Minggu, 31 Januari 2010

Mendidik dengan Emosi

Pendidikan dan pembelajaran merupakan kegiatan dengan ranah yang terkait dengan kondisi kejiwaan. Setiap peserta didik mempunyai dasar yang berbeda sehingga perlu penanganan yang berbeda pula. Setiap guru harus mampu memfasilitasi anak didik dalam belajar sesuai dengan kondiri anak didik, termasuk dalam hal ini kejiwaannya.

Pendahuluan

Proses pendidikan dan pembelajaran tidak terlepas dari keberperanannya emosi para pelakunya. Hal ini karena konsep dasar pendidikan dan pembelajaran adalah mengelola emosi dan attitude sehingga dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak heran jika seseorang telah mengikuti dan menjalani proses pendidikan, maka kualitas emosi dan attitudenya lebih baik dari yang tidak berpendidikan.
Pada awal proses pendidikan dilaksanakan, tingkat kualitas emosional seseorang masih labil sehingga mudah mengalami pergeseran, friksi dan hal tersebut menyebabkan masa tersebut sangat riskan bagi kehidupan. Kita tidak menutup mata, bahwa peranan pendidikan memang sangat menentukan tingkat kualitas emosional seseorang. Kestabilan kondisi seseorang tergantung pada kemampuannya mengelola emosionalnya. Semakin mampu mengelola, maka semakin stabil kondisinya.
Dan, dunia pendidikan telah menjadi harapan utama setiap orang, bahkan masyarakat menyerahkan proses peningkatan kualitas emosional pada dunia pendidikan. Orang tua begitu percaya pada institusi sekolah untuk mendidik anak-anak mereka agar lebih baik. Mereka menyerahkan proses pendidikan kepada sekolah, khususnya para pendidiknya.
Menyadari bahwa dunia pendidikan telah mendapatkan kepercayaan yang begitu besar dari masyarakat, maka berbagai upaya dilakukan untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya. Berbagai inovasi diterapkan agar peserta didik benar-benar mendapatkan segala hal yang menjadi jatah pembelajarannya.
Pada posisi ini, peranan guru sebagai fasilitator memang sangat menentukan sebab konsep pembelajaran yang berpusat pada anak didik sangat signifikan dengan kondisi saat sekarang. Dahulu memang, guru dijadikan sebagai pusat kegiatan belajar sebab dianggap sebagai sumber belajar satu-satunya. Tetapi pada saat sekarang, hal tersebut sudah tidak relevan lagi sebab untuk dapat memperoleh materi pelajaran, anak didik dapat memperoleh dari berbagai sumber. Ada banyak sumber yang dapat dijadikan sebagai ‘guru’ untuk pengembangan dan peningkatan kualitas SDM.
Dalam konteks seperti inilah, maka peranan guru di dalam proses pendidikan tidak hanya terbatas pada proses yang bersifat fisik, melainkan juga bersifat emosional. Bagi anak didik, eksistensi guru sedemikian rupa sehingga selalu menjadi sosok panutan untuk setiap kegiatan dan kata-kata yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itulah, maka proses pendidikan tidak cukup hanya dilandasi oleh sikap komunikasi fisik semata. Mereka membutuhkan kondisi interaksi antar personal yang lebih spesial dengan kedekatan emosional yang lekat sehingga menumbuhkan kenyamanan pada saat belajar.
Kenyamanan pada saat belajar dapat tercipta jika guru dapat menyelami emosional anak didik dan menyeimbangkan emosional dirinya dengan kondisi tersebut. Emosional bukan berarti kemarahan, melainkan secara kejiwaan guru lebur dengan anak didik. Guru secara emosional, secara psikis lebur dengan jiwa anak didik sehingga dapat menyeimbangkan posisi emosional dan membentuk jembatan penghubung antara jiwa anak didik dengan jiwa sang guru. Oleh karena itulah, pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran, guru harus melakukannya dengan menyertakan emosionalnya secara utuh sehingga proses pembelajaran dapat tuntas.

Guru dan Emosi

Pada kenyataannya bidang garapan yang harus dilaksanakan oleh guru adalah memberi bimbingan dan arahan kepada anak didik di dalam proses pendidikannya. Guru harus dapat memberikan bantuan, baik berupa bimbingan, arahan ataupun fasilitasi kepada anak didik sehingga tidak mengalami kesulitan dalam proses belajarnya.
Proses pembelajaran adalah suatu interaksi personal yang dilakukan secara sadar dan sistematis untuk melakukan perubahan kompetensi diri. Interaksi personal terjadi antara guru – guru, guru - anak didik, dan anak didik – anak didik. sementara kita menyadari bahwa setiap personal mempunyai latar belakang yang berbeda.
Perbedaan latar belakang ini tentu saja memberikan konsekuensi logis pada upaya penyamaannya, penyesuaiannya. Setiap personal dituntut untuk dapat menyesuaikan diri pada kondisi yang terjadi ataupun yang ingin dicapai dalam proses belajar tersebut. Hal ini merupakan konsep daar dari proses pembelajaran, yaitu berusaha untuk menyesuaikan kompetensi diri dengan kompetensi yang dipelajari.
Terkait dengan interaksi personal ini, maka agar proses penyesuaian diri dapat dicapai, maka perlu kesadaran diri dalam melakukananya. Dan, kesadaran tersebut melibatkan emosi diri. Emosi diri dapat kita artikan secara bebas sebagai bentuk atau perwujudan diri secara utuh, yaitu fisik maupun psikis seseorang. Seseorang yang sedang belajar, maka dia harus melibatkan dirinya secara utuh, baik fisiknya maupun psikisnya.
Dan sebagai fasilitator belajar, maka penguasaan emosi bagi guru sangatlah penting. Dengan penguasaan emosi ini, maka setidaknya guru dapat mengelola emosi tersebut untuk tujuan memberikan pendampingan dan arahan pada anak didik serta memberi bantuan secara utuh saat anak didik mengalami kesulitan belajar.
Pada saat melaksanakan tugas dan kewajibannya, guru berhadapan dengan anak didik yang mempunyai bekal kepribadian yang beragam. Anak didik dengan kepribadian yang beragam ini juga menuntut guru menyesuaikan dirinya sehingga dapat memahami tingkat kemampuan anak didiknya. Hal ini sangat penting sehingga pada saat mengajar, guru tidak menjadi sosok yang kaku atau menakutkan bagi anak didik.
Interaksi personal yang tercipta antara guru dan anak didik dalam proses pembelajaran memang satu bentuk interaksi yang unik. Ada satu aspek penting yang harus tercipta di dalam interaksi tersebut sehingga bukan sekedar interaksi semata. Jenis interaksi yan terjadi pada saat proses pembelajaran adalah interaksi edukatif, yaitu interaksi yang berisi proses pendidikan dan belajar. Interaksi ini bersifat edukatif, artinya interaksi tersebut diutamakan pada segala aspek yang terkaiat dengan proses pendidikan dan belajar bagi anak didik dan juga guru.
Oleh karena itulah, maka eksistensi emosi dalam proses pendidikan dan belajar sangat penting dan menentukan keberhasilan proses. Dengan tingkat pengelolaan emosi yang baik oleh guru, maka proses yang dijalankan diyakini dapat maksimal.
Peranan Emosi

Proses pembelajaran diarahkan untuk menciptakan atau mengkondisikan sikap dan pola hidup anak didik sehingga selaras dengan kehidupan masyarakat secara luas. Dengan belajar, maka seseorang dapat melakukan penyesuaian kondisi diri. Di dalam proses belajar, setiap saat anak didik mendapatkan materi pembelajaran terkait dengan hdiupnya.
Sementara proses pembelajaran dilaksanakan di dalam suatu interaksi yang berisi proses pendidikan atau disebut juga interaksi edukasi. Dalam interaksi edukasi inilah beberapa aspek diajarkan kepada anak didik secara sistematis sehingga terjadi perubahan yang signifikan.
Bahwa proses belajar merupakan proses perubahan. Seseorang yang mengikuti proses belajar sebenarnya berusaha untuk melakukan perubahan pada dirinya. Perubahan ini diarahkan agar terjadi penyesuaian dan keseimbangan dunia dalam diri dengan dunia di luar diri. Terkait dengan dunia dalam diri merupakan satu kondisi khusus yang secara alami sudah disiapkan pada diri masing-masing. Bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk mengelola dirinya.
Pengelolaam terhadap diri sendiri dapat dilakukan selama proses kehidupan setiap orang. Selama kehidupan, seseorang selalu melakukan proses belajar sehingga dirinya mempunyai kemampuan mengendalikan dirinya sehingga dapat menumbuhkan sikap hidup yang lebih baik. Bahwa proses perubahan pada diri merupakan tanggungjawab dan secara alami sudah dimiliki oleh semua orang. Setiap orang selalu berusaha agar dirinya mempunyai kompetensi yang melebih orang lain.
Proses belajar yang dilaksanakan oleh manusia pada dasarnya diimbangi oleh penyiapan kondisi diri dalam segala aspek, termasuk dalam hal ini aspek emosi. Aspek emosi berperan saat melakukan proses adaptasi terhadap setiap hal baru yang dihadapi oleh diri. Hal ini merupakan peleburan diri sehingga proses penyerapan pengetahuan, sikap dan keterampilan dapat terjadi secara maksimal.
Peranan emosi di dalam proses pembelajaran memang sangat penting sebab proses belajar diarahkan untuk pengkondisian diri peserta didik. Dan, pengkondisian inilah sebenarnya prinsip dasar pembelajaran. Pada saat guru mengajar, mendidik, maka pada saat tersebut dia berusaha untuk mengkondisikan peserta didik agar sesuai dengan yang diharapkan oleh proses tersebut.
Emosi adalah bagian dasar dari proses pembelajaran. Tanpa kesertaan emosi, maka proses tidak dapat terjadi. Bahkan, dalam segala kegiatan, Peranan emosi sangat penting sebab setiap kegiatan adalah bentuk interaksi personal dengan dunia luarnya.

Mendidiklah dengan Emosi

Anak didik adalah subyek belajar di dalam proses pembelajaran. Mereka mengikuti proses pembelajaran karena ingin melakukan reformasi atas kondisi yang ada di dalam dirinya. Kondisi yang dimaksudkan adalah ketidakbisaan menjadi penguasaan maksimal pada satu atau beberapa kompetensi.
Setiap kompetensi yang diajarkan oleh guru kepada anak didik didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai oleh anak didik dan proses pendidikan secara umum. Kompetensi inilah yang sebenarnya merupakan aspek penting pembelajaran pada saat sekarang ini. Kita harus menguasai satu atau beberapa kompetensi jika ingin menghadapi kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Untuk dapat memberikan kompetensi yang benar-benar sesuai, maka seorang guru harus mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi proses pembelajaran. Hal ini karena, sampai sekarang posisi guru belum dapat melepaskan konsep lama, yaitu bahwa pusat pembelajaran ada di guru. Konsep ini jelas sangat bertentangan dengan konsep dasar pembelajaran sebab sebenarnya yang sedang melakukan proses belajar adalah anak didik sehingga guru hanyalah memfasilitasi kebutuhan belajar bagi anak didiknya. Guru adalah fasilitator pendidikan dan bukan sentral dari proses pembelajaran.
Oleh karena kondisi tersebut, maka seorang guru harus dapat menyesuaikan dirinya dengan kondisi anak didik. Sebagai fasilitator, maka guru tidak boleh membawa situasi dirinya kepada anak didik. Artinya guru tidak boleh memaksa mmbawa anak didik ke dalam kondisi dirinya, melainkan guru yang harus memasuki kondisi anak didiknya. Seperti konsep quantum teaching, bahwa di dalam proses pembelajaran, kita harus membawa dunia anak ke dalam dunia kita dan bukan membawa dunia kita ke dunia anak-anak. Sebab anak-anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil! Gaya mengajar guru adalah gaya belajar anak didik. Kita, guru yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi anak didik dan bukan anak didik yang dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kondisi guru.
Ya. Kita harus dapat berposisi sebagaimana posisi anak didik dan tidak memaksa anak didik untuk memasuki dunia kita. Jika hal tersebut kita lakukan, maka anak didik masih belum mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan dunia kita. Kita yang harus selalu beradaptasi dengan dunia anak-anak. Kita yang harus selalu mengikuti kondisi anak didik dan tidak memaksa anak-anak untuk mengikuti kondisi diri kita.
Kita yang mendidik kita, maka kita yang harus memasuki dunia mereka dan melakukan perombakan dari dalam dunia mereka. Hal tersebut yang seharusnya dilakukan dan bukan memaksa anak didik mengikuti dunia kita. Sangatlah sulit jika kita harus memposisikan anak didik sebagaimana posisi kita sebab dunia anak didik sangat berbeda dibandingkan dengan dunia orang dewasa.
Sudah seharusnya guru di dalam melaksanakan proses pembelajaran menyertakan emosinya, perasaannya sehingga terjalin satu ikatan atau interaksi yang sinergis antara guru dan anak didik. Selama ini yang terjadi adalah adanya jarak yang membentang di antara guru dan anak didik sehingga komunikasi yang dibangun tidak dapat efektif. Tanpa kehadiran emosi, perasaan, maka interaksi yang terbangun hanyalah interaksi umum. Sementara kita menyadari bahwa interaksi guru dan anak didik adalah interaksi edukasi, yaitu interaksi yang didasarkan pada tujuan pendidikan sehingga terjadi perubahan signifikan pada pengetahuan, keterampilan dan pola hidup anak didik. Jika seorang guru mampu membangun satu interaksi edukasi dikelas pembelajarannya, maka secara langsung tercipta satu interaksi yang melibatkan emosi secara utuh.
Interaksi antara guru dan anak didik memang satu bentuk interaksi yang spesial (special interaction), dimana pelibatan emosi sangat menentukan kualitas interaksinya. Bahwa interaksi guru dan anak didik merupakan upaya peleburan dua kondisi sehingga didapatkan satu kondisi khusus, yaitu terciptanya kemudahan bagi anak didik untuk belajar. Jika salah satu pihak tidak melibatkan emosinya, maka hasil proses interaksi tidak dapat dicapai. Bahkan kegagalan proses pendidikan isebabkan oleh ketiadaan emosi di dalam pelaksanaan proses.
Emosi adalah jiwa dan perasaan

Di dalam proses pendidikan, dua elemen penting berinteraksi langsung untuk dapat mencapai tujuannya. Interaksi yang terjadi adalah interaksi personal sehingga seringkali menimbulkan konflik atau friksi yang tidak diinginkan. Hal ini karena masing-masing personal mempunyai pola pemikrian dan sikap yang berbeda sehingga pada saat interaksi dapat menimbulkan perbedaan pendapat atau misunderstanding. Kondisi ini sangat rawan bagi sebuah interaksi positif seperti proses pendidikan.
Jika antara guru dan anak didik terjadi misunderstanding, tentunya hal tersebut berdampak negatif terhadap proses belajar yang dilaksanakan. Sementara kita menyadari bahwa di dalam proses pembelajaran eksistensi guru dan anak didik adalah sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan keduanya berinteraksi sebagai sosok yang saling membutuhkan. Jika ternyata diantara keduanya terbentang jarak akibat misunderstanding, tentunya hal tersebut tidak mendukung eksistensi mereka.
Interaksi antara guru dan anak didik memang suatu interaksi khas. Interaksi tersebut terjalin sedemikian rupa sehingga komunikasi mereka tidak hanya secara fisik melainkan secara psikis juga. Di dalam proses pembelajaran, anak didik dan guru berinteraksi sebagai pribadi dengan kegiatan nyata secara fisik, tetapi pada saat itu pula terjadi proses interaksi secara psikis sebab guru menggarap aspek psikis anak didik. Bahwa guru tidak hanya mengajar, yaitu memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik, melainkan juga memberikan pendidikan sikap dan nilai-nilai positif kehidupan bermasyarakat.
Pada setiap kegiatan yang dilakukan oleh guru dan anak didik, terpancar sebagai bentangan benang merah yang menghubungkan antar pribadi sebagai sosok-sosok yang unik. Untuk keunikan tersebut, perlu ditangani dengan penuh perasaan. Kita tidak hanya mengarahkan anak-anak dalam koridor mengejar pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga nilai-nilaipositif kehidupan atau norma-norma kehidupan. Dan, guru mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk membimbing, memfasilitasi kebutuhan tersebut.
Dalam koridor inilah, kita dapat mengetahui bahwa untuk dapat memfasilitasi kebutuhan belajar dan pendidikan anak didik, maka kehadiran guru tidak hanya sebatas fisik, melainkan juga psikis. Dan, komunikasi secara psikis merupakan pendekatan seutuhnya dalam proses pendidikan. Dengan melakukan pendekatan psikis, sebenarnya kita sudah memasuki dunia paling pribadi pada anak didik. Jika kita berhasil memasuki dan menguasai dunia paling pribadi pada anak didik, tentunya anak didik menjadi sosok yang menyadari tugas dan kewajibannya dalam proses belajar.
Sebagai pembimbing belajar, maka peranan perasaan sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan dan pembelajarannya. Guru yang menyertakan perasaannya pada saat melaksanakan proses pendidikan memungkinkan keberhasilan menyentuh kesadaran anak didik. Dalam hal ini, guru harus dapat memasuki jiwa dan perasaan anak didik agar keberhasilan proses belajar dapat maksimal. Kondisi ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kesadaran dari dalam diri anak didik. kesadaran dari dalam diri anak didik dipercaya dapat menjadi motivator terbaik untuk pengembangan kompetensi dirinya.
Guru memang harus mengedepankan emosi, perasaan saat pembimbingan anak didik belajar sebab dengan cara seperti ini, maka proses pendekatan dan pendampingan belajar dapat maksimal sebab tercipta benang merah antara guru dan anak didik. Benang merah perasaan ini merupakan penghubung efektif dalam sebuah interaksi, apalagi interaksi edukasi. Edukasi adalah kegiatan terkait dengan perasaan, sehingga untuk hal tersebut berarti kita harus menyertakan perasaan saat menjalankan semua itu. Obyek kerja pendidikan adalah adaptif dan normative, maka setiap guru harus menyertakan perasaannya saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran. Hal ini sangat penting sebab bidang garapan guru adalah anak didik yang tentunya mempunyai kondisi kejiwaan yang berbeda. Dengan melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran berbasis jiwa dan perasaan, maka diyakini terjalin ikatan batin dan tercipta interaksi aktif yang mengalir lancar. Artinya, proses pembelajaran berlangsung sebagaimana program yang sudah disusun oleh guru.

Emosi bukanlah emosional

Dalam konteks pembelajaran, basis emosi yang kita maksudkan dalam hal ini adalah perasaan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang dan cinta. Guru yang mengajar dengan berlandaskan emosi artinya mengajar dengan penuh kasih sayang dan cinta kepada anak didiknya. Dengan demikian, maka terjalin ikatan batin yang kuat antara guru dan anak didik yang selanjutnya mampu menjadi jembatan penghubung antar pribadi agar ada saling peduli. Rasa saling peduli inilah yang selanjutnya diharapkan menjadi tenaga pendorong semangat belajar anak didik dan semangat mengajar guru.
Sementara emosional kita artikan sebagai kondisi penuh emosi negative yang meledak-ledak. Emosi yang meledak-ledak ini selanjutnya kita katakan sebagai kemarahan sehingga aspek yang muncul adalah negative. Guru tidak boleh emosional saat membimbing anak didiknya. Emosional berarti emosi yang berlebih dan bersifat negative ini merupakan racun yang mematikan kreativitas dan kemampuan belajar anak didik. Guru yang emosional adalah para algojo yang dengan kapak tajamnya siap membantai para pesakitan yang mengerang kesakitan dan sesambat kesakitan.
Tentunya sebagai pelaku pendidikan, yang dalam hal ini berusaha untuk mempositifkan kondisi anak didik, maka guru harus bertindak positif untuk anak didiknya. Guru harus melaksanakan tugas dan kewajibannya secara proporsional. Apapun yang dilakukan oleh guru harus dapat menggambarkan sikap sosok yang melindungi dan mengarahkan anak didiknya. Bukan malah sebaliknya, menghancurkan anak didiknya.
Maka, guru yang melaksanakan proses pembelajaran di kelas jangan dibarengi apalagi dilandasi oleh kondisi emosional yang negative. Bidang garapan guru adalah mengubah hal-hal negative yang ada dalam diri anak didik sehingga dapat menjadi hal-hal positif yang berguna bagi kehidupan masa depan anak didik. Proses pendidikan adalah proses positif untuk menghapus hal negative yang berkembang di lingkungan hidupnya.
Proses pendidikan memang harus melibatkan emosi kedua pihak seutuhnya, artinya mereka yang terlibat secara langsung dalam proses seharusnya melaksanakan tugas dan kewajibannya secara proporsional, tidak hanya terbatas secara fisik, melainkan juga secara psikis. Dan, inilah yang sesungguhnya menjadi landasan untuk dapat menyelenggarakan proses pendidikan dengan sebaik-baiknya. Hanya dengan pelibatan aktif emosi dalam proses pendidikan, maka terjalin sebuah interaksi social yang bermanfaat bagi proses pendidikan anak.
Mengajar dengan emosi bukanlah mengajar dengan emosional. Kita harus dapat membedakan kedua hal tersebut dengan sebaik-baiknya agar tidak terjebak pada kesalahan persepsi dan akhirnya menjadikan kita menyesalinya. Emosi yang kita maksudkan dalam hal ini adalah upaya menyertakan perasaan dalam kegiatan pembelajaran sehingga terjalin sebuah jembatan. Jembatan inilah yang diharapkan dapat menjadi penghubung rasa antara guru dan anak didik.
Dalam proses pendidikan dan pembelajaran, jembatan penghubung rasa ini sangat penting sebab yang terjadi adalah interaksi antar personal. Interaksi antar personal ini dapat terjadi dengan sebaik-baiknya jika antar personal dapat tercipta satu perasaan. Kita menyadari bahwa setiap personal mempunyai dasar sikap dan perasaan yang berbeda sehingga jika keduanya berinteraksi, maka seharusnya mereka mempunyai persepsi yang sama.
Agar proses pendidikan dan pembelajaran dapat berlangsung maksimal, tentunya harus ada keterikatan rasa antara pendidik dan pedidik. Keterikatan rasa inilah yang selanjutnya menjadi jembatan penghubung terbaik. Bahwa keterikatan rasa ini memungkinkan terciptanya satu interaksi yang benar-benar edukatif.
Sekali lagi dalam hal ini yang kita maksudkan emosi bukanlah emosional. Pada saat kita membimbing belajar anak didik, maka yang terutama harus kita kedepankan adalah emosi (rasa), bukan emosional. Dengan rasa, maka kita dapat melakukan pendekatan kepada anak didik, tetapi jika kita melakukannya dengan emosional, tentunya hasilnya bertolak belakang.

Dengan memeprhatikan berbagai hal yang terjadi pada saat kita melakukan proses pendidikan dan pembelajaran, maka setidaknya kita sangat menyadari bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam proses pendidikan dan pembelajaran, maka kita harus menciptakan jembatan penghubung antar rasa, guru dan anak didik. Jembatan inilah yang selanjutnya dapat mengantar pada keberhasilan. Mendidiklah dengan emosi berarti mendidiklah dengan perasaan dan jangan dengan emosional.

Tidak ada komentar: