Minggu, 05 Oktober 2008

Dilemma pimpinan Sekolah Mendua Hati

Pengantar

Pimpinan sekolah adalah sosok-sosok terpilih yang diharapkan mampu membawa sekolah pada kondisi terbaik. Pada para pimpinan sekolah inilah harapan untuk mengembangkan dan memajukan sekolah digantungkan, sehingga eksistensi sekolah mendapat pengakuan/legalitas dari masyarakat.
Pada umumnya, sekolah yang berkembang pesat adalah sekolah yang para pimpinannya mempunyai kepedulian cukup, bahkan sangat tinggi terhadap upaya-upaya perkembangan dan pengembangan sekolah. Mereka lebih mengutamakan langkah-langkah konkrit untuk perwujudan program dan kondisi daripada sekedar memikirkan apa yang bakal didapatkan dari sekolah, memikirkan diri sendiri.
Para pemimpin sekolah dalam hal ini dapat kita katakan terdiri atas: Pengurus Yayasan dan Staf sekolah. Pengurus Yayasan meliputi seluruh elemen organisasi Yayasan, yaitu Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara serta ketua seksi yang dibentuk untuk menangani setiap aspek yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Sedangkan, Staf sekolah meliputi Kepala Sekolah bersama dengan empat wakilnya, wakil kurikulum, wakil kesiswaaan, wakil sarana prasarana, dan wakil hubungan masyarakat.
Pengurus yayasan dan staf sekolah merupakan pilar penyangga keber-hasilan program kerja sekolah. Pengurus yayasan memberikan fasilitas yang diperlukan dalam rangka mewujudkan program kerja sekolah. Staf sekolah secara bersama-sama menyusun program kerja sesuai dengan bidang masing-masing. Selanjutnya, program kerja yang telah disusun dilaporkan kepada pengurus yayasan untuk mendapatkan rekomendasi dan fasilitasi. Setelah semua program disetujui, maka giliran guru yang bertugas mengimplementasi-kannya dalam proses pembelajaran.
Para pemimpin sekolah ini secara rinci menyusun program yang di dalamnya mencakup segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan sekolah, misalnya manajemen SDM, manajemen organisasi, manajemen saranaprasarana, manajemen hubungan masyarakat, dan sebagainya. Bahkan dalam hal ini-pun adalah RAPBS, yaitu rencana anggaran pendapastan dan belanja sekolah.
Yayasan adalah fasilitator bagi seluruh program kegiatan sekolah, sehingga setiap poin dari program dapat diwujudkan dalam kegiatan konkrit. Oleh karena itulah, maka yayasan harus mempunyai kepedulian yang tinggi dan apresiasi yang tepat pada setiap program kegiatan yang disusun oleh kepala sekolah dan para wakilnya.
Kepala sekolah dan para wakilnya adalah pengelola pelaku dan manajemen dari seluruh program yang telah disusun sehingga terjadi kegiatan yang dinamis, yang benar-benar mengacu pada program. Kepala sekolah dan para wakilnya seharusnya mempunyai sikap yang sama terhadap implementasi program kerja sekolah sehingga terjadi keselarasan dan kesamaan langkah dan persepsi terhadap seluruh konsekuensi dari implementasi program.
Dalam hal yang lain, sebagai pengelola, maka kepala sekolah dan para wakilnya harus mempunyai kepedulian terhadap setiap perkembangan ataupun pengguguran program-program. Oleh karena itulah, maka kepala sekolah dan para wakilnya harus menempatkan segala kemampuan diri pada konsentrasi untuk pengembnagan dan perkembangan sekolah. Mereka harus memberikan perhatian yang ekstra terhadap kondisi sekolah. Seluruh kemampuan diri harus diarahkan untuk menangani sekolah, sehingga adalah sngat riskan jika ada pemimpin sekolah yang mendua hati, apalagi pada saat kondisi sekolah sedang krisis dan kritis.
Seharusnya, kepala sekolah dan para wakilnya memusatkan segala kemampuan diri ke arah pengembangan sekolah yang dipimpinnya dan tidak membagi perhatian dengan pengembangan lembaga lainnya, apalagi sama-sama lembaga pendidikan, sekolah. Bagaimana-pun selalu ada persaingan.
Bagaimana-pun, sebagai seorang mnausia, kita tidak pernah dapat bersikap adil. Walau kita selalu dituntut untuk bersikap adil, tetapi itu adalah kondisi ideal yang sangat berat untuk dapat diwujudkan manusia. Demikian juda dengan kepala sekolah dan para wakilnya tidak akan dapat bersikap adil dalam emmberikan perhatian pada sekolah jika dia juga menjadi pimpinan di sekolah lainnya. Akan ada dualisme di dalam hatinya. Pada suatu saat harus memikirkan sekolah A, tetapi pada saat yang sama, lain harus memikirkan sekolah B. Apalagi jika di salah satu tempat tersebut memegang kendali kepemimpinan, maka kemungkinan untuk dapat bersikap adil sangatlah kecil. Ada kecenderungan,mereka akanmendua hati.
Dampak dari peimpin yang mendua hati memang secara langsung dapat dirasakan sebagai ketidakadilan dalam menangani setiap kondisi yang ada. hal ini karena yang namanya keadilan adalah sesuatu yang ideal dan tidak dapat dicapai olehmanusia. Selalu akan terjadi ketimpangan pada perhatian dan penanganan, bahkan kebijakan yang diambil-pun akan sangat membias, berkecenderungan. Jika seorang pemimpin sudah mendua hati, maka segala hal yang diputuskan merupakan sesuatu yang tidak stabil. Gamang dan tidak jelas sebenarnya kebijakan tersebut sepantasnya untuk apa dan siapa.
Para pimpinan yang memegang kendali di dua tempat berbeda dengan bidang garapan yang sama pasti akan memiliki kecenderungan pada salah satunya. Tingkat kepedulian yang diberikan pada kedua institusi tidak dapat seimbang, berat sebelah. Katakanlah, jika pada mereka dipertanyakan tingkat kepedulian, maka mereka pasti menjawab lebih berat ini daripada yang itu. Jujur orang akan bersikap seperti itu, apalagi jika ada perbedaan perlakuan yang didapatkan sebagai konsekuensi tugasnya.
Jika seseorang menjabat sebagai kepala sekolah pada sekolah yang berbeda, maka akan ada salah satu sekolah yang tingkat kepeduliannya secukupnya, tetapi pada sekolah yang lain sedemikian besarnya. Inilah yang dinamakan ketidakadilan. Hal ini merupakan sesuatu yang alami dan dapat terjadi pada siapapun. Ketidakimbangan perhatian. Sebagaimana umumnya jika kita bandingkan dengan laki-laki yang melakukan poligami, maka kita dapat kenyataan bahwa dia sama sekali tidak dapat bersikap adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini sebab yang namanya keadilan merupakan sesuatu yang relatif dan pribadi sekali.
Masalahnya adalah jika seorang pemimpin sekolah bersikap dan berposisi seperti itu, lantas bagaimana dengan kelangsungan perjalanan hidup sekolah bersangkutan? Dapatkah sebuah sekolah berjalan jika pemimpinnya mendua hati? Dapatkah program-program yang disusun direalisasikan jika para pemimpin juga memikirkan program dari sekolah yang lainnya, yang justru sangat diberatinya?!
Jika kita mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka setidaknya kita perlu introspeksi terhadap diri kita tentang kesanggupan kita pada saat pertama kali menerima perintah atau tugas menjadi pemimpin sekolah. Kita tidak boleh menerima tugas tersebut jika memang pada saatnya kita tidak dapat bersikap adil sehingga dapat menjatuhkan salah satu dari sekolah tempat kita mengabdikan diri.
Tapi hal tersebut sulit diwujudkan sebab tugas itu berarti uang. Jika mendapatkan tugas, berarti ada pemasukan rejeki bagi kita. Hal tersebut yang tidak dapat diabaikan oleh setiap orang, sehingga begitu saja menerima tugas walaupun untuk hal tersebut mereka harus mendua hati. Merebut banyak rejeki dengan mengabaikan perhatian dan pelaksanaan tugas sebagaimana mestinya.
Berkaitan degagn tujuan pengembangan sekolah agar eksistensinya terjaga, maka sebenarnya bukan hanya guru yang harus bekerja keras dengan sebaik-baiknya, tetapi justru para pemimpin, terutama harusnya menjadi motivator dalam bekerja. Para pemimpin memberikan teladan tentang dedikasi dan loyalitas terhadap sekolah, sehingga para gurupun bekerja dengan baik.
Para pemimpin seharusnya ‘kerasan’ disekolah, artinya semua daya pikir, daya kerja, daya kreasi dan daya-daya yang lain dikonsentrasikan untuk pengembangan sekolah. Para pemimpin seharusnya memberi teladan tentang sikap kerasan di sekolah dengan menerapkan pikiran-pikiran pengembangan sekolah. Eksistensi mereka di sekolah, bagaimanapun telah menjadi cerminan keteladanan bagi anak buahnya. Anak buah akan semakin perhatian pada pemimpin jika sang pemimpin selalu mereka lihat aktif dan memberi contoh positif.
Kerasan di sekolah diartikan sebagai sikap untuk selalu memikirkan bagaimana sekolah dapat berkembang dan segala kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan program. Pemimpin harus berada di sekolah sebagai implikasi dari kesanggupannya menerima tugas. Jangan pernah mengharap guru akan kerasan di sekolah jika para pemimpinnya tidak ada yang kerasan di sekolah. Kita tidak dapat menuntut para bawahan, guru untuk selalu kerasan di sekolah sementara para pemimpinnya sama sekali tidak kerasan di sekolah, selalu menghindari sekolah dengan berbagai alasan untuk dapat selalu berada di luar sekolah. Seakan-akan ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan jika berada di sekolah atau mereka beranggapan bahwa yagn terjadi di sekolah bukanlah sesuatu yang penting bagi diri mereka sehingga tidak perlu mendapatkan banyak perhatian.
Oleh karena itulah, maka sebaiknya seseorang yang hendak diplih atau menempati posisi sebagai pimpinan sekolah haruslah orang-orang yang bebas, artinya tidak memegang jabatan yang sama di sekolah lainnya. Memang tidak semua orang akan bersikap berat sebelah, tetapi, jika kita telaah, maka dengan penggandaan status, konsentrasi akan terbagi dan pasti akan mengurangi porsi salah satu dari dua posisi tersebut.
Orang-orang yang mendua posisi pada umumnya akan berada di posisi ‘kecenderungan’. Cenderung pada posisi A daripada posisi B, atau sebaliknya. Jika sekolah dipimpin oleh orang-orang seperti ini, maka hal ini saja sudah merupakan kendala bagi pengembangan dan perkembangan sekolah menuju peningkatan kualitas dan menjaga eksistensinya.
Dapat kita bayangkan pada suatu saat kita membutuhkan wakil kepala sekolah urusan kesiswaan karena ada masalah yang harus diselesaikan pada saat itu juga, tetapi sang wakil tidak ada di tempat karena harus berada di sekolah B berkaitan dengan statusnya di sana sebagai wakil kepala sekolah juga. akibatnya, semua masalah tidak terselesaikan. Orang-orang pontang-panting mendatanga sang wakil di sekolah B. Belum lagi jika urusan tersebut berkaitan dengan orang/pihak luar, sehingga akan memberikan gambaran manajemen pemimpin sekolah yang kurang baik, jika tidak dapat dikatakan buruk atau amburadul.
Bagaimana sebuah sekolah dapat bertahan terhadap segala permasalahan dan eksistensinya jika para pemimpinnya sibuk dengan urusan di luar tugas dan fungsinya disekolah bersangkutan justru sedang berkonsentrasi pada perkebnganan sekolah lainnya, yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai saingan sekolah tersebut! Mereka lebih mementingkan tugas ekolah yang lain dan mengabaikan sekolah ihni. Mereka berada di sekolah lain justru pada saat sekolah sangat membutuhkan keberadaannya. Bukankah manajemen seperti ini dikatakan sebagai manajemenm amburadul?!
Kondisi ini jelas sangat riskan dan merugikan terhadap kelangsungan hidup dan usaha menjaga eksistensi sekolah di masyarakat. Bagaimana tidak, masyarakat akan sering dikecewakan oleh perlakuan atau ketiadaan di tempat dari kepala sekolah atau para waakil yang dibutuhkan.masyarakat akan merasa disepelekan sebab tidak dapat segera menyelesaikan permasalahan tepat waktu sebab tidak adanya pimpinan yang ditemui di sekolah. Atau kekecewaan masyarakat yang berasa diabaikan sebab setiap kali datang ke sekolah untuk menemui salah satu wakil atau kepala sekolah tetapi selalu saja tidak ada di tempat.
Sungguh hal ini sangat riskan, di satu sisi kita ingin mempertahankan eksistensi sekolah, tetapi pada sisi yang lain para pemimpin sekolah tingkat kepeduliannya sedemikian rendahnya. Padahal seharusnya mereka menjadi panutan bagi para guru dan karyawan. Terus terang walaupun para guru dan karyawan sudah mengetahui tugas dan fungsi maisng-masing, tetapi mereka akan merasa ‘sreg’ melakukan tugas jika ada pimpinan mereka. Bukan apa-apa, hanya ingin menunjukkan bahwa mereka dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Tetapi, jika para peimpin tidak ada, maka mereka menjadi sembrono dan bekerja seenak hatinya.
Keberadaan para pemimpin sekolah di tempat memang merupakansuatu tuntutan yang wajar dari guru dan karyawan sebab hal tersebut berkaitan dengan kinerja. Sekolah yang para pemimpinnya jarang di tempat berkecenderungan untuk tidak teratur sebab masing-masing pribadi selalu ingin menampilkan diri sebagaimana keinginannya. Walaupun mereka sudah memahami tugas dan fungsinya tetapi egoisme diri merupakan bekal diri yang paling utama bagi semua orang. Sehingga tanpa kehadiran seorang pemimpin yang dibutuhkan sebagai acuan, maka sudah barang tentu mereka sedikit kecewa.
Agar kondisi sekolah dapat dipertahankan selalu berada pada posisi sesuai program kerja, maka ssudah seharusnya para pemimpin sekolah dapat memposisikan dirinya sebagainmana mestinya untuk dapat emotivasi anak buahnya dalam menepati tugas dan fungsinya masing-masing. Berkaitan dengan kondisi dan posisi masing-masing personil, maka setidaknya seorang pemimpin sekolah harusnya:
a. Konsisten
Sebagai seorang pemimpin, maka seorang kepala sekolah ataupun wakil kepala sekolah seharusnya selalu menempatkan posisi dirinya sebagai sosok yang memegang amanat dan kepercayaan dari banyak orang, khususnya guru dan karyawan serta yayasan untuk memimpin sekolah agar dapat mencapai tujuan yang sudah diprogramkan
Oleh karena itulah, maka sebagai pemimpin, mereka haruslah konsisten terhadap apa yang telah menjadi kesanggupannya pada saat pertama kali menerima tugas sebagai pemimpin sekolah. Mereka juga harus konsisten terhadap apa yang terlah diprogramkan sehingga secara bersama-sama mendampingi perjalanan program kerja hingga perwujudan dari program dapat dirasakan oleh semua pihak.
Seorang pemimpin sekolah seharusnya konsisten terhadap posisinya dan janji-janji yang telah diucapkan pada saat menerima tugas, salah satunya adalah akan secara aktif ikut mengembangkan sekolah dan memusatkan pikiran dan daya ke sekolah secara penuh, tidak sebagian saja.
b. Konsekuen
Seorang pemimpin sekolah harus konsekuen dengan apa yang telah diucapkannya. Artinya jika seorang pemimpin telah mencanangkan program dan masa sosialisasi telah dilaksanakan, maka selanjutnya sang pemimpin harus konsekuen dengan semua yang telah disusunnya tersebut.
Ketika seseorang menerima tugas sebagai pemimpin sekolah, maka selanjutnya dia harus menjalankan tugas secara baik sebagai konsekuensi dari tugas tersebut. tidak ada alas an untuk menghindar dari segala tugas hanya karena urusan lain, khususnya yang berhubungan dengan hal yang sama di sekolah yang lainnya.
Seorang pemimpin harus konsekuen dengan apa yang telah diucapkannya dan menjaga secara terus intensitas pengabdiannya terhadap sekolah. Dan, berusaha untuk tidak bersikap mednua hati sehingga jika perlu harus memilih mana yang lebih berat untuk pengabdiannya, di sekolah ini ataukah sekolah lainnya.
c. Komit
Sebagai seorang pemimpin, maka kepala sekolah atau wailnya harus dapat memaksa dirinya untuk secara wajib melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan pembagiannya. Dengan langkah seperti ini, maka setidaknya sekolah telah memiliki orang-orang yang mampu membawa sekolah pada kondisi yang benar-benar kondusif untuk perkembangan lebih lanjut.
Dengan sikap komit ini maka seorang pemimpin akan selalu menyadari bahwa dirinya mempunyai kewajiban yang sedemikian besar untuk perkembangan dan pengembangan sekolah menuju peningkatan kualitas pendidikan secara umum.
Selanjutnya, seorang pemimpin sekolah haruslah meyadari bahwa di dalam institusi sekolah dia telah meneken kontrak atau komitmen dengan semua pihak untuk tujuan perkembangan dan pengemabngan sekolah. Dia telah meneken kontrak untuk secara bersama-sama mengelola dan memimpin semua elemen untuk mencapai program yang telah disusunnya.
d. Proporsional
Untuk para pemimpin yang mendua, maka seharusnya dia dapat berpikir pada koridor yang tepat. Artinya dia seharusnya dapat melaksanakan tugasnya secara proporsional. Proporsional dapat juga diartikan sebagai kondisi yang disesuaikan dengan posisi seorang pemimpin pada saat bersangkutan. Jika memang dia berada di sekolah A, maka segala daya merupakan bagian dari sekolah A, tetapi jika berada di sekolah B, aka segala dayanya untuk sekolah B. dengan cara seperti ini, maka kinerja sang pemimpin benar-benar dapat dikatakan sebagai seorang professional abadi. Bahkan, jika perlu tidak usah menerima urusan lain di sekolah. Kalau ada urusan, maka sebaiknya dilakukan diluar jam kerja sekolah. Dengan cara seperti ini, maka tingkat konsentrasi sang pemimpin benar-benar terpusat pada sekolah.
Proporsional dapat kita artikan sebagai suatu kondisi yang seimbang. Ketika harus berada di salah satu tempat, maka dia harusnya dapat bertindak sebagai pemimpin tempat tersebut dan menghilangkan imej pemimpin di tempat yang lainnya. Dalam hal yang lain, seorang pemimpin yang mendua harusnya dapat melakukan tugasnya sesuai dengan porsinya, tidak boleh berat sebelah. Haruslah ada perimbangan antara sikap terhadap A dan terhadap B. Tanpa konsep tersebut, maka sudah barang tentu yang terjadi adalah ketimpangan sikap.

Penutup
Memperhatikan segala hal yang terkait dengan sikap pemimpin yang mendua hati, maka sebaiknya kita perlu bercermin pada pengalaman bahwa kita tidak dapat bersikap dan bertindak adil terhadap dua posisi yang sama-sama kita pegang. Jika perlu, seharusnya kita pilih salah satu saja sehingga konsentrasi kita dapat lebih baik dan langkah kerja kita tidak akan ngambang karena tuntutan dari masing-masing pihak, yang umumnya menuntut terbaik.
Oleh karena itulah, jika kita memang merasa tidak mungkin untuk bertindak adil, maka sebaiknya kita lepaskan salah satu posisi dan berkonsentrasi pada satu sisi saja.


Gembongan, 22 April 2006

Tidak ada komentar: