuskan untuk melakukan tindakan, maka tidak akan ditunda-tunda lagi. Apapun akan diterjang agar proses perbaikan kondisi dapat tercapai secara nyata dan segera. Dia tidak suka menunda niat hanya karena adanya hambatan di perjalanan program.
Tindakan-tindakan beraninya merupakan perwujudan dari niat hati yang kuat untuk perbaikan kondisi. Bahkan, terhadap oknum-oknum yang tidak mendukung, dia bernai menghadapi danmemutuskan untuk kebijakan terbaik bagi sekolah. Guru-guru yang tidka konsisten dan sesuai dengan visi dan misi sekolah akan dikondisikan sehingga menyadari posisi dirinya. Jika memang diperlukan, maka tindakan tegas diterapkan sebagai suatu keberanian tersendiri untuk kepentingan yang lebih luas.
Kepala sekolah berani melakukan perampingan SDM jika emmang hal tersebut harus dilakukan. Tetapi dalam hal ini selalu diawali dengan pembicaraan secara terbuka atas kondisi sekolah secara umum sehingga masing-masing pihak mengerti dan menyadari. Bahkan, jika pimpinan, dalam hal ini pengurus yayasan yang membawahi sekolah swasta, melaukan atau diindikasi telah emelakukan penyimpangan atau sudah tidak konsisten dengan kebijakan dasar, maka kepala sekolah revolusioner tidak takut untuk mengkritik dna meluruskannya. Hal ini agar tidak terjadi istilah ‘wis kadung’ karena sudah diantisipasi sebelumnya.

Kepala sekolah revolusioner sangat dibutuhkan ketika kesadaran untuk peningkatan kualitas atau perbaikan kondisi sekolah telah menjadi wacana bersama dan menjadi tekad bulat untuk mencapainya.
Kebersamaan tetap menjadi salah satu dasar dari implementasi setiap program. Tanpa keersamaan, maka program akan berjalan pincang dan tertatih-tatih sehingga proses pencapaiannya tidak akan maksimal.
Kalau hanya kepala sekolah yang mengambil posisi revolusioner sedangkan yang lianya hanya diam menonton, apalagi menggembosi, maka sampaikapanpun kondisi sekolah yang kolaps tidak dapat bangkit. Bahkan, mungkin semakin hancur. Oleh karena itu, semua aspek harus memposisikan diri sebaik-baiknya dan bergerak bersama-sama secara serentak untuk mencapai tujuan. Haruslah ada kesepakatan, kesepahaman, dan keselarasan pada setiap langkah kebijakan yang diterapkan. Jika perlu kepala sekolah membentuk tim khusus untuk program perbaikan dan pengembnagan kondisi. Tim ini adalah tim yang didalamnya bergabung orang-orang dengan idealisme tinggi untuk upaya perbaikan kondisi, yang mau berkorban, berkomitmen dan bertindak demi kepentingan sekolah semata dan menanggalkan kepentingan pribadi untuk sementara waktu. Atau selamanya.
Kepala sekolah revolusioner tetaplah seorang manusia dengan sekian bantyak kekurangan, tanpa bantuan dari orang-orang yang seide, maka justru dia akan menjadi tumbal dari sesuatu yang tidak menentu. Tetapi, kepala sekolah revolusioner tetap diperlukan untuk perbaikan dan perbaikan kondisi sekolah yang kolaps.


Gembongan, 12 April 2006

Dilemma pimpinan Sekolah Mendua Hati

Pengantar

Pimpinan sekolah adalah sosok-sosok terpilih yang diharapkan mampu membawa sekolah pada kondisi terbaik. Pada para pimpinan sekolah inilah harapan untuk mengembangkan dan memajukan sekolah digantungkan, sehingga eksistensi sekolah mendapat pengakuan/legalitas dari masyarakat.
Pada umumnya, sekolah yang berkembang pesat adalah sekolah yang para pimpinannya mempunyai kepedulian cukup, bahkan sangat tinggi terhadap upaya-upaya perkembangan dan pengembangan sekolah. Mereka lebih mengutamakan langkah-langkah konkrit untuk perwujudan program dan kondisi daripada sekedar memikirkan apa yang bakal didapatkan dari sekolah, memikirkan diri sendiri.
Para pemimpin sekolah dalam hal ini dapat kita katakan terdiri atas: Pengurus Yayasan dan Staf sekolah. Pengurus Yayasan meliputi seluruh elemen organisasi Yayasan, yaitu Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara serta ketua seksi yang dibentuk untuk menangani setiap aspek yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Sedangkan, Staf sekolah meliputi Kepala Sekolah bersama dengan empat wakilnya, wakil kurikulum, wakil kesiswaaan, wakil sarana prasarana, dan wakil hubungan masyarakat.
Pengurus yayasan dan staf sekolah merupakan pilar penyangga keber-hasilan program kerja sekolah. Pengurus yayasan memberikan fasilitas yang diperlukan dalam rangka mewujudkan program kerja sekolah. Staf sekolah secara bersama-sama menyusun program kerja sesuai dengan bidang masing-masing. Selanjutnya, program kerja yang telah disusun dilaporkan kepada pengurus yayasan untuk mendapatkan rekomendasi dan fasilitasi. Setelah semua program disetujui, maka giliran guru yang bertugas mengimplementasi-kannya dalam proses pembelajaran.
Para pemimpin sekolah ini secara rinci menyusun program yang di dalamnya mencakup segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan sekolah, misalnya manajemen SDM, manajemen organisasi, manajemen saranaprasarana, manajemen hubungan masyarakat, dan sebagainya. Bahkan dalam hal ini-pun adalah RAPBS, yaitu rencana anggaran pendapastan dan belanja sekolah.
Yayasan adalah fasilitator bagi seluruh program kegiatan sekolah, sehingga setiap poin dari program dapat diwujudkan dalam kegiatan konkrit. Oleh karena itulah, maka yayasan harus mempunyai kepedulian yang tinggi dan apresiasi yang tepat pada setiap program kegiatan yang disusun oleh kepala sekolah dan para wakilnya.
Kepala sekolah dan para wakilnya adalah pengelola pelaku dan manajemen dari seluruh program yang telah disusun sehingga terjadi kegiatan yang dinamis, yang benar-benar mengacu pada program. Kepala sekolah dan para wakilnya seharusnya mempunyai sikap yang sama terhadap implementasi program kerja sekolah sehingga terjadi keselarasan dan kesamaan langkah dan persepsi terhadap seluruh konsekuensi dari implementasi program.
Dalam hal yang lain, sebagai pengelola, maka kepala sekolah dan para wakilnya harus mempunyai kepedulian terhadap setiap perkembangan ataupun pengguguran program-program. Oleh karena itulah, maka kepala sekolah dan para wakilnya harus menempatkan segala kemampuan diri pada konsentrasi untuk pengembnagan dan perkembangan sekolah. Mereka harus memberikan perhatian yang ekstra terhadap kondisi sekolah. Seluruh kemampuan diri harus diarahkan untuk menangani sekolah, sehingga adalah sngat riskan jika ada pemimpin sekolah yang mendua hati, apalagi pada saat kondisi sekolah sedang krisis dan kritis.
Seharusnya, kepala sekolah dan para wakilnya memusatkan segala kemampuan diri ke arah pengembangan sekolah yang dipimpinnya dan tidak membagi perhatian dengan pengembangan lembaga lainnya, apalagi sama-sama lembaga pendidikan, sekolah. Bagaimana-pun selalu ada persaingan.
Bagaimana-pun, sebagai seorang mnausia, kita tidak pernah dapat bersikap adil. Walau kita selalu dituntut untuk bersikap adil, tetapi itu adalah kondisi ideal yang sangat berat untuk dapat diwujudkan manusia. Demikian juda dengan kepala sekolah dan para wakilnya tidak akan dapat bersikap adil dalam emmberikan perhatian pada sekolah jika dia juga menjadi pimpinan di sekolah lainnya. Akan ada dualisme di dalam hatinya. Pada suatu saat harus memikirkan sekolah A, tetapi pada saat yang sama, lain harus memikirkan sekolah B. Apalagi jika di salah satu tempat tersebut memegang kendali kepemimpinan, maka kemungkinan untuk dapat bersikap adil sangatlah kecil. Ada kecenderungan,mereka akanmendua hati.
Dampak dari peimpin yang mendua hati memang secara langsung dapat dirasakan sebagai ketidakadilan dalam menangani setiap kondisi yang ada. hal ini karena yang namanya keadilan adalah sesuatu yang ideal dan tidak dapat dicapai olehmanusia. Selalu akan terjadi ketimpangan pada perhatian dan penanganan, bahkan kebijakan yang diambil-pun akan sangat membias, berkecenderungan. Jika seorang pemimpin sudah mendua hati, maka segala hal yang diputuskan merupakan sesuatu yang tidak stabil. Gamang dan tidak jelas sebenarnya kebijakan tersebut sepantasnya untuk apa dan siapa.
Para pimpinan yang memegang kendali di dua tempat berbeda dengan bidang garapan yang sama pasti akan memiliki kecenderungan pada salah satunya. Tingkat kepedulian yang diberikan pada kedua institusi tidak dapat seimbang, berat sebelah. Katakanlah, jika pada mereka dipertanyakan tingkat kepedulian, maka mereka pasti menjawab lebih berat ini daripada yang itu. Jujur orang akan bersikap seperti itu, apalagi jika ada perbedaan perlakuan yang didapatkan sebagai konsekuensi tugasnya.
Jika seseorang menjabat sebagai kepala sekolah pada sekolah yang berbeda, maka akan ada salah satu sekolah yang tingkat kepeduliannya secukupnya, tetapi pada sekolah yang lain sedemikian besarnya. Inilah yang dinamakan ketidakadilan. Hal ini merupakan sesuatu yang alami dan dapat terjadi pada siapapun. Ketidakimbangan perhatian. Sebagaimana umumnya jika kita bandingkan dengan laki-laki yang melakukan poligami, maka kita dapat kenyataan bahwa dia sama sekali tidak dapat bersikap adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini sebab yang namanya keadilan merupakan sesuatu yang relatif dan pribadi sekali.
Masalahnya adalah jika seorang pemimpin sekolah bersikap dan berposisi seperti itu, lantas bagaimana dengan kelangsungan perjalanan hidup sekolah bersangkutan? Dapatkah sebuah sekolah berjalan jika pemimpinnya mendua hati? Dapatkah program-program yang disusun direalisasikan jika para pemimpin juga memikirkan program dari sekolah yang lainnya, yang justru sangat diberatinya?!
Jika kita mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka setidaknya kita perlu introspeksi terhadap diri kita tentang kesanggupan kita pada saat pertama kali menerima perintah atau tugas menjadi pemimpin sekolah. Kita tidak boleh menerima tugas tersebut jika memang pada saatnya kita tidak dapat bersikap adil sehingga dapat menjatuhkan salah satu dari sekolah tempat kita mengabdikan diri.
Tapi hal tersebut sulit diwujudkan sebab tugas itu berarti uang. Jika mendapatkan tugas, berarti ada pemasukan rejeki bagi kita. Hal tersebut yang tidak dapat diabaikan oleh setiap orang, sehingga begitu saja menerima tugas walaupun untuk hal tersebut mereka harus mendua hati. Merebut banyak rejeki dengan mengabaikan perhatian dan pelaksanaan tugas sebagaimana mestinya.
Berkaitan degagn tujuan pengembangan sekolah agar eksistensinya terjaga, maka sebenarnya bukan hanya guru yang harus bekerja keras dengan sebaik-baiknya, tetapi justru para pemimpin, terutama harusnya menjadi motivator dalam bekerja. Para pemimpin memberikan teladan tentang dedikasi dan loyalitas terhadap sekolah, sehingga para gurupun bekerja dengan baik.
Para pemimpin seharusnya ‘kerasan’ disekolah, artinya semua daya pikir, daya kerja, daya kreasi dan daya-daya yang lain dikonsentrasikan untuk pengembangan sekolah. Para pemimpin seharusnya memberi teladan tentang sikap kerasan di sekolah dengan menerapkan pikiran-pikiran pengembangan sekolah. Eksistensi mereka di sekolah, bagaimanapun telah menjadi cerminan keteladanan bagi anak buahnya. Anak buah akan semakin perhatian pada pemimpin jika sang pemimpin selalu mereka lihat aktif dan memberi contoh positif.
Kerasan di sekolah diartikan sebagai sikap untuk selalu memikirkan bagaimana sekolah dapat berkembang dan segala kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan program. Pemimpin harus berada di sekolah sebagai implikasi dari kesanggupannya menerima tugas. Jangan pernah mengharap guru akan kerasan di sekolah jika para pemimpinnya tidak ada yang kerasan di sekolah. Kita tidak dapat menuntut para bawahan, guru untuk selalu kerasan di sekolah sementara para pemimpinnya sama sekali tidak kerasan di sekolah, selalu menghindari sekolah dengan berbagai alasan untuk dapat selalu berada di luar sekolah. Seakan-akan ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan jika berada di sekolah atau mereka beranggapan bahwa yagn terjadi di sekolah bukanlah sesuatu yang penting bagi diri mereka sehingga tidak perlu mendapatkan banyak perhatian.
Oleh karena itulah, maka sebaiknya seseorang yang hendak diplih atau menempati posisi sebagai pimpinan sekolah haruslah orang-orang yang bebas, artinya tidak memegang jabatan yang sama di sekolah lainnya. Memang tidak semua orang akan bersikap berat sebelah, tetapi, jika kita telaah, maka dengan penggandaan status, konsentrasi akan terbagi dan pasti akan mengurangi porsi salah satu dari dua posisi tersebut.
Orang-orang yang mendua posisi pada umumnya akan berada di posisi ‘kecenderungan’. Cenderung pada posisi A daripada posisi B, atau sebaliknya. Jika sekolah dipimpin oleh orang-orang seperti ini, maka hal ini saja sudah merupakan kendala bagi pengembangan dan perkembangan sekolah menuju peningkatan kualitas dan menjaga eksistensinya.
Dapat kita bayangkan pada suatu saat kita membutuhkan wakil kepala sekolah urusan kesiswaan karena ada masalah yang harus diselesaikan pada saat itu juga, tetapi sang wakil tidak ada di tempat karena harus berada di sekolah B berkaitan dengan statusnya di sana sebagai wakil kepala sekolah juga. akibatnya, semua masalah tidak terselesaikan. Orang-orang pontang-panting mendatanga sang wakil di sekolah B. Belum lagi jika urusan tersebut berkaitan dengan orang/pihak luar, sehingga akan memberikan gambaran manajemen pemimpin sekolah yang kurang baik, jika tidak dapat dikatakan buruk atau amburadul.
Bagaimana sebuah sekolah dapat bertahan terhadap segala permasalahan dan eksistensinya jika para pemimpinnya sibuk dengan urusan di luar tugas dan fungsinya disekolah bersangkutan justru sedang berkonsentrasi pada perkebnganan sekolah lainnya, yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai saingan sekolah tersebut! Mereka lebih mementingkan tugas ekolah yang lain dan mengabaikan sekolah ihni. Mereka berada di sekolah lain justru pada saat sekolah sangat membutuhkan keberadaannya. Bukankah manajemen seperti ini dikatakan sebagai manajemenm amburadul?!
Kondisi ini jelas sangat riskan dan merugikan terhadap kelangsungan hidup dan usaha menjaga eksistensi sekolah di masyarakat. Bagaimana tidak, masyarakat akan sering dikecewakan oleh perlakuan atau ketiadaan di tempat dari kepala sekolah atau para waakil yang dibutuhkan.masyarakat akan merasa disepelekan sebab tidak dapat segera menyelesaikan permasalahan tepat waktu sebab tidak adanya pimpinan yang ditemui di sekolah. Atau kekecewaan masyarakat yang berasa diabaikan sebab setiap kali datang ke sekolah untuk menemui salah satu wakil atau kepala sekolah tetapi selalu saja tidak ada di tempat.
Sungguh hal ini sangat riskan, di satu sisi kita ingin mempertahankan eksistensi sekolah, tetapi pada sisi yang lain para pemimpin sekolah tingkat kepeduliannya sedemikian rendahnya. Padahal seharusnya mereka menjadi panutan bagi para guru dan karyawan. Terus terang walaupun para guru dan karyawan sudah mengetahui tugas dan fungsi maisng-masing, tetapi mereka akan merasa ‘sreg’ melakukan tugas jika ada pimpinan mereka. Bukan apa-apa, hanya ingin menunjukkan bahwa mereka dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Tetapi, jika para peimpin tidak ada, maka mereka menjadi sembrono dan bekerja seenak hatinya.
Keberadaan para pemimpin sekolah di tempat memang merupakansuatu tuntutan yang wajar dari guru dan karyawan sebab hal tersebut berkaitan dengan kinerja. Sekolah yang para pemimpinnya jarang di tempat berkecenderungan untuk tidak teratur sebab masing-masing pribadi selalu ingin menampilkan diri sebagaimana keinginannya. Walaupun mereka sudah memahami tugas dan fungsinya tetapi egoisme diri merupakan bekal diri yang paling utama bagi semua orang. Sehingga tanpa kehadiran seorang pemimpin yang dibutuhkan sebagai acuan, maka sudah barang tentu mereka sedikit kecewa.
Agar kondisi sekolah dapat dipertahankan selalu berada pada posisi sesuai program kerja, maka ssudah seharusnya para pemimpin sekolah dapat memposisikan dirinya sebagainmana mestinya untuk dapat emotivasi anak buahnya dalam menepati tugas dan fungsinya masing-masing. Berkaitan dengan kondisi dan posisi masing-masing personil, maka setidaknya seorang pemimpin sekolah harusnya:
a. Konsisten
Sebagai seorang pemimpin, maka seorang kepala sekolah ataupun wakil kepala sekolah seharusnya selalu menempatkan posisi dirinya sebagai sosok yang memegang amanat dan kepercayaan dari banyak orang, khususnya guru dan karyawan serta yayasan untuk memimpin sekolah agar dapat mencapai tujuan yang sudah diprogramkan
Oleh karena itulah, maka sebagai pemimpin, mereka haruslah konsisten terhadap apa yang telah menjadi kesanggupannya pada saat pertama kali menerima tugas sebagai pemimpin sekolah. Mereka juga harus konsisten terhadap apa yang terlah diprogramkan sehingga secara bersama-sama mendampingi perjalanan program kerja hingga perwujudan dari program dapat dirasakan oleh semua pihak.
Seorang pemimpin sekolah seharusnya konsisten terhadap posisinya dan janji-janji yang telah diucapkan pada saat menerima tugas, salah satunya adalah akan secara aktif ikut mengembangkan sekolah dan memusatkan pikiran dan daya ke sekolah secara penuh, tidak sebagian saja.
b. Konsekuen
Seorang pemimpin sekolah harus konsekuen dengan apa yang telah diucapkannya. Artinya jika seorang pemimpin telah mencanangkan program dan masa sosialisasi telah dilaksanakan, maka selanjutnya sang pemimpin harus konsekuen dengan semua yang telah disusunnya tersebut.
Ketika seseorang menerima tugas sebagai pemimpin sekolah, maka selanjutnya dia harus menjalankan tugas secara baik sebagai konsekuensi dari tugas tersebut. tidak ada alas an untuk menghindar dari segala tugas hanya karena urusan lain, khususnya yang berhubungan dengan hal yang sama di sekolah yang lainnya.
Seorang pemimpin harus konsekuen dengan apa yang telah diucapkannya dan menjaga secara terus intensitas pengabdiannya terhadap sekolah. Dan, berusaha untuk tidak bersikap mednua hati sehingga jika perlu harus memilih mana yang lebih berat untuk pengabdiannya, di sekolah ini ataukah sekolah lainnya.
c. Komit
Sebagai seorang pemimpin, maka kepala sekolah atau wailnya harus dapat memaksa dirinya untuk secara wajib melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan pembagiannya. Dengan langkah seperti ini, maka setidaknya sekolah telah memiliki orang-orang yang mampu membawa sekolah pada kondisi yang benar-benar kondusif untuk perkembangan lebih lanjut.
Dengan sikap komit ini maka seorang pemimpin akan selalu menyadari bahwa dirinya mempunyai kewajiban yang sedemikian besar untuk perkembangan dan pengembangan sekolah menuju peningkatan kualitas pendidikan secara umum.
Selanjutnya, seorang pemimpin sekolah haruslah meyadari bahwa di dalam institusi sekolah dia telah meneken kontrak atau komitmen dengan semua pihak untuk tujuan perkembangan dan pengemabngan sekolah. Dia telah meneken kontrak untuk secara bersama-sama mengelola dan memimpin semua elemen untuk mencapai program yang telah disusunnya.
d. Proporsional
Untuk para pemimpin yang mendua, maka seharusnya dia dapat berpikir pada koridor yang tepat. Artinya dia seharusnya dapat melaksanakan tugasnya secara proporsional. Proporsional dapat juga diartikan sebagai kondisi yang disesuaikan dengan posisi seorang pemimpin pada saat bersangkutan. Jika memang dia berada di sekolah A, maka segala daya merupakan bagian dari sekolah A, tetapi jika berada di sekolah B, aka segala dayanya untuk sekolah B. dengan cara seperti ini, maka kinerja sang pemimpin benar-benar dapat dikatakan sebagai seorang professional abadi. Bahkan, jika perlu tidak usah menerima urusan lain di sekolah. Kalau ada urusan, maka sebaiknya dilakukan diluar jam kerja sekolah. Dengan cara seperti ini, maka tingkat konsentrasi sang pemimpin benar-benar terpusat pada sekolah.
Proporsional dapat kita artikan sebagai suatu kondisi yang seimbang. Ketika harus berada di salah satu tempat, maka dia harusnya dapat bertindak sebagai pemimpin tempat tersebut dan menghilangkan imej pemimpin di tempat yang lainnya. Dalam hal yang lain, seorang pemimpin yang mendua harusnya dapat melakukan tugasnya sesuai dengan porsinya, tidak boleh berat sebelah. Haruslah ada perimbangan antara sikap terhadap A dan terhadap B. Tanpa konsep tersebut, maka sudah barang tentu yang terjadi adalah ketimpangan sikap.

Penutup
Memperhatikan segala hal yang terkait dengan sikap pemimpin yang mendua hati, maka sebaiknya kita perlu bercermin pada pengalaman bahwa kita tidak dapat bersikap dan bertindak adil terhadap dua posisi yang sama-sama kita pegang. Jika perlu, seharusnya kita pilih salah satu saja sehingga konsentrasi kita dapat lebih baik dan langkah kerja kita tidak akan ngambang karena tuntutan dari masing-masing pihak, yang umumnya menuntut terbaik.
Oleh karena itulah, jika kita memang merasa tidak mungkin untuk bertindak adil, maka sebaiknya kita lepaskan salah satu posisi dan berkonsentrasi pada satu sisi saja.


Gembongan, 22 April 2006