Setiap saat, dunia pendidikan selalu menjadi sasaran tembak bagi ketidakpuasan masyarakat atas hasil prosesnya. Hal ini dapat kita temukan di setiap akhir tahun pembelajaran ataupun setelah anak didik dinyatakan tamat pembelajaran dan lulus ujian. Anak-anak memasuki dunia kehidupan di masyarakat sehingga mereka dituntut untuk dapat menjaga eksistensi dirinya dengan kemampuan yang didapatkan dari proses pendidikan dan pembelajaran. Tetapi, yang dihadapi oleh masyarakat sungguh sangat berlainan dengan kenyataan. Anak-anak belum dapat memenuhi keinginan masyarakat, apalagi kebutuhan masyarakat atas sosok-sosok yang mampu berperan untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Seperti kita ketahui bersama, salah satu hal yang menjadi cerminan atas ketidakberhasilan proses pendidikan, setidaknya ini adalah anggapan masyarakat, adalah tidak terserapnya lulusan sekolah dalam dunia pekerjaan. Masyarakat melihat bahwa banyak anak-anak yang lulus dari sekolah tidak mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, apalagi untuk masyarakat. Akibatnya, banyak anak-anak yang menjadi pengangguran terdidik di masyarakat. Hal ini oleh masyarakat dianggap sebagai proses yang sia-sia. Proses pendidikan yang sudah dijalani oleh anak didik, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas membutuhkan waktu sekitar dua belas tahun ternyata belum mampu menjadikan anak-anak sebagai sosok yang mampu menangani kegiatan hidup secara ekonomis.
Tentunya kita tidak menyalahkan masyarakat, tetapi juga tidak dapat menghakimi sekolah sebagai institusi pendidikan yang gagal menjalankan perannya. Dalam konteks ini kita harus dapat berpikir dan bertindak bijak sebab proses pendidikan merupakan tanggungjawab dan kewajiban bersama. Dengan demikian, ketika proses pendidikan dan pembelajaran dianggap mengalami kegagalan, maka seharusnya bukan hanya guru dan sekolah yang menjadi kambing hitam kesalahan proses. Untuk itulah, maka kita perlu melakukan repersepsi dan rekonstruksi, bahkan reorientasi terhadap proses pendidikan terkait dengan kebutuhan masyarakat.
Repersepsi terhadap proses pendidikan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memahami secara utuh segala hal yang dilaksanakan dalam proses tersebut. Dengan demikian, maka diharapkan setiap pihak benar-benar memahami konsep dasar pendidikan terkait dengan tanggungajwab dan kewajiban penyelenggaraan proses pendidikan. Repersepsi memungkinkan tumbuhnya kesadaran atas tujuan pendidikan yang hendak dicapai secara pribadi, lokal, nasional, maupun internasional. Diharapkan hal ini dapat mengurangi sikap negative terhadap hasil proses pendidikan terhadap satu pihak semata.
Rekonstruksi terhadap proses pendidikan memungkinkan setiap orang yang terlibat mampu dan mau mengambil peran secara aktif dalam proses sehingga konstruksi proses dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Jika semua pihak berjibaku secara bersama-sama dalam upaya membentuk kembali (rekonstruksi) bangunan pendidikan di negeri ini, maka kemungkinan pencapaian tujuan sesuai dengan kebutuhan.
Reorientasi terhadap proses pendidikan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mengatur ulang orientasi pendidikan yang diharapkan dapat dicapai oleh proses pendidikan. Setiap pihak dapat mengatur kembali orientasi pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Reorientasi diharapkan dapat membangkitkan semangat baru dalam pengelolaan dan penyelenggaraan proses pendidikan.
Memperhatikan ketiga konsep tersebut, maka salah satu kegiatan konkrit untuk kegiatan yang kontributif adalah pemantapan jiwa kewirausahaan. Kita harus melakukan repersepsi, rekonstruksi, dan reorientasi proses pendidikan sehingga pada saat anak didik menyelesaikan proses, maka mereka benar-benar menjadi sosok-sosok yang mampu berkiprah dalam kehidupannya. Dan, pemantapan jiwa kewirausahaan merupakan langkah konkrit untuk mewujudkan ketiga langkah reposisi pendidkan kita.
Jiwa kewirausahaan harus kita tanamkan kepada anak didik sehingga aspek tersebut benar-benar menjadi bagian integral dalam diri anak didik. Kita harus dapat menjadikan jiwa kewirausahaan ke dalam diri anak didik sehingga hal tersebut menjadi kebiasaan. Jiwa kewirausahaan yang sudah menjadi suatu kebiasaan sangat memungkinkan bagi anak untuk mengaplikasikannya secara langsung dalam kehidupannya, kapan saja. Dengan demikian, maka setidaknya anak didik yang sudah menyelesaikan amsa pendidikannya benar-benar mempunyai bekal berwirausaha dalam hidupnya dan tidak menjadi kelompok pengangguran terdidik. Hal ini juga untuk menggugurkan statement yang sudah ditanamkan masyarakat terhadap dunia pendidikan, yang dikatakan mengalami kegagalan dan proses yang sia-sia. Masyarakat segera terkondisikan apresiasinya terhadap proses pendidikan sebagai proses positif yang mempersiapkan anak didik sebagai sosok kreatif dan siap bekerja. Hal itulah yang terpenting untuk memperbaiki citra dunia pendidikan kita.
Pembiasaan usaha sebagai pemicu semangat kewirausahaan
Sebenarnya, jiwa kewirausahaan dapat kita tanamkan sejak anak-anak mengikuti proses pendidikan di tingkat dasar. Bahkan, masa ini merupakan masa yang paling penting dalam proses pendidikan. Masa menempuh pendidikan di sekolah dasar adalah masa-masa penanaman konsep knowledge dan sikap yang terbaik. Pada usia ini, anak-anak mempunyai daya tanggap yang sangat baik terhadap segala stimulus yang masuk ke dalam dirinya. Anak-anak usia ini mempunyai kemampuan merekam dan menyimpan setiap stimulus dan menjadikannya sebagai bagian integral dari dirinya. Termasuk dalam hal ini jika mereka kita stimulasi dengan kegiatan kewirausahaan. Keterampilan aplikatif yang diharapkan dapat mengarahkan mereka sebagai sosok-sosok mandiri yang mampu menjaga eksistensi dirinya dalam masyarakat, bahkan mengembangkan kondisi kehidupan masyarakatnya secara prima.
Untuk itulah, maka program penanaman jiwa kewirausahaan seharusnya sudah kita lakukan sejak anak didik masih di tingkatan dasar. Pada saat inilah, kita sudah mulai menanamkan konsep-konsep terkait dengan kegiatan kewirausahaan pada anak didik. Kita berikan kepada mereka hal-hal yang terkait dengan kegiatan kewirausahaan, walau hanya pengenalan minimalis. Kita kondisikan anak-anak sehingga melakukan kegiatan dasar kewirausahaan, misalnya kegiatan ekonomi dikelas, kebiasaan usaha, yaitu warung kelas.
Sejak sekolah dasar, anak didik dapat kita latih untuk menanamkan jiwa kewirausahaan agar menjadi bagian integral dalam dirinya. Warung kelas merupakan satu kegiatan ekonomis yang dikelola dan dibiayai oleh anak didik. Warung kelas diselenggarakan di ruang kelas dan dibuka hanya pada saat proses belajar istirahat. Dengan demikian, maka anak-anak tidak perlu keluar kelas jika ingin jajan. Hal ini memudahkan guru untuk memonitor anak-anak saat istirahat. Pada sisi yang lain, warung kelas dapat menghindarkan anak didik dari jajan yang kurang sehat.
Warung kelas dapat kita jadikan sebagai dasar penanaman jiwa kewirausahaan sebab pada kegiatan ini, semua hal dari anak didik, untuk anak didik dan oleh anak didik. Warung kelas ini adalah milik anak-anak sehingga setiap anak mempunyai tanggungjawab dan kewajiban yang sama dalam upaya peningkatan dan kelancaran penjualan jajan yan ada. Setelah jajan habis, maka beberapa orang secara bergantian bertugas untuk belanja makanan dan jajan untuk periode jualan ke depan. Pada saat ini, anak dapat mengetahui apakah warung kelasnya mendapatkan untung ataukah tidak. Dan, nilai keuntungan tersebut ditambahkan untuk belanja untuk membesar atau memperbanyak barang dagangan.
Dengan cara ini, maka tumbuh kesadaran dalam jiwa anak didik bahwa mereka dapat melakukan kegiatan usaha. Kesadaran ini diyakini dapat memicu semangat kewirausahaan anak-anak. Dalam konteks ini yang paling dibutuhkan adalah bimbingan guru agar kegiatan ini tidak mengganggu proses pendidikan anak. Artinya, warung kelas hanya dibuka pada saat sebelum masuk waktu pembelajaran dan pada saat jam istirahat. Diluar kedua jam tersebut, maka secara tegas guru melarang adanya transaksi jual beli.
Memang, pembelajaran kewirausahaan tidak dapat dilakukan secara teoritis. Kita harus mengkondisikan agar anak didik melakukan pembeljaaran kewirausahaan dengan menerapkan learning by doing. Anak didik harus dibiasakan untuk melakukan secara langsung kegiatan terkait dengan penanaman jiwa kewirausahaan sehingga hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan anak beriwrausaha.
Pembelajaran berkesinambungan
Tentunya, proses pendidikan kewirausahaan tidak hanya diberikan pada saat anak di sekolah dasar, melainkan diberikan secara berkesinambungan sejak anak bersekolah di sekolah dasar. Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan di sekolah dasar adalah basis dari seluruh kegiatan pembelajaran kewirausahaan. Hal ini karena, selanjutnya pembelajaran kewirausahaan diberikan kepada mereka di sekolah lanjutan pertama dan dilanjutkan pada saat mereka di sekolah lanjutan atas.
Tentunya dengan cara seperti ini, kita dapat meningkatkan kegiatan kewirausahaannya sehingga setiap saat anak didik merasakan bahwa kegiatan kewirausahaan sangat penting bagi mereka. Di setiap tingkatan sekolah, anak didik kita berikan konsep sekaligus praktik kewirausahaan. Dengan konsep pembelajaran berkesinambungan ini, maka anak selalu berada pada situasi dimana mereka harus melakukan kegiatan ekonomi untuk kelompoknya. Bahkan, untuk anak-anak yang berada di sekolah lanjutan, kegiatan kewirausahaan dapat secara individual. Anak-anak secara individual diberikan kepercayaan untuk menjalankan kegiatan kewirausahaan ini.
Pembelajaran kewirausahaan diberikan kepada anak didik, baik secara konsep maupun praktik. Hal ini agar kompetensi anak didik semakin lengkap. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh anak didik dilengkapi dengan konsep-konsep teoritik sehingga langkah mereka mempunyai dasar dan dapat menjadikan mereka sebagai wirausahawan yang paham lapangan dan landasan kegiatan. Hal ini memungkinkan anak didik tidak sekedar sebagai pelaku kegiatan, melainkan juga sebagai innovator dan creator kegiatan. Kegiatan praktik menjadikan mereka pelaku sedangkan konsep-konsep menjadikan mereka sebagai orang-orang yang selalu memikirkan hal-hal baru berdasarkan konsep yang mereka ketahui.
Setelah di sekolah dasar mereka melakukan langsung kegiatan kewirausahaan dengan konsep sederhana yaitu kegiatan dari, oleh dan untuk mereka sendiri, maka di sekolah lanjutan, konsep tersebut dikembangkan semakin luas untuk melayani orang-orang di sekitar mereka, tidak hanya mereka. Mereka dikondisikan untuk mengembangkan kemampuan usaha ke masyarakat. Mereka harus dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal terkait dengan bidang usahanya.
Pembelajaran kewirausahaan secara berkesinambungan dilaksanakan dengan monitoring dan evaluasi (monev) ketat, artinya secara periodek anak-anak harus melakukan pelaporan atas setiap kegiatan mereka. Mereka harus melaporkan setiap perkembangan usaha yang dilakukan kepada guru pembimbing yang ditugaskan mendampingi kegiatan mereka. Kegiatan monev merupakan kegiatan wajib bagi setiap usaha agar secara dini terpantau perkembangan ataupun kemerosotan usaha, terutama kemerosotannya agar segera dapat diambil kebijakan untuk memperbaiki kondisi.
Memang, kegiatan kewirausahaan yang dilakukan oleh anak didik selama proses pembelajarannya ini diarahkan sebagai proses pendidikan. Tetapi sebenarnya semua itu merupakan kegiatan yang membekali anak didik dengan keterampilan dan kemampuan aplikatif untuk kehidupannya. Dengan demikian, maka setelah mereka menyelesaikan masa pendidikan dan pembelajarannya, sudah siap melanjutkan kegiatan wirausaha yang sudah mereka rintis sejak sekolah tersebut.
Jadikan kegiatan kewirausahaan sebagai kegiatan enjoy
Banyak orang bilang bahwa kegiatan wirausaha adalah kegiatan yang sangat sulit diwujudkan. Hanya mereka yang mempunyai bakat dan keturunan wirausaha yang dapat mewujudkan semua itu. Tentu saja ini hanya memoir atau wacana yang sangat menyesatkan sehingga banyak orang yang mundur sebelum merealisasikan usaha yang mereka inginkan. Mereka termakan oleh wacana tersebut sehingga tidak berani maju hanya karena tidak ada darah keturunan usahawan atau dianggap tidak bakat dalam bidang usaha.
Benarkah opini atau wacana seperti ini? Tentunya kita harus menanggapi hal tersebut secara bijak. Bahwa opini bahwa orang-orang yang berasal dari keluarga usahawan lebih pas jika melakukan kegiatan wirausaha lebih dikarenakan mereka sudah terbiasa pada kondisi usaha. Mungkin sejak kecil mereka sudah melakukan kegiatan usaha walau mereka tidak menyadarinya. Mereka tidak sadar bahwa selama ini mereka telah belajar berwirausaha sebab setiap hari mereka melakukannya. Pada saat waktu luang, mereka ikut melayani transaksi dengan konsumen. Kadang mereka juga ikut melakukan transaksi saat orangtua harus menambah jumlah barang di gudang toko.
Sementara bagi mereka yang tidak mempunyai keluarga atau orangtua yang bergerak di dunia usaha, sejak kecil mereka tidak pernah merasakan bagaimana situasi berwirausaha itu. Mereka tidak mempunyai pengalaman batin untuk kegiatan wirausaha. Akibatnya, mereka harus mengawali kegiatan sejak dari nol. Hal inilah yang seringkali membuat mereka wegah, malas. Mereka merasa berat dan sulit untuk babat alas hutan kewirausahaan. Mereka merasa begitu beratnya langkah saat harus memulai kegiatan kewirausahaan. Tetapi, mereka harus mempertahankan hidup dalam kehidupan ini.
Jika kita sempat berkunjung dan berbaur dengan orang-orang yang menggeluti dunia kewirausahaan kelas menengah kebawah, maka kita akan melihat kenyataan bahwa mereka melakukan semuanya dengan lapang hati. Mereka begitu enjoy saat melakukan kegiatannya. Setiap hari mereka isi dengan keceriaan, kelakar dan sebagainya merupakan hiasan terindah bagi mereka. Mereka adalah kelompok wirausahawan yang tidak hanya mengandalkan bakat, apalagi modal financial untuk pengembangan dan perkembangan usahanya. Mereka melakukan kegiatan usaha dengan enjoy, tanpa beban. Mereka meyakini bahwa yang mereka lakukan anak memberikan kondisi terbaik bagi mereka. Seperti yang disampaikan oleh menteri pendidikan, kegiatan kewirausahaan harus diposiiskan sebagai hobi.
Begitulah, seharusnya kegiatan wirausaha yang kita berikan kepada anak-anak. Kita arahkan dan kondisikan anak-anak sehingga mereka mempunyai apresiasi dan persepsi yang benar terhadap kegiatan wirausaha. Dan, salah satu aspek yang perlu kita tanamkan kedalam hati mereka adalah perasaan senang terhadap kegiatan wirausaha. Anak-anak memang harus diarahkan agar menyenangi kegiatan wirausaha sehingga memposisikan kegiatan ini sebagai kegiatan tanpa beban. Anak-anak harus merasakan bahwa kegiatan wirausaha bukanlah kegiatan yang berat, melainkan kegiatan yang mampu membuat hati nyaman.
Jika anak didik sudah mempunyai perasaan suka dan enjoy saat melakukan kegiatan kewirausahaan, maka itu berarti kita telah menanamkan jiwa kewirausahaan secara integral dalam diri anak didik. Memang kita harus mampu mengkondisikan anak didik sedemikian rupa sehingga secara intens dan terintegrasi dalam diri anak didik.
Lulusan sekolah memang sudah seharusnya adalah sosok-sosok yang mempunyai kemampuan untuk survive. Kemampuan survive tersebut adalah implementasi dari kemampuan wirausaha yang dimiliki anak didik, baik konsep maupun praktiknya. Jika anak didik mampu survive dalam hidupnya, maka hal tersebut mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Dengan kemampuan wirausaha yang dimiliki, maka anak didik tidak hanya sebagai sosok-sosok secara umum, melainkan sosok-sosok produktif untuk kehidupan.
Sekolah memang sudah seharusnya melakukan proses pembekalan kemampuan kewirausahaan untuk anak didiknya. Sudah waktunya kita menunjukkan kepada masyarakat bahwa selain memberikan bekal pengetahuan dan sikap kepada anak didik, kita juga memberikan keterampilan kewirausahaan kepada anak didik sehingga saat lulus mereka sudah siap bekerja. Bagi yang mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan bagi mereka yang tidak, mereka dapat menerapkan kemampuan kewirausahaan untuk kehidupannya. Tidak menjadi pengangguran terdidik, melainkan sebagai wirausahawan muda yang berhasil. Anak-anak siap menjalani kehidupan dengan usaha yang sudah dirintis sejak sekolah. Pasti dapat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar