Di dalam kurikulum berbasis kompetensi tersurat tujuannya adalah untuk dapat mengkondisikan anak didik yang mempunyai kemampuan atau kompetensi memadai atas materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. kompetensi ini merupakan kemampuan yang benar-benar dikuasai dan dipahami secara tuntas sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan. Selanjutnya dengan kemampuan tersebut, maka anak didik dapat survival dan bahkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk yang lain.
Sementara itu untuk mengetahui tingkat kemampuananak didik dalam penguasaan kompetensi untuk setiap materi pelajaran, guru dapat melakukan evaluasi pada setiap akhir pokok bahasan atau sepanjang proses pembelajaran dilaksanakan. Informasi kompetensi ini merupakan target utama dari pembelajaran pokok bahasan sehingga guru dapat memperolehnya jika penyampaian materi kepada anak didik sudah tuntas dan guru dapat mengadakan evaluasi khusus.
Informasi kompetensi ini tidak hanya terbatas pada pelajaran kognitif, melainkan juga pada pelajaran afektif dan psikomotor,bahkan psikomotor merupakan aspek pokok untuk mengukur tingkat penguasaan kompetensi bagi anak-anak yang bersekolah di SMK. Tetapi, anak didik yang bersekolah di sekolah umum-pun dapat diketahui informasi penguasaan kompetensi dengan kegiatan evaluasi praktek yang dapat deiperoleh dari kebiasaan seharti-hari..
Masalahnya timbul ketika ternyata sistem evaluasi kompetensi tersebut dilaksanakan secara akumulatif. Guru atau sekolah secara umum mengadakan evaluasi terhadap hampir seluruh aspek kompetensi yang ada di dalam materi pembelajaran mata pelajaran, biasanya dilakukan pada setiap akhir tahun pelajaran. Sistem evaluasi akumulatif ini umumnya dilaksanakan secara serempak untuk sekian mata pelajaran, misalnya yang seringkali kita jumpai adalah mata pelajaran Pendidikan Agama, Fisika, Kimia, Kewirausahaan, Komputer, dan pekerjaan bengkel. Semua itu adalah mata pelajaran yang umumnya dievaluasi penguasaan kompetensinya secara akumulatif. Sementara itu, setiap hari anak-anak sudah melaksanakan kegiatan praktek sebagai penerapan isi kurikulum dan setiap saat guru selalu menilai kompetensi anak didik pada setiap aspek kompetensi materi pembelajaran sehingga guru dapat memperoleh informasi tingkat kemampuan anak didik terhadap target kurikulum dari mata pelajaran. Artinya, setiap anak sudah dapat diketahui berapa level tingkat kompetensinya di dalam setiap mata pelajaran, sehingga penulis menganggap bahwa pengadaan proses evaluasi secara akumulatif merupakan kegiatan yang hanya menghabiskan dana pendidikan semata. Bagaimana tidak jika ternyata evaluasi tersebut sebenarnya sudah didapatkan guru pada saat evaluasi keseharian?!
Evaluasi kompetensi memang merupakan satu tahapan dan kondisi yang harus dilalui oleh anak didik agar dapat diketahui tingkat kemampuannya terhadap permasalahan atau pokok bahasan di dalam materi pelajaran. Dan, jika kita mengikuti apa yang tersirat maupun yang tersurat dalam kurikulum berbasis kompetensi, maka setidaknya kita mengetahui bahwa proses evaluasi kompetensi tersebut seharusnya dilakukan oleh guru selama proses pembelajaran atau setidaknya ketika satu pokok bahasan selesai dibahas atau dipelajarai anak didik. Dengan demikian, maka kita tidak memerlukan adanya ujian akumulatif pada akhir tahun sebab kompetensi anak didik sudah diketahui sejak proses pembelajaran dan hal tersebut akan lebih valid jika disetiap selesai menjalani uji kompetensi anak didik mendapatkan sertifikasinya.
Sungguh, penulis menganggap bahwa ujian praktek yang diseleng-garakan pada setiap akhir tahun pelajaran merupakan pemborosan yang seharusnya tidak dilakukan. Oleh guru atau sekolah. Hal ini disebabkan karena kompetensi anak didik mengenai pokok bahasan sudah dilalui anak didik dan anak didik berhak untuk mempelajari materi selanjutnya. Dalam hal ini kompetensi anak didik terhadap materi pembelajaran merupakan syarat utama yang harus dipenuhi anak didik sebelum dia diperkenankan mempelajari materi lanjutannya. Jika mereka tidak berhasil dalam uji kompetensi di akhir pembahasan materi pokok ternyata anak didik tidak berhasil, maak dia tidak boleh ikut mempelajari materi lanjutan. Dengan demikian, maka sebenarnya ujian praktek di akhir tahun sebagai akumulatif dari beberapa kompetensi pada mata pelajaran tidak diperlukan sebab anak didik sudah tersertifikasi berhasil untuk pokok bahsan bersangkutan.
Kita ambil saja pelajaran pendidikan agama atau pelajaran praktek pemesinan, maka sebenarnya kita mengetahui bahwa setiap kali anak memasuki jadwal pelajarannya, maka setiap kali itu pula dia harus mengikuti pembelajaran praktek. Hal ini berarti setiap kali itu pula guru mendapatkan informasi tentang tingkat kompetensi anak didik. Jika anak didik tidak berhasil memenuhi batas atau kriteria penguasaan kompetensi, maka dia tidak diperkenankan untuk mengikuti proses pembelajaran selanjutnya. Sekali lagi, penulis bertanya pada semuanya, kalau setiap saat anak didik sudah dapat diketahui tingkat penguasaannya terhadap kompetensi pelajaran, lantas untukapalagi kita mengadakan ujian kompetensi yang merupakan akumulatif dari sekian banyak kompetensi yang sudah dikuasai anak didik? Apakah sekedar untuk membuktikan bahwa anak didik benar-benar mempunyai kompetensi tersebut? Ataukah hanya sekedar untuk menarik dana dari masyarakat?
Belum lagi jika kompetensi tersebut berkaitan dengan pelajaran pen-didikan agama. Setiap saat anak didik mengikuti pelajaran agama, maka setiap saat itu pula guru agama memberikan evaluasi mengenai kompetensi beragama terhadap anak didik. Lantas mengapa harus diadakan ujian praktek diakhir tahun pelajaran? Kompetensi materi pelajaran agama didapatkan anak didik pada setiap pokok bahasan materi pembelajaran dan seringkali dilanjutkan pada evaluasi kompetensi bersangkutan. Hanya saja satu yang terlupakan bahwa setiap pelaksanaan evaluasi tersebut selalu tidak kita sertai dengan bukti sertifikasi kompetensi yang sudah dikuasai oleh anak didik, sehingga seringkali anak didik harus mengulang-ulang kompetensi yang sebenarnya sudah sangat dikuasainya.
Jika kita kaji ulang secara menyeluruh, maka kita pasti akan memperoleh sebuah kesimpulan yang begitu revolusioner, yaitu bahwa sebenarnya tidak perlu adanya ujian kompetensi di akhir tahun pelajaran! Hal ini disebabkan karena ujian kompetensi selalu dilaksanakan setiap akhir pembahasan pokok materi pembelajaran. Seluruh anak pasti sudha lengkap sertifikasi kompetensinya setiap selesai menerima penjelasan dan pembahasan materi pembelajaran. Bukankah sebenarnya ujian kompetnsi itu hanyalah upaya utukmendapatkan sertifikat ujian semata, tanpa melihat kemampuan dasar ayng telah dimiliki oleh anak didik selama proses pembelajaran di kelas.
Masalah selanjutnya adalah keterkaitan penentuan kualifikasi dan sertifikasi kompetensi yang diberikan pada uji kompetensi yang dinamakan tugas akhir atau project work. Apakah pelaksanaan ujian ini setelah dinilai diperoleh nilai positif dan tidak dapat dilepaskan dari keharusannya? Apakah efektifitas kegiatan benar-benar menunjang peningkatan kualitas lulusan? Ataukah semua kegiatan hanyalah formalitas sebagai langkah-langkah untuk memenuhi tuntutan kurikulum? Masih banyak lagi pertanyaan yang perlu kita jawab agar kita semakin yakin bahwa kegiatan ujian praktek dirasakan masih perlu untuk dilaksanakan di dalam dunia pendidikan kita ataukah justru sudah tidak layak dilaksanakan sebab tidak akurat dan relevan serta obyektifitas hasilnya tidak terukur pasti.
Penulis beranggapan bahwa ujian praktek sudah tidak relevan dilaksanakan di sekolah pada setiap akhir tahun dengan pertimbangan bahwa sebenarnya kompetensi anak didik sudah diketahui karena sudahdiuji oleh guru mata diklat pada setiap akhir pembahasan materi logikanya, jika seorang anak didik telah sampai pada tahun terakhir, berarti dia sudah memprogram seluruh mata diklat dan itu berarti sudah menempuh seluruh materi dari masing-masing mata diklat secara tuntas. Pada prinsipnya, jika seorang anak belum menun-taskan kewajiban atau jatah belajarnya dengan kualifikasi yang sudah ditentu-kan, maka dia tidak boleh mengikuti materi pelajaran selanjutnya. Tetapi, jika ternyata anak didik tersebut lancar-lancar saja, berarti segala komepetensi yang diharapkan dari setiap mata diklat sudah dikuasai. Jika demikian, maka untuk apa lagi dilakukan ujian praktek akumulatif?
Hal-hal yang menjadi pertimbangan adalah:
1. Obyektifitas yang kurang
Untuk mengetahui kualitas kompetensi seseorang seharusnya dilakukan secara obyektif sehingga apa yang didapatkan merupakan cerminan yang sebenar-benarnya dari seseorang. Proses mendapatkan informasi atau data tentang kualitas kompetensi seseorang dilakukan dalam sebuah ujian yang mengacu pada standar yang diberlakukan di sebuah wilayah atau negara. Dengan acuan seperti ini, maka diharapkan hasilnya merupakan sumber daya manusia yang benar-benar mumpuni dibidangnya.
Pada mulanya, program evaluasi kemampuan atau ujia kompetensi yang diselenggarakan oleh sekolah adalah program yang bersifat nasional sebaba alat ukut yang dipergunakan adalah dalam skala nasional. Seluruh sekolah yang mengadakan ujian praktek kompetensi diberikan instruksi atau patokan dasar yang harus dilaksanakan pada proses ujian praktek kompetensi. Ada beberapa pilihan pokok bahasan yang diujikan untuk mengetahui kompetensi anak didik yang dipilih oleh sekolah disesuaikan dengan kondisi sekolah.
Program ini sungguh sangat bagus sebab isinya sungguh ideal sekali. Anak didik diharapkan mempunyai kemampuan yang bersifat nasional dan selanjutnya dapat diterapkan atau diperlukan secara nasional juga. bahkan, dalam hal ini kita juga perlu mengacungkan jempol sebab di dalam program tersebut kita dapat melihat betapa tujuan ideal tersebut mengkondisikan sekolah pelaksana harus memiliki sarana prasarana yang memadai.
Untuk hal tersebut, sekolah harus disurvay kondisi nyatanya oleh asosiasi dunia industri atau dunia usaha . dunia industri atau duia usaha inilah yang akan memberi rekkomendasi atas kelayakan sebuah sekolah mengadakan ujian praktek. Jika memang sekolah tidak layak, maka dunia usaha dan dunia industri yang mencarikan tempat melaksanakan praktek. Ini merupakan kondisi ideal yang sungguh sangat mwenjanjikan untuk terciptanya lulusan yang benar-benar kompeten pada bidangnya, sesuai dengan program keahlian yang dipilihnya saat bersekolah.
Tetapi, selnjutnya jika kita melihat yang terjadi di lapangan, maka sungguh kita menjadi sangat apatis untuk terciptanya lulusan yang berkompeten terhadap bidangnya. Mengapa demikian ? jika kita mengikuti perjalanan pelaksanaan ujian prkaktek kompetensi yan dilaksanakan oleh sekolah, maka setidaknya telah terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan dasar pelaksanaan ujian praktek kompetensi tersebut.salah satu penyimpangan tersebut adalah sistem pengawasan dan penilaian hasil ujian praktek. Walaupun dikatakan bahwa ujian praktek kompetensi mempergunakan alat uji yang berskala nasional tetapi sistem evaluasinya masih tetap lokal, sehingga hal tersebut sangat dan sangat mengurangi obyektifitas evaluasi. Bagaimana-pun, setiap sekolah tidak menginginkan anak didiknya gagal.
Oleh karena itulah, maka setiap sekolah menerjemahkan isi program secara fleksibel, bahkan sangat radikal. Mereka hanya menerapkan sebagian kecil saja dari ketentuan program. Akibatnya, sifat ujian praktek yang nasional-pun kehilangan makna. Mereka melaksanakannya sebagaimana ujian yang lainnya, dimana pelaksanaannya sudah di sekolah sendiri dengan peralatan yang ada, guru pengawasnya adalah guru-guru yang kesehariannya adalah guru praktek di sekolah tersebut, pihak DU/DI yang hadir-pun seringkali hanyalah orang-orang yang tidak kompetens, dan yang paling parah adalah sistem penilaian hasil ujian-pun dikelola sendiri oleh sekolah. Hal ini saja sudah menggambarkan betapa rancunya sistem pelaksanaan ujian praktek di sekolah, khususnya di sekolah menengah kejuruan. Jika dikatakan atau dipergunakan alat uji berskala nasional, maka seharusnya semua sistem mengacu pada standar perlakuan nasional dan sekolah hanya mendapatkan hasil akhir dari ujian tersebut. tetapi dengan sistem pengelolaan sendiri, maka sifat kenasionalan sistem hanyalah sekedar kamuflase, bahkan kadang-kadang dipergunakan sebagai sarana untuk mendapatkan / pemasukan dana dari masyarakat semata.
Oleh karena itulah, maka penulis mengatakan bahwa sebenarnya ujian praktek yang dilaksanakan setiap akhir tahun, apapun namanya, ada yang menamakan ujian kompetensi (UKOM), ada yang mengatakan sebagai Tugas Akhir (TA) atau Project Work (PW), semua itu bukanlah sebuah kegiatan yang mewakili obyektifitas hasil yang memadai. Kegiatan tersebut telah kehilangan obyektifitas dan menjadi kegiatan subyektifitas sebab semua hal yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat diatur oleh sekolah agar anak didik tidak gagal sehingga sekolah-pun tidak jatuh pamornya. Akibatnya, tingkat kompetensi anak didik yang lulus ujian-pun bukan lagi kualifikasi tingkat nasional walaupun alat ujiannya berskala nasional. Lantas, bagaimana dengan agenda peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini?
2. Pemborosan dana yang berlebih
Untuk kegiatan ujian praktek diperlukan anggaran yang jika dikaji, tidaklah sedikit. Biaya yang diperlukan tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan dan alat-alat yang dipergunakan dalam ujian praktek. Umumnya, masa ujian praktek ini sekaligus dipergunakan sekolah sebagai momen untuk menambah jumlah sarana dan prasarana, khususnya sarana bengkel sehingga ragam dan jumlah peralatan menjadi bertambah. Dan, untuk memenuhi program tersebut, maka sekolah mengambil kebijakan untuk memungut biaya dari masyarakat/orangtua anak didik. Dengan persetujuan komite sekolah, yang dalam hal ini sebenarnya merupakan perpanjangan tangan masyarakat/orangtua anak didik tetapi selanjutnya berubah posisi sebagai pendukung utama kebijakan sekolah, maka dibuatlah edaran untuk penarikan dana kegiatan ujian akhir tahun, khususnya ujian praktek kompetensi.
Bukankah sudah digariskan bahwa pemungutan dana ujian hanya diperbolehkan pada sekolah yang mengadakan ujian praktek, walau kenyataannya secara keseluruhan dana ujian dipungutkan dari masyarakat, orangtua anak didik,sedangkan pemerintah memberikan bantuan biaya. Sekali lagi, pemerintah hanya memberi bantuan biaya ujian yang jika dikalkulasi masihlah jauh dari jatah minimal operasional sehingga sekolah tetap harus memungut biaya dari orangtua.
Orang mengatakan, kalau bantuan itu kan ala kadarnya, kecuali jika pemerintah menanggung biaya ujian, maka mungkin pemungutan biaya kepada orangtua amak didik-pun tidak akan dilakukan. Penanggungan biaya oleh pemerintah memang merupakan langkah, yang seharusnya konkrit sebagai implementasi dari program pengentasan kemiskinan serta pembuktian atas gembar-gembor yang disampaikan pemerintah tentang pendidikan gratis.
Selanjutnya, jika telaah lebih lanjut, maka setidaknya kita mendapatkan kenyataan bahwa sebenarnya ujian praktek kompetensi hanyalah kegiatan pemborosan dana. Kenapa? Pada sub penjelasan di atas kita mengetahui bahwa sebenarnya ujian praktek ini diprogramkan sebagai kegiatan nasional, tetapi pada kenyataannya ujian ini hanyalah ujian yang bersifat pretise semata, harga diri semata bagi sekolah penyelenggaranya. Dengan rasa bangga menyatakan, secara tidak langsung kepada masyarakat bahwa sekolah mampu mengadakan ujian praktek kompetensi anak didik dengan alat ujian berskala nasional. Padahal jika dikaji ulang, maka sebenarnya ujian tersebut sama sekali tidak berbobot dan sama sekali tidak menggambarkan kondisi yang obyektif atas kompetensi anak didik. Mungkin dapat saja ini dikatakan sebagai sebuah permainan kondisi yang tidak sesuai dengan pengeluaran dana untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.
Masyarakat dikondisikan untuk mendanai kegiatan yang sama sekali tidak memberikan nilai tambah terhadap hasil dari kegiatan. Masyarakat dibebani tanggungjawab yang seharusnya tidak perlu dilakukan, sebab kegiatan tersebut dapat dilaksanakan selama proses pembelajaran dilaksanakan di sekolah.
Seharusnya kita mulai berpikir untuk menciptakan atau mewujudkan pendidikan yang benar-benar murah dengan meniadakan beban-beban masyarakat yang seharusnya tidak perlu sehingga efektifitas kegiatan benar-benar kita peroleh sesuai dengan hasil akhir kegiatan. Bagaimana-pun kita perlu mempertanyakan penggunaan dana pendidikan yang kita keluarkan disesuaikan dengan hasil yang kita dapatkan. Bukankah sekarang ini kita berada pada kondisi jaman yang serba transparan dengan kuliatas akuntabilitas terhadap masyarakat yang tinggi? Apalagi, selama ini kita juga seringkali mendengar bahwa selama kegiatan ujian praktek, sekolah telah mendapatkan bantuan dari pemerintah?
3. Sertifikasi yang kurang profitable
Setelah anak didik melaksanakan kegiatan ujian praktek akhir tahun, maka anak didik mendapatkan bukti atas kondisi kompetensi yang dimilikinya. Hal ini memang salah satu tujuan dilaksanakannya ujian praktek kompetensi, yaitu untuk mengetahui tingkat kemampuan anak didik dalam penguasaan kompetensi dasar program keahlian yang dipilihnya. Dengan ujian praktek kompetensi ini, maka kita dapat mengetahui pokok kompetensi yang dikuasai anak didik dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai keahlian dasar yang dipakai sebagai penunjang hidup setelah menyelesaikan masa pendidikan di sekolah.
Dan, agar proses penentuan tingkat kualifikasi dan kompetensi anak didik, maka setiap akhir ujian praktek, anak didik diberikan sertifikat atau dilakukan sertifikasi terhadap kemampuan anak didik. Sertifikasi inilah langkah yang dipergunakan sebagai bukti kemampuan yang dimiliki oleh anak didik. Dengan sertifikat inilah, maka anak didik diharapkan mempunyai kemudahan-kemudahaan pada saat mencari pekerjaan sebab pada sertifikat trersebut tercantum kemampuan yang dikuasai oleh anak didik dan dapat diterapkan dalam pekerjaan.
Sertifikasi ini pada sekolah teknik merupakan pernyataan dan pengakuan dunia industri dan dunia usaha sebagai institusi pasangan sekolah dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran teknik. Secara teknis, institusi ini menjamin kualifikasi anak didik terhadap penguasaan kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam sertifikat tersebut. penjaminan inilah yang sebenarnya dibutuhkan agar sertifikat ujian praktek kompetensi benar-benar bermanfaat bagi anak didik.
Tetapi, apa yang selanjutnya kita dapatkan? Ternyata, sertifikat yang telah ditandatangani dan dijamin oleh dunia industri dan dunia usaha, yang diterbitkan tidaklah profitable atau mendatangkan manfaat bagi pemegangnya. Banyak perusahaan yang belum dapat menerima sertifikat tersebut sebagai bukti kemampuan anak terhadap kompetensi yang tercantum dalam sertifikat tersebut.
Sebenarnya program ujian praktek kompetensi ini sangatlah bagus bagi peningkatan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan, tetapi penangannan yang kurang tepat menjadikan sertifikat ini hanyalah sebuah simbol yang kurang bahkan tidak profitable bagi pemiliknya. Para pelaku industri beranggapan bahwa sertifikat tersebut masih belum menunjukkan kualitas yang obyektif atas penguasaan kemampuan di anak didik. Sebab seringkali mereka mendapatkan kenyataan bahwa ketikaanak-anak diuji dalam penerimaan tenaga kerja, ternyata sama sekali tidak berkemampuan sebagaimana tercantum dalam sertifikat tersebut.
Mungkin, kita perlu mengakui secara tegas bahwa memang hal tersebut sering terjadi pada para lulusan sekolah kita. Terlalu banyak lulusan yang sama sekali tidak mampu menyelesaikan ujian saat proses rekruetmen tenaga kerja pada perusahaan. Akibatnya, seringkali pelaku industri masih harus menyekolahkan mereka atau melatih mereka untuk bidang yang sebenarnya dinyatakan sebagai kompetensi dasar anak didik. Tentu saja hal ini sangat memalukan bagi dunia pendidikan dan inilah barometer dari ketidakberhasilan dunia pendidikan kita, apalagi pada saat sekarang ini, dunia pendidikan, khususnya tingkat SLTA hanya diukur dari tiga mata diklat untuk tingkat kelulusannya, yaitu BBM (Bahasa, Bahasa, Matematika) anak teknik sama sekali tidak diujia nasionalkan mata diklat kejuruannya!
Memperhatikan semua hal yang terjadi ai akhir tahun pelajaran, khususnya berkaitan dengan proses ujian praktek kompetensi setidaknya kita perlu segera introspeksi terhadap segala hal yang berkaitan dengan efektifitas dan relevansi kegiatan terhadap kebutuhan masyarakat atas lulusan yang dihasilkan sekolah. Jika kondisi yang terjadi tetap seperti sekarang ini, maka sampai kapan-pun kualitas pendidikan tidak akan pernah meningkat dan kualitas sumber daya manusia-pun tidak akan pernah terngakat dan mampu bersaing dengan tenaga-tenaga kerja dari negara lain yang tingakt kemampuannya jauh di atas sumber daya manusia asal Indonesia.
Sumber daya manusia Indonesia masih terbatas pada tenaga kasar, buruh, pembantu rumah tangga, sopir, atau kalau ukuran mereka mungkin tidka lebih dari budak modern. Ataukah kita tetap bertahan untuk posisi sebagai negara pengeksport tenaga kerja kelas buruh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar