Minggu, 05 Oktober 2008

Intelektual VS Mistik

Dunia pendidikan merupakan dunia yang setiap langkahnya selalu didasari oleh pola pikir rasional dan mengedepankan nalar. Di dalam dunia pendidikan setiap permasalahan yang timbul selalu diusahakan untuk dipecahkan secara ilmiah, dengan dasar ilmu pengetahuan. Langkah-langkah strategis ditentukan dan selanjutnya diterapkan secara intens.
Orang-orang umum seringkali berpendapat bahwa mereka yang berada pada dunia pendidikan adalah orang-orang yang rasionalitasnya tinggi. Orang-orang seperti ini lebih mengandalkan penalaran secara logika daripada hal-hal yang muskil dan tidak masuk akal. Itulah, kenapa dunia pendidikan di manapun menjunjung tinggi intelektualisme daripada segala sesuatu yang diluar nalar apalgi tidak dapat dipikirkan atau dikaitkan dengan intelektualisme.
Oleh karena itulah, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru didasari pada tujuan untuk mendapatkan pengetahuan setinggi-tingginya dengan menjunjung tinggi logika dan martabat keilmuan. Hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh logika dan meruntuhkan martabat keilmuan sedapat mungkin dihindarkan dari langkah - langkah dan kebijakan - kebijakan pendidikan.
Tetapi, apa yang terjadi ketika masa ujian sudah diambang pintu? Rasanya kita semua dapat melihat, bahkan mengalami sendiri hal-hal yang berbau mistik mengambil peranan dalam menentukan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan langkah-langkah antisipasif yang dilakukan sekolah dengan harapan anak didik dapat melalui ujian secara mantap dan berhasil guna. Tidak sedikit sekolah yang kemudian mengarahkan langkah atau orang mngetakan bahwa dalam kondisi seperti ini segala cara ditempuh agar anak didik berhasil. Hal ini sebab berkaitan dengan nama diri sekolah. Walaupun lanmgkah tersebut sangat berseberangan dengan kondisi normal sehari-hari.
Penulis melihat bahwa ada penyelewengan terhadap langkah-langkah antisipasif yang sebenarnya cuikup baik, tetapi karena dasar tujuannya yang menyimpang, maka langkah-langkah ini tidak lagi konstruktif bahkan nyata-nyata menjadi langkah yang destruktif. Langkah-langkah ini tidak lagi membangun karakter terbaik atau membangun sikap-sikap positif melainkan justru merusak sikap-sikap positif dan menjadikannya sebagai langnkah-langkah yang merusak. Langkah-langkah ini justru menjadikan anak didik sebagai subyek yang mempunyai kepercayaan semu dan selanjutnya terjerat pada sikap ketergantungan pada sesuatu yang jelas tidak ilmiah.
Anak-anak dihadapkan pada sesuatu yang mistik dan metafisik, bahkan jika boleh dibilang absurd. Anak-anak digiring untuk menggantungkan diri pada sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dijabarkan dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Hal ini benar-benar merupakan pengalaman baru, tetapi sekilas sungguh sangat menjanjikan bagi kesukseskan kegiatan. Anak-anak diberikan pemantapan jiwa terhadap sebuah kepercayaan atas kondisi pralogika atau kondisi yang belum mengenal atau menggunakan logika sebagai dasar berpikir. Misalnya, kepercayaan bahwa pohon mempunyai kekuatan gaib yang dapat menyerang seseorang dan sebagainya.
Ini merupakan kondisi flash back yang terjadi dalam pola kehidupan manusia sebagaimana sebuah film kehidupan yang menggambarkan pola kehidupan sebelum sang lakon berperan. Di dalam film, hal ini setidaknya membantu para penonton untuk lebih memahami dan mengenal sang tokoh yang diceritakan. Tetapi, kalau kemudian kondisi tersebut terjadi pada kehidupan nyata, apakah bertujuan agar kita lebih memahami dan mengerti kondisi? Ataukah ini merupakan tanda kemunduran pola pemikiran generasi?
Pendidikan mengajarkan pada kita keilmiahan dan kepercayaan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Aspek inilah yang selama ini kita dapatkan sebagai hasil dari proses pembelajaran. Kita diarahkan untuk dapat menerima segala aspek kehidupan dengan menggunakan logika dan kepercayaan mutlak pada sang pencipta, bukan pada yang lainnya. Setiap menghadapi masalah,kita diharapkan mempertimbangkan berdasarkan dalil aqli dan dalil naqli sehingga terjadi keselarasan hidup. Tetapi meskipun demikian, semua itu bukanlah sesuatu yang diluar nalar atau logika, sebab ini adalah masalah keimanan.
Masalah yang sesungguhnya sedang kita kritisi adalah mengapa beberapa praktisi pendidikan menjelang ujian nasional telah melakukan langkah-langkah antisipasif yang menyimpang? Anak-anak bukannya diarahkan agar mempersiapkan diri sebaik-baiknya terhadap materi ujian yang akan dihadapi dan mendekatkan diri kepada sang Pencipta agar diberikan ketenangan dalam menghadapi ujian nasional. Ini adalah hal logis dan masuk nalar yang seharusnya ditekankan oleh guru kepada anak didiknya, bukan malah memberikan langkah-langkah alternatif yang, maaf sangat tidak rasional! Bagaimana dapat seorang guru memberikan langkah anak didiknya ke supranatural atau katakanlah dukun agar dapat berhasil dalam mengikuti ujian nasional?! Segala syarat dituruti, misalnya menjampi-jampi nomor peserta, nama peserta, pensil yang dipakai untuk mengerjakan jawaban soal. Bahkan ada yang memesan pada sang ‘dukun’ agar para pengawas yang menjalankan tugas pengawasan ‘tertidur’ di dalam ruang pengawasan atau tidak kerasan mneunggu di dalam ruangan. Padahal kalau sekedar ingin membuat sang pengawas tidak kerasan dikelas adalah pekerjaan yang mudah, yaitu suruh saja anak-anak kentut bergiliran di ruangan, maka sang pengawas pasti kegerahan di ruangan. Beres!
Tetapi, memang segala cara harus dilakukan agar hasil kegiatan ujian nasional dapat tercapai secara maksimal. Logika-pun sepertinya sudah tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan lngkah tersebut. mereka tidak memperdulikan apakah langkah-langkah tersebut logis ataukah tidak, intelek ataukah mistis! Bagi mereka hanya satu yaitu berupaya sekuat tenaga dengan berbagai langkah yang dipercaya dapat memberikan pengaruh positif terhadap kejiwaan anak didik. Mereka mengabil kebijakan untuk memakai langkah-langkah by pass atau jalan pintas tersebut tidak lain adalah sebagai pembekalan mental spiritual. Bagi mereka persiapan mental menjadi tenaga dalam diri yang perlu dibangkitkan sehingga anak didik tidak mengalami nervouse saat ujian berlangsung. Bagaimana-pun kondisi mental seorang anak pada saat engikuti ujian sangat berpengaruh terhadap proses yang harus dilaluinya. Tetapi, jika ternyata langkah antisipasi yang diambil oleh pihak sekolah adalah langkah-langkah absurd seperti itu, maka penulis merasa sangat prihatin. Ya, penulis merasa sangat prihatin sebab menganggap bahwa hal tersebut sudah tidak mencerminkan intelektualitas ataupun derajad keilmuan yang merosot jauh dari pakemnya. Lantas dimanakah derajad keilmuan tersebut berada?
Kita bukannya antipati terhadap segala hal yang berbau seperti itu, tapi setidaknya kita juga perlu bersikap ilmiah dalam menghadapi kondisi sepreti ini. Pembelajaran adalah sebuah proses, sehingga dari hal tersebut, maka kita dapat mencoba mengkondisikannya sejak awal proses dilakukan, bahkan sejak direncanakan kita sudah dapat memprediksi apa yang bakalan kita hadapi. Guru mengadakan proses pembelajaran sejak tingkat satu hingga anak didik sampai pada tingkat tiga, yang harus mengikuti ujian nasional. Bagaimana mungkin anak didik dianggap tidak siap mental? Setiap saat kita melaksanakan proses pembelajaran, maka pada sat tersebut kita selalu emmberikan dukungan dan dorongan semangat yang sedemikianrupa sehingga anak-anak merasa mantap dan siap menghadapi ujian. Bukankah hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah kesiapan pengetahuan atau materi pelajaran yang diujikan dengan didukung oleh kondisi jiwa yang mantap? Penguasaan terhadap materi pelajaran sudah setiap hari diberikan oleh guru, baik melalui proses harian ataupun proses-proses pengayaan dan sebagainya, sedangkan pemantapan mental-pun tidak pernah lepas dari perhatian guru-gurur sebab setiap mengajar selalu memberikan dukungan moril, semangat dan kepercayaan diri menghadapi kondisi ujian. Lantas, untuk apa kita harus pergi ke ‘dukun’?
Kalau hal seperti ini seringkali menjadi panduan dalam upaya mencapai keberhasilan dalam proses ujian, maka sudah pasti peranan logika positif tidak berlaku dan tenaga negatif akan menancap di dalam diri dan menjadi pola kehidupan selanjutnya. Memang, manusia mempunyai kewajiban untuk selalu berusaha menggapai semua cita-citanya, bahkan setinggi langit-pun! Jika perlu seseorang akan mengabaikan harga diri hanya karena ingin mencapai tujuannya. Bagaimana kita tidak mengabaikan harga diri jika ternyata kita masih saja berkutet pada hal-hal yang penuh dengan keabsurdan, kemuskilan atau mistik?!
Dunia pendidikan merupakan cerminan dari pola pikir keilmiahan dengan mendasarkan pada penalaran dan kemampuan logika serta pengetahuan, jika ternyata hanya untuk mencapai keberhasilan dalam menempuh ujian nasional, ternyata nomor, nama, dan pensil anak didikhatrus diberi jampi-jampi oleh ‘dukun’. Lantas, dimanakan logika yang selama ini menjadi landasan langkah mencapai keberhasilan, dimanakah keimanan dan kepercayaan kita pada sang Pencipta jika untuk memantapkan mental, maka kita lebih mempercayai sang ‘dukun’?!
Sungguh, jika kualitas pendidikan kita terpuruk, bukanlah sesuatu yang aneh jika ternyata langkah untuk mencapai keberhasilan dalam ujian menggantungkannya pada ‘dukun’ yang katanya mampu membuat anak didik ‘mampu’ mengerjakan soal-soal ujian dengan baik. Dengan jampi-jampi yang telah dibalurkan pada pensil dan nomor peserta serta membumikan nama peserta, maka segala kekuatan dunia dapat bersatu dan memberikan kemampuan ekstra kepada anak didik sehingga anak yang tidak mampu-pun dapat mengerjakan soal dengan baik. Sungguh, jika demikian, kenapa pula kita bersusah payah memberikan proses pembelajaran kepada anak didik agar berpengetahuan dan berketerampilan sebagai bekal kehidupannya?
Dunia pendidikan kita masih digantungkan pada kebiasaan jampi-jampi ‘dukun’ yang sanggup meningkatkan perolehan nilai anak didik dalam menjalani ujian akhir/nasional. Sementara itu, kegiatanan pembelajaran sama sekali tidak mencerminkan keberhasilan dalam memberikan bekal kepada anak didik untuk menghadapi ujian nasional. Semua materi pembelajaran yang diberikan selama proses sama sekali tidak mempunyai relevansi dan dianggap tidak memberikan korelasi terhadap tingkat keberhasilan anak didik.
Duh, sungguh, sekali lagi penulis merasa sangat terenyuh saat menyadari bahwa dunia pendidikan kita telah diintervensi oleh dunia maya yang benar-benar maya sebab tidak mendasarkan pada keilmiahan dan logika positif. Anak-anak dianggap tidak berpengetahuan danberketerampilan yang memadai sehingga harus meminta tolong pada ‘sesuatu’ yang abstrak dan absurd. Kita menggadaikan dunia pendidikan pada dunia absurd. Lantas, bagaimana nasib negeri ini jika semua pelaku pendidikannya tidak lagi berpikir rasional, bahkan mendewakan pikiran irrasional?
Semoga saja kita menyadari bahwa tingkat keberhasilan dalam mengikuti ujian akhir adalah tergantung pada seberapa banyak bekal pengetahuan dan keterampilan kita. Jika kita mampu memiliki bekal pelajaran yang banyak, maka segala hal yang berhubungan dengan proses ujian tidak menjadi penghalang keberhasilan kita. Kita perlu menekankan kepada diri kita masing-masing bahwa keberhasilan anak didik dalam menempuh ujian adalah tergantung pada proses pembelajaran yang kita lakukan sejak anak didik masuk sekolah kita. Bagaimana kita memperlakukan mereka dalam proses pebelajaran dan bagaimana cara kita memproses pembelajaran merupakan hal terutama yang menjadi penentu keberhasilan anak didik.
Rasanya sudah waktunya kita benar-benar mengarah pada pencapaian kuailtas pendidikan. Tidak perlu kita memberikan bantuan mengerjakan soal-soal ujian untuk anak didik apalagi dengan membawa semua peralatan ujian ke ‘dukun’. Sungguh sangat memilukan jika hal tersebut terus saja terjadi. Ternyata dunia pendidikan kita tidak terlepas dari dunia mistik yang absurd.

Gembongan, 16 Mei 2006

Tidak ada komentar: