JIka kita telaah secara mendetail, sebenarnya, selama ini masyarakat di dalam proses pendidikan dan pembelajaran anak-anaknya hanya mengambil posisi sebagai donatur dan evaluator, bahkan kritikus terhadap proses pendidikan. Padahal, jika kita kembalikan pada konsep pembeljaaran, masyarakat adalah stakeholder untuk pelaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran.
Oleh karena itulah, ketika permasalahan muncul di sekolah dan kemudian masyarakat menghakimi sekolah sedemikian rupa, seharusnya ita perlu menanyakan kebenaran masyarakat sebagai stakeholder pendidikan dan berarti kita harus membenarkan konsep bahwa amsyarakat adalah sekedar donatur dan evaluator bahkan kritikus untuk proses pendidikan, tanpa memberikan solusi terbaik bagi perkembangan ke depan yang lebih baik.
Masyarakat menghujat pendidikan sebenarnya menunjukkan bahwa tingkat pendidkan yang rendah. Jika mereka merasa kurang cocok dengan kegiatan yang ada di sekolah atau kejadian yan ada di sekolah, seharusnya mereka menyelesaikannya sebaik-baiknya, dengan mendatangi sekolah dan melakukan proses mediasi sehingga masalah tersebut kelar. Bukan malah mengompori sehingga masalah menajdi tambah panas.
Peranan masyarakat sangat penting bagi proses pendidikan dan bukan hanya sekolah yang bertangungjawab selanjutnya menjadi kambing hitam untuk setiap permasalahan yang timbul pada anak-anak dan proses pendidikannya.
Jika mengingat peranan masyarkat di dalam proses pendidikan,seharusnya sejak awal dan di dalam proses perjalanan pendidikan anak, masyarakat harus mengambil peran aktif. Tetapi yang selama ini adalah sikap masyarakat yang begitu acuh terhadap pola laku anak sekolah di dalam lingkungan masyarakat. Bagaimanapun, dampak yang ditimbulkan oleh lingkungan masyarakat terhadap anak didik adalah jauh lebih besar dibandingkan pengaruh di sekolah. Waktu yang dimiliki anak didik maish banyak di lingkungan masyarakat daripada di sekolah. Tetapi yang kita dapati adalah masyarakat yang acuh terhadap tugas dan perannya, tetapi pada saat ada masalah mereka yang berteriak paling lantang.
Coba kita telusuri, pada saat anak harus mengikuti proses pendidikan dan ternyata mereka berada di lingkungan amsyarakat, ternyata masyarakat sama sekali tidak melakukan tindakan yang proporsional untuk mengkondisikan anak didik agar belajar lebih baik.
Ketika anak-anak banyak yang mangkir di lingkungan masyarakat saat jam-jam belajar, masyarakat diam saja, bahkan sebagian amsyarakat melengkapinyay dengan memberikan fasilitas seperti play station ataupun game online... Begitulah... masyarakat hanya menghakimi pihak sekolah...
Pendidikan manusia seutuhnya memungkinkan terciptanya manusia-manusia berimbang. Obor pendidikan berusaha menjembatani dan memberikan penerangan dan penghangatan dunia pendidikan
Selasa, 29 Desember 2009
Jumat, 25 Desember 2009
Introspeksi Diri
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang senantiasa membutuhkan eksistensi makhluk yang lainnya, khususnya sesama manusia. Sementara setiap manusia mempunyai sikap dan sifat dasar yang berbeda. Padahal mereka harus berinteraksi antar sesama sehingga kehidupan berjalan lancar.Akibatnya, setiap kali mereka berinteraksi terbuka peluang untuk terjadinya friksi antar personal. Friksi ini jika tidak segera diselesaikan secara bijak, tentunya membuahkan benturan yang dapat merusak pondamen interaksi tersebut.
Disamping hal tersebut diatas, interaksi antar personal menjadikan setiap person harus dapat menahan diri dan dapat segera melakukan introspeksi terhadap setiap hal yang sudah, sedang dan akan dilakukan dalama kehidupannya. menahan diri dan introspeksi diri merupakan satu sikap positif yang harus dikembangkan oleh setiap personal sehingga berhasil dalam membina hubungan antar pribadi dalam masyarakat.
Terkait dengan dunia pendidikan,menahan diri dan introspeksi menjadi bagian penting dan kegiatan penting sebab segala yang diajarkan dalam proses pendidikan dan pembelajaran adalah hal-hal positif yang menuntut setiap orang untuk berlapang hati dan berbesar jiwa setiap kali menghadapi kondisi yang terjadi dalam kehidupan. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran adalah kegiatan positif, artinya mengarahkan seluruh aktivitas pelakunya dalam koridor nilai positif kehidupan.
Untuk hal tersebut, maka dunia pendidikan membutuhkan sikap tegas dan tegar agar dapat menumbuh kembangkan kedisiplinan kepada anak didik. Kedisiplinan dipercaya merupakan satu-satunya jalan agar kehidupan kita dapat mengalir pada jalur positif.Sementara, salah satu metode yang efektif untuk proses pendisiplinan adalah pemaksaan agar terbiasa bersikap sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat disiplin, pada awalnya memang harus dipaksakan, setelah hal tersebut terjadi, maka dapat menajdi satu kebiasaan dan pola hidup.
Disiplin adalah pola hidup dan semua itu harus dikondisikan.
Sebagai institusi penyelenggara pendidikan, yang salah satunya mendisiplinkan anak didik, maka setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan yaitu memberi reward dan punnishment terhadap segala hal yang dilakukan oleh anak didik. Reward dan punnishment merupakan metode efektif untuk dapat mendisiplinkan anak didik.Hal ini untuk mengimbangi kebiasaan yang diberlakukan di lingkungan keluarga dan masyarakat. dan, memang reward dan punnishment harus diberikan sebagai konsekuensi tindakan setiap orang. Reward adalah hadiah yang diberikan kepada seseorang yang dianggap telah melakukan sesuatu yang berarti bagi komunitasnya, sedangkan punnishment merupakan hukuman yang diberikan karena seseorang telah melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap tata aturan yang berlaku. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar.
Oleh karena itulah, maka seharusnya kita selalu melakukan introspeksi terhadap diri sendiri jika menghadapi permasalahan terkait dengan upaya pendisiplinan diri. Jadi disiplin tidak dapat tercipta tanpa adanya pemaksaan, pada awalnya dan menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan. Dan reward dan punnishment adalah hal biasa dalam proses pendisiplinan. Yang terpenting adalah kita harus memahami situasi yang sesungguhnya sedang terjadi. Setidaknya, jika kita ingin menciptakan suatu kondisi penuh kedisiplinan, maka kita perlu mendukung segala langkah untuk itu. Sangatlah tidak bijak jika kita memojokkan seseorang yang berupaya mendisiplinkan karena memberi punnishment kepada orang dekatnya,justru membombong orang dekatnya sebagai sosok positif jika di lingkungannya, di rumah. Ini hanyalah sebuah aroganisme,harusnya jika kita sudah mempercayai seseorang untuk membimbing anak kita menjadi disiplin dan bersikap positif dalam hidupnya, maka kita dukung semua langkah yang diambil untuk mewujudkan hal tersebut.
Mari kita introspeksi terhadap segala hal......Jangan termakan oleh gembosan yang tidak bertanggungjawab...
Disamping hal tersebut diatas, interaksi antar personal menjadikan setiap person harus dapat menahan diri dan dapat segera melakukan introspeksi terhadap setiap hal yang sudah, sedang dan akan dilakukan dalama kehidupannya. menahan diri dan introspeksi diri merupakan satu sikap positif yang harus dikembangkan oleh setiap personal sehingga berhasil dalam membina hubungan antar pribadi dalam masyarakat.
Terkait dengan dunia pendidikan,menahan diri dan introspeksi menjadi bagian penting dan kegiatan penting sebab segala yang diajarkan dalam proses pendidikan dan pembelajaran adalah hal-hal positif yang menuntut setiap orang untuk berlapang hati dan berbesar jiwa setiap kali menghadapi kondisi yang terjadi dalam kehidupan. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran adalah kegiatan positif, artinya mengarahkan seluruh aktivitas pelakunya dalam koridor nilai positif kehidupan.
Untuk hal tersebut, maka dunia pendidikan membutuhkan sikap tegas dan tegar agar dapat menumbuh kembangkan kedisiplinan kepada anak didik. Kedisiplinan dipercaya merupakan satu-satunya jalan agar kehidupan kita dapat mengalir pada jalur positif.Sementara, salah satu metode yang efektif untuk proses pendisiplinan adalah pemaksaan agar terbiasa bersikap sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat disiplin, pada awalnya memang harus dipaksakan, setelah hal tersebut terjadi, maka dapat menajdi satu kebiasaan dan pola hidup.
Disiplin adalah pola hidup dan semua itu harus dikondisikan.
Sebagai institusi penyelenggara pendidikan, yang salah satunya mendisiplinkan anak didik, maka setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan yaitu memberi reward dan punnishment terhadap segala hal yang dilakukan oleh anak didik. Reward dan punnishment merupakan metode efektif untuk dapat mendisiplinkan anak didik.Hal ini untuk mengimbangi kebiasaan yang diberlakukan di lingkungan keluarga dan masyarakat. dan, memang reward dan punnishment harus diberikan sebagai konsekuensi tindakan setiap orang. Reward adalah hadiah yang diberikan kepada seseorang yang dianggap telah melakukan sesuatu yang berarti bagi komunitasnya, sedangkan punnishment merupakan hukuman yang diberikan karena seseorang telah melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap tata aturan yang berlaku. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar.
Oleh karena itulah, maka seharusnya kita selalu melakukan introspeksi terhadap diri sendiri jika menghadapi permasalahan terkait dengan upaya pendisiplinan diri. Jadi disiplin tidak dapat tercipta tanpa adanya pemaksaan, pada awalnya dan menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan. Dan reward dan punnishment adalah hal biasa dalam proses pendisiplinan. Yang terpenting adalah kita harus memahami situasi yang sesungguhnya sedang terjadi. Setidaknya, jika kita ingin menciptakan suatu kondisi penuh kedisiplinan, maka kita perlu mendukung segala langkah untuk itu. Sangatlah tidak bijak jika kita memojokkan seseorang yang berupaya mendisiplinkan karena memberi punnishment kepada orang dekatnya,justru membombong orang dekatnya sebagai sosok positif jika di lingkungannya, di rumah. Ini hanyalah sebuah aroganisme,harusnya jika kita sudah mempercayai seseorang untuk membimbing anak kita menjadi disiplin dan bersikap positif dalam hidupnya, maka kita dukung semua langkah yang diambil untuk mewujudkan hal tersebut.
Mari kita introspeksi terhadap segala hal......Jangan termakan oleh gembosan yang tidak bertanggungjawab...
Senin, 21 Desember 2009
Perlu Peranan Aktif dan POsitif Orangtua
Dalam proses pendidikan dan pembelajaran, ada 3 (tiga) elemen utama yang bertanggungjawab atas kesuksesan program dan pelaksanaan kegiatan. Ketiga elemen utama ini harus bersinergi jika mengingnikan hasil maksimal dari proses pendidikan dan pembelajaran. Tanpa kemauan dan kemampuan bersinergi, tentunya akan terjadi silang pendapat, bahkan perbedaan pesrepsi yang memungkinkan terjadinya friksi dan benturan yang seharusnya tidak perlu terjadi. ketiga elemen tersebut adalah pemerintah (sekolah), Orangtua, dan masyarakat. Ketiga elemen ini harus menjadi satu bagian yang integral agar tujuan pendidikan dan pembelajaran tercapai.
Bahwa, ketiga elemen tersebut bertanggungjawab atas proses, tetapi terbatas oleh kapasitas dan waktu yang dimilikinya. Proses pendidikan secara formal memang diselenggarakan di sekolah, selanjutnya harus ditopang secara aktif dan positif oleh orangtua dan masyarakat. Artinya, kita tidak boleh hanya mengandalkan proses yang dilaksankaan di sekolah sebab proses tersebut hanya berlangsung selama 5 (lima) jam saja setiap harinya, sementara sisanya, yaitu sekitar 19 jam anak ada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Tentunya hal ini perlu mendapatkan perhatian dari ketiga elemen terkait proses pendidikan.
Walaupun sekolah sebagai institusi formal pendidikan, tetapi kenyataan waktu yang tersedia sangatlah terbatas dan terkalahkan oleh lingkungan keluarga dan masyarakat. Boleh jadi sekolah sudah mengarahkan, membimbing anak agar berlaku positif dan mempunyai pengetahuan serta keterampilan, tetapi jika tidak didukung oleh orangtua dan masyarakat tentunya semua yang dilakukan oleh sekolah sama sekali tidak bermanfaat. Percuma saja semua hal positif yang sudah diberikan oleh sekolah jika ternyata anak didik tidak mendapatkan hal yang sama saat berada di lingkungan keluarga, apalagi dimasyarakat.
Sementara kita sangat menyadari bahwa peranan lingkungan keluarga dan masyarakat sangatlah menentukan keberhasilan dalam membimbing anak untuk menjadi sosok-sosok yang berkepribadian positif serta mampu survive dalam hidupnya.
Selanjutnya yang menjadi permasalahan, dan seringkali hal ini terjadi sehingga sangat menyudutkan eksistensi sekolah sebagai lembaga menyelenggara pendidikan, nilai-nilai positif untuk kehidupan adalah peranan orangtua yang tidak mendukung program dan proses pendidikan anak-anaknya, justru menyudutkan sekolah sebagai institusi yang negatif.
Seringkali kita mendengar berita bahwa ada guru yang memberikan penanganan kepada anak didiknya karena telah melakukan sebuah kesalahan atau beberapa kesalahan, tetapi selanjutnya ornagtua tidak melihat hal ini sebagai upaya positif untuk mengarahkan anaknya menjadi sosok positif, mala memojokkan sekolah sebagai institusi negatif sebab melakukan hal yang salah.
Pada saat sekarang eksistensi guru dalam proses pendidikan memang sangat riskan, bahwa apa yang dilakukan oleh guru tidak pernah keluar dari program pendidikan anak-anak, termasuk dalam hal ini ketika guru menangani anak-anak bermasalah. Mereka melihat hal tersebut sebagai penganiayaan, bahkan mereka tega memberitakan secara besar-besaran di media massa, yang lucu lagi media massa tidak menanggapi secara imbang, malah membuat kejadian kecil menjadi sangat besar, bombamtis!
Peranan orangtua di dalam proses pendidikan anak memang sangat diharapkan sebagai sebuah kerjasama mutualisme sehingga anak merasa benar-benar mendapatkan proses yang benar. Oleh karena itulah, maka bentuk kerja sama atau peran aktif dan positif orangtua adalah mendukung setiap kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dan bukan mementahkannya, apalagi sampai menyerang sekolah hanya karena sekolah atau oknum guru memberikan penanganan atas pelanggaran yangd ilakukan oleh anak-anak.
Bagaimanapun, setiap yang dilakukan oleh sekolah adalah amsih berada di dalam koridor pendidikan dan pembelajaran, oleh karena itulah, setidaknya perlu konfirmasi dan hati dingin saat menghadapi persoalan seperti ini. Kita tidak boleh mengedepankan emosi.
Oleh karean itulah, perlu peran aktif dan positif orangtua saat menghadapi permasalahan anak di sekolah. TUjuan kita adalah mengarahkan agar anak kita emnajdi sosok-sosok yang mengerti tanggungjawab dan kewajiban hidupnya, kita tidak perlu membombong anak sebagai sosok yang mengerti dans ebagainya. Ketika kita mendapati anak kita bermasalah, maka dalam hal ini kita tetapkan tujuan agar anak dapat lebih baik. Kita tdiak perlu membesar-besarkan masalah melainkan memahami masalah dengan bijak dan kebijakan yang tinggi.
Guru di sekolah adalah sebagaimana ibu dan bapak di rumah, tidak ada yang berlaku diluar kendali saat menangani anak bermasalah. Yang dilakukan oleh guru adalah standar perlakuan terhadap anak-anak.
Di masa ke depan, peran aktif dan positif orangtua sangat menentukan keberhasilan anak-anak kita,dukung kegiatan sekolah selama semua itu sesuai dengan koridor pendidikan yang diselenggarakan olehs ekolah.
semoga semua ebrjalan lancar. Amin
Bahwa, ketiga elemen tersebut bertanggungjawab atas proses, tetapi terbatas oleh kapasitas dan waktu yang dimilikinya. Proses pendidikan secara formal memang diselenggarakan di sekolah, selanjutnya harus ditopang secara aktif dan positif oleh orangtua dan masyarakat. Artinya, kita tidak boleh hanya mengandalkan proses yang dilaksankaan di sekolah sebab proses tersebut hanya berlangsung selama 5 (lima) jam saja setiap harinya, sementara sisanya, yaitu sekitar 19 jam anak ada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Tentunya hal ini perlu mendapatkan perhatian dari ketiga elemen terkait proses pendidikan.
Walaupun sekolah sebagai institusi formal pendidikan, tetapi kenyataan waktu yang tersedia sangatlah terbatas dan terkalahkan oleh lingkungan keluarga dan masyarakat. Boleh jadi sekolah sudah mengarahkan, membimbing anak agar berlaku positif dan mempunyai pengetahuan serta keterampilan, tetapi jika tidak didukung oleh orangtua dan masyarakat tentunya semua yang dilakukan oleh sekolah sama sekali tidak bermanfaat. Percuma saja semua hal positif yang sudah diberikan oleh sekolah jika ternyata anak didik tidak mendapatkan hal yang sama saat berada di lingkungan keluarga, apalagi dimasyarakat.
Sementara kita sangat menyadari bahwa peranan lingkungan keluarga dan masyarakat sangatlah menentukan keberhasilan dalam membimbing anak untuk menjadi sosok-sosok yang berkepribadian positif serta mampu survive dalam hidupnya.
Selanjutnya yang menjadi permasalahan, dan seringkali hal ini terjadi sehingga sangat menyudutkan eksistensi sekolah sebagai lembaga menyelenggara pendidikan, nilai-nilai positif untuk kehidupan adalah peranan orangtua yang tidak mendukung program dan proses pendidikan anak-anaknya, justru menyudutkan sekolah sebagai institusi yang negatif.
Seringkali kita mendengar berita bahwa ada guru yang memberikan penanganan kepada anak didiknya karena telah melakukan sebuah kesalahan atau beberapa kesalahan, tetapi selanjutnya ornagtua tidak melihat hal ini sebagai upaya positif untuk mengarahkan anaknya menjadi sosok positif, mala memojokkan sekolah sebagai institusi negatif sebab melakukan hal yang salah.
Pada saat sekarang eksistensi guru dalam proses pendidikan memang sangat riskan, bahwa apa yang dilakukan oleh guru tidak pernah keluar dari program pendidikan anak-anak, termasuk dalam hal ini ketika guru menangani anak-anak bermasalah. Mereka melihat hal tersebut sebagai penganiayaan, bahkan mereka tega memberitakan secara besar-besaran di media massa, yang lucu lagi media massa tidak menanggapi secara imbang, malah membuat kejadian kecil menjadi sangat besar, bombamtis!
Peranan orangtua di dalam proses pendidikan anak memang sangat diharapkan sebagai sebuah kerjasama mutualisme sehingga anak merasa benar-benar mendapatkan proses yang benar. Oleh karena itulah, maka bentuk kerja sama atau peran aktif dan positif orangtua adalah mendukung setiap kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dan bukan mementahkannya, apalagi sampai menyerang sekolah hanya karena sekolah atau oknum guru memberikan penanganan atas pelanggaran yangd ilakukan oleh anak-anak.
Bagaimanapun, setiap yang dilakukan oleh sekolah adalah amsih berada di dalam koridor pendidikan dan pembelajaran, oleh karena itulah, setidaknya perlu konfirmasi dan hati dingin saat menghadapi persoalan seperti ini. Kita tidak boleh mengedepankan emosi.
Oleh karean itulah, perlu peran aktif dan positif orangtua saat menghadapi permasalahan anak di sekolah. TUjuan kita adalah mengarahkan agar anak kita emnajdi sosok-sosok yang mengerti tanggungjawab dan kewajiban hidupnya, kita tidak perlu membombong anak sebagai sosok yang mengerti dans ebagainya. Ketika kita mendapati anak kita bermasalah, maka dalam hal ini kita tetapkan tujuan agar anak dapat lebih baik. Kita tdiak perlu membesar-besarkan masalah melainkan memahami masalah dengan bijak dan kebijakan yang tinggi.
Guru di sekolah adalah sebagaimana ibu dan bapak di rumah, tidak ada yang berlaku diluar kendali saat menangani anak bermasalah. Yang dilakukan oleh guru adalah standar perlakuan terhadap anak-anak.
Di masa ke depan, peran aktif dan positif orangtua sangat menentukan keberhasilan anak-anak kita,dukung kegiatan sekolah selama semua itu sesuai dengan koridor pendidikan yang diselenggarakan olehs ekolah.
semoga semua ebrjalan lancar. Amin
Kamis, 10 Desember 2009
Meningkatkan Brandingself dengan Keterampilan Aplikatif
Sekolah kejuruan merupakan sekolah yang diharapkan dapat memberikan bekal kepada anak didik sehingga setelah menyelesikan masa belajarnya, mereka dapat bekerja. Tentunya hal ini merupakan sesuatu yang ideal sebab sekolah kejuruan itu sekolah lanjutan, setingkat SMA yang dalam hal ini lulusannya masih belum cukup dewasa untuk langsung bekerja. Kita harus mengakui bahwa anak-anak lulusan SLTA sebenarnya belum layak terjun ke dunia kerja. Mereka memang masuk dalam masa transisi,diam sudah gak pantas tetapi bekerja juga masih kecil. Tetapi, bagaimanapun mereka harus siap untuk melakukan hal tersebut.Hal ini karena tujuan bersekolah di sekolah kejuruan memang agar siap bekerja setelah selesai masa belajar.
Sementara kita mengetahui bahwa tingkat persaingan di dunia kerja sangatlah ketat. Setiap orang yang memutuskan untuk memasuki dunia kerja harus siap berhadapan, bersaing dengan sekian banyak pesaing dengan kemampuan yang mungkin sama, bahkan lebih dari mereka. Oleh karena itulah, agar anak didik dapat memenuhi kebutuhannya, yaitu memasuki dunia kerja setelah menyelesaikan masa pendidikan, belajarnya, maka sekolah harus benar-benar dapat menyelenggarakan pembelajaran yang benar-benar mamapu mengkontribusi kebutuhan anak didik.
Sekolah harus dapat menyelenggarakan proses pendidikan yang memungkinkan anak didik mendapatkan bekal yang langsung dapat diterapkan dalam kehidupannya. Dan, proses yang memungkinkan untuk kondisi tersebut adalah pada sisi keterampilan, artinya anak didik harus diberikan keterampilan yang benar-benar merupakan refleksi atas kebutuhan masyarakat atas tenaga-tenaga kerja yang mempunyai kompetensi pada bidang kerjanya. Dan, kebutuhan masyarakat sangatlah banyak. Setiap saat selalu ada bertambah atau mengalami perubahan tingkat kualiats dan kuantitasnya.
Proses pembelajaran yang dibutuhkan adalah pembelajaran aplikatif terhadap dunia kehidupan, masyarakat. Sekolah yang mampu menyelenggarakan proses pendidikan yang aplikatif sehingga anak didiknya mempunyai keterampilan aplikatif pada akhirnya menjadi rebutan amsyarakat dan hal ini tentunya sangat menguntungkan sebab brandingself sekolah naik dan hal tersebut membuat masyarakat banyak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut.
JIka, anak-anak dapat diserap maksimal oleh kehidupan masyarakat, berarti outcome sekolah sangat bagus. Dan, tanpa promosi apapun,masyarakat datang mempercayakan anak-anaknya dididik di sekolah tersebut. Tentunya,jika sebuah sekolah sudah pada taraf seperti itu, maka keberlanjutan sekolah tersebut tetap eksis.
Memang, sudah saatnya sekolah meningkatkan kualitas proses pembelajaran, pelayanan kepada masyarakat sehingga mampu meningkatkan brandingself sekolah dan sekaligus meningkatkan kualitas lulusannya.
Ayo, kita mulai sejak sekarang, jangan sampai ketinggalan sebab kereta tidak kembali untuk menjemput lagi, sekali kita tertinggal, maka kita hancur. Sekolah yang tidak mampu meningkatkan brandingselfnya pasti ditinggalkan amsyarakat dan pada akhirnya hancur....
Sementara kita mengetahui bahwa tingkat persaingan di dunia kerja sangatlah ketat. Setiap orang yang memutuskan untuk memasuki dunia kerja harus siap berhadapan, bersaing dengan sekian banyak pesaing dengan kemampuan yang mungkin sama, bahkan lebih dari mereka. Oleh karena itulah, agar anak didik dapat memenuhi kebutuhannya, yaitu memasuki dunia kerja setelah menyelesaikan masa pendidikan, belajarnya, maka sekolah harus benar-benar dapat menyelenggarakan pembelajaran yang benar-benar mamapu mengkontribusi kebutuhan anak didik.
Sekolah harus dapat menyelenggarakan proses pendidikan yang memungkinkan anak didik mendapatkan bekal yang langsung dapat diterapkan dalam kehidupannya. Dan, proses yang memungkinkan untuk kondisi tersebut adalah pada sisi keterampilan, artinya anak didik harus diberikan keterampilan yang benar-benar merupakan refleksi atas kebutuhan masyarakat atas tenaga-tenaga kerja yang mempunyai kompetensi pada bidang kerjanya. Dan, kebutuhan masyarakat sangatlah banyak. Setiap saat selalu ada bertambah atau mengalami perubahan tingkat kualiats dan kuantitasnya.
Proses pembelajaran yang dibutuhkan adalah pembelajaran aplikatif terhadap dunia kehidupan, masyarakat. Sekolah yang mampu menyelenggarakan proses pendidikan yang aplikatif sehingga anak didiknya mempunyai keterampilan aplikatif pada akhirnya menjadi rebutan amsyarakat dan hal ini tentunya sangat menguntungkan sebab brandingself sekolah naik dan hal tersebut membuat masyarakat banyak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut.
JIka, anak-anak dapat diserap maksimal oleh kehidupan masyarakat, berarti outcome sekolah sangat bagus. Dan, tanpa promosi apapun,masyarakat datang mempercayakan anak-anaknya dididik di sekolah tersebut. Tentunya,jika sebuah sekolah sudah pada taraf seperti itu, maka keberlanjutan sekolah tersebut tetap eksis.
Memang, sudah saatnya sekolah meningkatkan kualitas proses pembelajaran, pelayanan kepada masyarakat sehingga mampu meningkatkan brandingself sekolah dan sekaligus meningkatkan kualitas lulusannya.
Ayo, kita mulai sejak sekarang, jangan sampai ketinggalan sebab kereta tidak kembali untuk menjemput lagi, sekali kita tertinggal, maka kita hancur. Sekolah yang tidak mampu meningkatkan brandingselfnya pasti ditinggalkan amsyarakat dan pada akhirnya hancur....
Rabu, 09 Desember 2009
Ujian Nasional atau tidak, tetap saja!
Fenomena ujian nasional beserta segala tetek bengeknya selalu menjadi topik paling hangat dan menggemaskan setiap mendekati akhir tahun pelajaran bagi kelas tiga. Hal paling banyak dirasakan oleh anak didik dan tentu saja para gurunya dan pengelola sekolah, yaitu ketegangan yang sangat!
Apalagi jika mempelajari segala hal teknis yang harus diantisipasi agar tidak gagal dalam menghadapi ujian. Apalagi ketika mencuat kabar dan ketentuan bahwa ujian dimajukan sebulan ke depan. Wah... semakin tegang pikiran dan hati. Beberapa program terpaksa harus dimajukan dari jadwal yang sudah disusun rapi.bahkan, dengan terpaksa program baru harus bertabrakan dengan kalender pendidikan.
Beberapa sekolah memajukan jadwal pelajaran tambahan, efektifitas pembelajaran hingga maksimalitas pembelajaran pada mata pelajaran ujian nasional.beberapa pelajaran yang tidak diujinasionalkan terpaksa harus dimarginalkan, artinya dikurangi porsinya digantikan dengan pemampatan materi pelajaran ujian nasional, bahkan beberapa guru dibentuk menjadi tim sukses untuk menyongsong ujian nasional. Sungguh begitu sakral dan menakutkan eksistensi ujian nasional sehingga apapun dilakukan untuk dapat menyukseskan kegiatan tersebut.
Dan, sekarang tumbuh subur wacana bahwa ujian nasional tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya menentukan bagi kelulusan anak didik.Artinya ada faktor lain yang juga menentukan kelulusan anak didik, tidak seperti kelulusan tahun-tahun kemarin. Tahun -tahun kemarin, hasil pengumuman yang didapatkan dari ujian nasional langsung ditetapkan sebagaipenentu kelulusan sehingga yang terjadi adalah begitu hasil ujian didapatkan, maka guru-guru dikumpulkan untuk 'mengamini' hasil tersebut, tanpa memeprtimbangkan aspek lain yang terjadi selama proses pendidikan dan pembelajaran terjadi. Segala apa yang terjadi selama tiga tahun menjalani proses belajar tidak berpengaruh sama sekali terhadap kelulusan, bahkan anak yang sering tidak masuk, atau bahkan yang sama sekali tidak masuk dapat saja lulus, tetapi yang rajin dan pintar dan pandai juga dapat saja tidak lulus.
Semoga selanjutnya dengan wacana ini, maka selanjutnya guru dapat ikut berperan dalam menentukan kelulusan anak didiknya, hak prerogatif guru dalam menilai dan menggawangi nilai-nilai positif kehidupan dapat ditegakkan.Tentunya fenomena yang selama ini terjadi, yaitu sikap anak-anak dan pengelola sekolah yang lebih mengutamakan mata pelajaran ujian nasional akan berubah dan sadar bahwa semua mata pelajaran adalah penting!
Oleh karena itulah,sebenarnya dan seharusnya tidak ada beda antara ada ujian nasional ataupun tidak, sebab p[ada awalnya ujian nasional memang hanya sebagai alat untuk menganalisa dan mengetahui tingkat kualitas hasil proses pendidikan di setiap daerah di negeri ini. Hal ini mengingat bahwa di setiap daerah di negeri ini mendapatkan pelayanan pendidikan yang tidak sama. Oleh karena itulah, sebenarnya Ujian NAsional hanya cocok untuk dijadikans ebagai sarana untuk mengetahui tingkat kualitas hasil proses pendidikan di negeri ini dan selanjutnya dijadikan sebagai patokan untuk menentukan kesimpulan bahwa proses pendidikan dan berhasil ataukah tidak berhasil. begitu saja kan...
Apalagi jika mempelajari segala hal teknis yang harus diantisipasi agar tidak gagal dalam menghadapi ujian. Apalagi ketika mencuat kabar dan ketentuan bahwa ujian dimajukan sebulan ke depan. Wah... semakin tegang pikiran dan hati. Beberapa program terpaksa harus dimajukan dari jadwal yang sudah disusun rapi.bahkan, dengan terpaksa program baru harus bertabrakan dengan kalender pendidikan.
Beberapa sekolah memajukan jadwal pelajaran tambahan, efektifitas pembelajaran hingga maksimalitas pembelajaran pada mata pelajaran ujian nasional.beberapa pelajaran yang tidak diujinasionalkan terpaksa harus dimarginalkan, artinya dikurangi porsinya digantikan dengan pemampatan materi pelajaran ujian nasional, bahkan beberapa guru dibentuk menjadi tim sukses untuk menyongsong ujian nasional. Sungguh begitu sakral dan menakutkan eksistensi ujian nasional sehingga apapun dilakukan untuk dapat menyukseskan kegiatan tersebut.
Dan, sekarang tumbuh subur wacana bahwa ujian nasional tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya menentukan bagi kelulusan anak didik.Artinya ada faktor lain yang juga menentukan kelulusan anak didik, tidak seperti kelulusan tahun-tahun kemarin. Tahun -tahun kemarin, hasil pengumuman yang didapatkan dari ujian nasional langsung ditetapkan sebagaipenentu kelulusan sehingga yang terjadi adalah begitu hasil ujian didapatkan, maka guru-guru dikumpulkan untuk 'mengamini' hasil tersebut, tanpa memeprtimbangkan aspek lain yang terjadi selama proses pendidikan dan pembelajaran terjadi. Segala apa yang terjadi selama tiga tahun menjalani proses belajar tidak berpengaruh sama sekali terhadap kelulusan, bahkan anak yang sering tidak masuk, atau bahkan yang sama sekali tidak masuk dapat saja lulus, tetapi yang rajin dan pintar dan pandai juga dapat saja tidak lulus.
Semoga selanjutnya dengan wacana ini, maka selanjutnya guru dapat ikut berperan dalam menentukan kelulusan anak didiknya, hak prerogatif guru dalam menilai dan menggawangi nilai-nilai positif kehidupan dapat ditegakkan.Tentunya fenomena yang selama ini terjadi, yaitu sikap anak-anak dan pengelola sekolah yang lebih mengutamakan mata pelajaran ujian nasional akan berubah dan sadar bahwa semua mata pelajaran adalah penting!
Oleh karena itulah,sebenarnya dan seharusnya tidak ada beda antara ada ujian nasional ataupun tidak, sebab p[ada awalnya ujian nasional memang hanya sebagai alat untuk menganalisa dan mengetahui tingkat kualitas hasil proses pendidikan di setiap daerah di negeri ini. Hal ini mengingat bahwa di setiap daerah di negeri ini mendapatkan pelayanan pendidikan yang tidak sama. Oleh karena itulah, sebenarnya Ujian NAsional hanya cocok untuk dijadikans ebagai sarana untuk mengetahui tingkat kualitas hasil proses pendidikan di negeri ini dan selanjutnya dijadikan sebagai patokan untuk menentukan kesimpulan bahwa proses pendidikan dan berhasil ataukah tidak berhasil. begitu saja kan...
Selasa, 08 Desember 2009
Jika Anak Melakukan Pelanggaran Sekolah
Latar belakang
Diakui atau tidak, dalam dunia pendidikan formal, cukup banyak anak didik yang kehilangan semangat belajarnya. Mereka tidak bersemangat untuk menjalani tugas dan kewajibannya sebagai pelajar. Justru, mereka banyak yang meninggalkan ruang belajar untuk melakukan kegiatan lain, misalnya kongkow di taman sekolah atau di kantin sekolah. Walau seringkali diobrak, tetapi kegiatan tersebut tetap terjadi dan dilakukan. Bahkan tidak jarang mereka yang sengaja meninggalkan ruang belajar, tentunya dengan pamit pada guru untuk ke ‘belakang’. Tentu saja itu hanya alasan semata. Mereka tidak betul-betul ke ‘belakang’, melainkan hanya duduk-duduk di kantin atau di tempat lain yang tersembunyi dari pemantauan guru.
Jika kita selidiki, maka ada banyak alasan yang sesungguhnya membuat mereka bersikap seperti itu. Mereka memang melakukan hal tersebut secara sengaja sebab semangat belajar yang runtuh. Mereka kehilangan semangat belajar pada saat proses belajar sedang berlangsung, bahkan sebelum proses belajar berlangsung. Oleh karena itulah, maka mereka meninggalkan kelas belajarnya. Mereka merasa enggan untuk belajar dan pergi ke belakang adalah untuk mengalihkan pikiran dan kejenuhan yang dihadapi. Hal ini sebenarnya merupakan fenomena yang terjadi di hampir seluruh sekolah yang ada. Tidak hanya di sekolah swasta, melainkan terjadi juga di sekolah negeri, yang notabene sering dijadikan sebagai acuan atas kedisplinan belajar.
Kita memang tidak dapat memberikan cap kondisi ini kepada sekolah begitu saja. Sebagai sebuah fenomena, maka kita menyadari bahwa semua ini merupakan kejadian umum. Semua sekolah dapat saja mengalami hal seperti ini. Oleh karena itulah, maka kita harus mampu mengantisipasi agar sekolah kita tidak mengalami hal yang sama, setidaknya mengurangi kuantitas pelanggaran jenis tersebut. Hal ini karena kita menyadari bahwa sebenarnya ada banyak aspek yang menyebabkan anak didik bersikap seperti itu. Dan, semua itu bukan semata-mata kesalahan anak didik.
Semua bukan kesalahan anak didik
Selama ini yang terjadi setiap kali ada anak didik yang melakukan pelanggaran adalah mayoritas kesalahan ditimpahkan pada anak didik. vonis salah selalu jatuh ke anak didik sebagai pesakitan ataupun kambing hitam atas segala hal yang terjadi. Ini merupakan hal yang lazim dilakukan, bhakan oleh para orangtua saat menyadari bahwa anaknya melakukan pelanggaran kedisiplinan sekolah.
Kita memang harus mau mengakui bahwa sebenarnya, pada saat terjadi pelanggaran kedisiplinan oleh anak dididik, semua itu bukan secara otomatis menunjukkan bahwa anak didik melakukan suatu kesalahan. Tidak semua kejadian yang melibatkan anak didik merupakan akibat kesalahan anak didik. hal tersebut harus kita pahami betul sehingga kita dapat bertindak proporsional dan tidak salah langkah. Apa jadinya jika apa yang kita lakukan ternyata salah?
Anak didik adalah sosok manusia yang sedang mencari jati diri. Mereka sedang membangun sebuah gedung untuk kehidupan masa depannya. Mereka mengikuti proses belajar di sekolah adalah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Mereka adalah sosok pribadi sehingga pada saatnya mereka harus bertanggungjawab atas kehidupan pribadinya. Untuk hal tersebut, maka mereka harus mepunyia kemampuan. Oleh karena itulah, maka mereka harus bersekolah, menempuh pendidikan dan belajar banyak hal agar kehidupan di masa depan menjadi lebih baik dari yang selama ini mereka alami bersama keluarganya.
Sebagai pribadi yang sedang mencari jati diri, tentunya kondisi kejiwaan mereka masih labil. Artinya, mereka masih gampang mengalami perubahan sikap dan pola kehidupan. Bahkan karena kelabilannya, maka mereka gampang sekali terpengaruh oleh lingkungannya. Dan, umumnya pengaruh yang gampang sekali dicerna dan dimiliki adalah pengaruh negative. Oleh karena itulah, maka tidak salah jika setiap kali ada permasalahan yang terjadi dalam kehidupan anak didik, maka yang muncul adalah penghakiman terhadap anak didik.
Sungguh, hal ini merupakan satu sikap yang kurang proporsional. Dalam dunia hukum kita mengenal istilah praduga tidak bersalah sehingga anak didik juga berhak mndapatkan kondisi tersebut. Jika ada kejadian dan hal tersebut melibatkan anak didik, seharusnya anak didik tidak begitu saja mendapatkan perlakuan sebagai pesakitan. Anak didik seharusnya diperlakukan secara proporsional dan didasari oleh rasa kasih sayang serta langkah-langkah edukatif.
Semua kejadian bukan semata kesalahan anak didik. sikap dan pola pikir ini harus kita tanamkan dalam hati kita sebagai upaya positif thinking terhadap segala hal yang terjadi. Di samping itu, kita juga harus meyakini bahwa pada dasarnya anak didik adalah pribadi yang baik. Oleh karena itulah, mereka dikirim ke sekolah untuk meningkatkan nilai-nilai positif dalam dirinya pada tingkat perkembangan yang signifikan dengan kebutuhan hidupnya.
Persepsi positif terhadap setiap kondisi memungkinkan terciptanya satu interaksi positif diantara guru dan anak didik. Anak didik akan merasa sangat diperhatikan oleh guru dan selanjutnya guru akan mendapatkan sikap terbaik dari anak didik. Dengan demikian, maka anak didik dapat menjadi sosok-sosok yang penurut pada setiap ucapan yang kita tujukan untuk mereka. Begitulah, kita sebagai guru tidak seharusnya menjatuhkan vonis bersalah begitu saja kepada anak didik sebelum mengetahui secara pasti pokok permasalahannya. Kita harus meyakini bahwa tidak semua masalah merupakan kesalahan anak didik.
Beberapa hal penyebab anak didik melakukan pelanggaran.
Pada saat kita menghadapi anak didik yang bermasalah, maka seharusnya pada saat itu kita menganalisa segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kejadian tersebut. Guru harus secara arif melakukan analisa terhadap permasalahan dan tidak secara langsung membuat keputusan bahwa anak didik bersalah telah melakukan pelanggaran. Dan, selanjutnya pelanggaran tersebut Jika kita telaah disebabkan oleh banyak hal, misalnya pola pembelajaran yang kurang tepat, pendidik yang kurang memahami kondisi dan pola pendidikan, atau proses pendidikan dan pembelajaran yang menjemukan.
Proses pendidikan dan pembelajaran merupakan proses panjang yang dilakukan secara sistematis. Proses secara sistematis ini seringkali menghadirkan situasi yang berbeda pada para pelaku kegiatan. Dengan pola yang tersistematis tersebut, maka ada satu kondisi yang harus dilakukan dan tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan oleh para pelakunya jika ingin mencapai keberhasilan. Di dalam proses pendidikan dan pembelajaran, anak didik memang harus mengikuti proses yang sudah tersistem dan berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan dalam sebuah interaksi edukatif dengan seorang guru sebagai fasilitatornya.
Sebagai kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan, tentunya dapat menyebabkan situasi negative di hati anak didik. situasi yang terus menerus terjadi secara berkesinambungan, apalagi monoton, tentunya menyebabkan pesertanya disergap kejenuhan. Mereka dapat kehilangan sense untuk mengikuti proses belajar dan menumbuhkan kebosanan dan keengganan untuk mengikuti proses yang dilakukan atas dirinya. Kehilangan sense inilah yang selanjutnya ditengarai menjadi salah satu penyebab anak didik melakukan pelanggaran kedisiplinan di sekolah. Anak didik kehilangan rasa terhadap proses yang seharusnya mereka jalani secara maksimal.
Sense terhadap proses belajar menjadi sangat penting sebab dengan sense tersebut, maka anak didik merasakan bahwa proses belajar begitu menarik dan harus diikuti. Tetapi, ketika sense tersebut hilang, maka yang tertinggal hanyalah sebuah proses yang sangat menjemukan dan memancing mereka untuk melakukan sesuatu diluar pakemnya sebagai pelajar. Mereka merasa enggan mengikuti proses belajar dan justru lebih suka dan enjoy saat meninggalkan proses belajar tersebut. Jika anak didik lebih suka meninggalkan proses pendidikan, maka sebenarnya pada saat tersebut proses belajar dalam posisi diujung tanduk.
Oleh karena itulah, maka seorang guru harus memahami eksistensi sense belajar ini sehingga terus terjaga kualitas dan seangat belajar anak didik. guru hartus dapat menjaga agar sense belajar yang dimiliki anak didik tetap berkobar. Guru harus dapat melakukan hal tersebut agar proses belajar yang dibimbingnya dapat berjalan lancar. Hal ini karena jika sense belajar anak didik bagus, maka tingkat kualitas konsentrasi dan keterlibatan anak dalam proses pendidikan dan pembelajaran dapat maksimal. Tentunya jika kondisi seperti ini, maka tingkat keberhasilan proses sangat tinggi.
Terkait dengan berbagai pelanggaran yang sering kita jumpai di sekolah-sekolah, maka dapat kita jelaskan satu persatu agar dapat kita hadapi setiap masalah secara proporsional. Hal ini sangat penting agar kita tidak lagi menjadi hakim yang begitu saja memvonis anakdidik hanya karena telah melakukan satu pelanggaran disiplin sekolah, tanpa mau mengorek latar belakang anak didik melakukan hal tersebut.
a. Pola pembelajaran yang kurang tepat
Bahwa proses pembelajaran dilaksanakan mengikuti pola-pola tertentu sehingga memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pola-pola ini merupakan langkah taktis yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan ketertarikan anak didik terhadap materi pelajaran. Proses pembelajaran memberikan kesempatan bagi anak didik untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk bekal kehidupannya. Pengetahuan dan keterampilan inilah yang diharapkan dapat memposisikan anak didik secara proporsional di masyarakat.
Dan, setiap materi pelajaran mempunyai cirri khas di dalam proses transferring ke anak didik. Setiap materi membutuhkan cara-cara yang berbeda pada saat menyampaikan kepada anak didik. Kita tidak dapat menerapkan cara secara sembarangan sebab hal tersebut justru dapat menjadi penghalang tersampaikannya materi pelajaran ke anak didik. Seharusnya, setiap materi tersampaikan kepada anak didik secara baik, jelas dan mudah diterima oleh anak didik. Bahkan, didalam satu mata pelajaran, setiap materinya disampaikan dengan cara yang berbeda agar dapat diterima anak didik secara maksimal. Misalnya, ada materi yang dapat disampaikan dengan cara ceramah, tetapi materi yang lain menuntut kegiatan berupa praktek. Tentunya, jika kedua materi ini disampaikan dengan cara yang sama, maka hasilnya tidak dapat maksimal.
Tentunya, jika proses pembelajaran yang diterapkan tidak tepat, maka hal tersebut berdampak pada hilangnya semangat anak didik untuk mengikuti proses tersebut. Anak didik merasa sulit saat harus beradaptasi dengan proses pembelajaran yang diikutinya. Mereka tidak dapat mengikuti, apalagi dituntut untuk memahami setiap aspek yang diajarkan oleh guru. Akibatnya, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Akhirnya, mereka menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan diluar proses pembelajaran. mereka kehilangan konsentrasi dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing atau berkelompok.
Jika kondisi ini tidak disadari oleh guru, maka anak menjadi semakin jauh dari kegiatan belajar dan tenggelam dalam kegiatan yang diciptakannya sendiri. Ada anak didik yang tenggelam dalam pikirannya sendiri sehingga tidak memperhatikan semua penjelasan guru. Ada juga anak didik yang sibuk bergurau dengan teman-temannya sehingga suasana kelas menjadi ramai dan rebut. Dan, yang lebih tragis lagi adalah anak-anak yang tidak betah berada di dalam ruangan kelas, mereka akhirnya pamitan ke belakang pada sang guru.
Anak-anak memang pamitan ke belakang, artinya mereka mau kekamar kecil untuk buang hajat kecil ataupun hajat besar. Tetapi, jika kita telusuri yang mereka lakukan di belakang, kita pasti mengurut dada sebab mereka ternyata kongkow di kantin atau taman sekolah. Mereka memang sengaja neinggalkan ruang kelas untuk menghindari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Mereka merasa tersiksa dengan pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Mereka merasa bahwa guru tidak dapat melaksanakan proses pembelajaran sebab proses tersebut ternyata justru membuat mereka bingung dan sulit menerimanya.
Oleh karena itulah, maka pada saat melaksanakan proses pembelajaran, guru harus mampu menentukan pola pembelajaran yang diterapkan untuk anak didiknya, disesuaikan dengan tipe materi pelajaran yang saat itu harus diberikan kepada anak didik. guru harus dapat memilah dan memilih pola belajar yang sesuai dengan materi pelajarannya. Jika tidak, maka hal tersebut menyebabkan anak didik melakukan pelanggaran kedisiplinan yang sebenarnya dipicu oleh pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Lantas jika hal seperti ini terjadi, siapa yang patut disalahkan? Salahkah anak didik jika mengalami kejemuan saat belajar dan mencari solusi dengan bermain atau berbincang dengan temannya atau pergi ke kantin sekolah?
b. Pendidik yang kurang memahami kondisi dan pola pendidikan
Di dalam proses pembelajaran, posisi guru sebagai fasilitator memungkinkan guru memberikan pelayanan dan bimbingan serta pendampingan anak didik saat mengikuti proses pembelajaran. Dengan pelayanan guru, maka anak didik dapat memeproleh aspek pendidikan dan pembelajaran yang diharapkannya. Dalam konteks ini, guru menjadi sosok yang selalu siap memberikan bantuan kepada anak didik pada saat mengalami kesulitan. Dalam hal ini, kita berasumsi bahwa anak didik masih dalam tahap mengembangkan diri sehingga seringkali menghadapi kesulitan dan berhak mendapatkan bantuan edukasi.
Guru memang bertugas melayani masyarakat, anak didik dalam upaya peningkatan kualitas diri. Guru melayani anak didik dalam hal melakukan perubahan kemampuan yang dimilikinya. Kita menyadari bahwa pada awalnya anak didik adalah sosok yang belum dapat melakukan sesuatu atau belum mempunyai sesuatu dan ingin mendapatkannya dari proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itulah, guru bertugas membantu melayani anak didik agar mereka dapat menggapai keinginan tersebut. Memang, untuk dapat memiliki suatu kemampuan dapat dilakukan secara autodidak, tetapi eksistensi guru tetap menjadi acuan untuk dapat mencapai kesuksesan tersebut.
Terkait dengan tugas dan kewajiban tersebut, maka hal penting yang harus dimiliki oleh guru adalah pemahaman atas segala kondisi yang terjadi di lingkungannya. Guru harus memahami kondisi kelasnya, kondisi anak didiknya dan berbagai kondisi lain yang terkait dengan peningkatan kualitas dirinya. Hal ini karena kondisi lingkungan mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap proses pengembangan dan peningkatan kualitas diri tersebut. Tidak heran jika pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran guru dituntut untuk dapat memahami kondisi dan pola pendidikan terkait dengan kondisi tersebut.
Bahwa kondisi seseorang ataupun lingkungan pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran ikut menentukan keberhasilan proses, merupakan sesuatu yang sudah kita pahami. Jika kondisi tidak mendukung, maka proses pendidikan dan pembelajaran tidak dapat terlaksana sebaik-baiknya. Walau kita menyadari bahwa proses belajar dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja, tetapi pemahaman terhadap kondisi pada saat proses berlangsung merupakan hal penting bagi semua guru. Jika tidak, maka anak didik sangat mungkin melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kriteria hasil proses pendidikan dan pembelajaran yang kita lakukan.
Pelanggaran anak terhadap kedisiplinan yang diterapkan di sekolah sebenarnya merupakan satu kondisi yang tercipta sebagai dampak. Sesungguhnya tidak ada anak yang ingin melanggar aturan kedisiplinan yang sudah diterapkan, apalagi aturan tersebut sudah disosialisasikan secara luas di seluruh civitas akademika. Ketika mengetahui tata aturan yang diberlakukan, biasanya setiap sekolah menerbitkan buku yang berisi tata tertib, tata aturan yang harus diterapkan dalam pola interaksi, maka sejak itulah mereka sudah bertekad untuk mengikuti dan mematuhi semua aturan itu. Masalahnya, kenapa tetap saja ada, banyak anak didik yang melanggar kedisiplinan sekolah?
Dalam hal ini, kita memang harus melihat masalah secara prporsional. Kita harus membuang jauh-jauh subyektivitas kita dan mengedepankan obyektivitas agar hasil penilaian proporsional. Jika kita masih menyertakan subyektivitas dikawatirkan apa yang kita lakukan masih penuh dengan tendensi pribadi atau tuntutan yang bersifat pribadi. Melihat masalah secara proporsional berarti kita harus melakukan segala hal sesuai dengan haknya dan tidak menyertakan keperluan pribadi di dalamnya. Begitu juga pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran.
Pemahaman guru terhadap kondisi dan pola pendidikan ditengarai menjadi salah satu aspek yang dapat meningkatkan keberhasilan proses. Hal ini juga dapat mengikat anak didik untuk tetap berada di tempat, ruang kelas pada saat proses dilaksanakan. Guru yang tanggap terhadap kondisi lingkungan memungkinkan untuk tetap mengkondisikan anak-anak pada situasi belajar dan mengarahkan anak-anak yang menimpang pada proses belajar.
Pemahaman guru terhadap kondisi dan pola pendidikan merupakan wujud dari kemampuan respon, kemampuan menanggapi guru terhadap kondisi lingkungan belajar. Semakin bagus kemampuan respon guru, tentunya kondisi pembelajaran semakin bagus juga. Guru segera mengetahui setiap kejadian atau indikasi akan terjadinya sesuatu di dalam ruang pembelajarannya. Dengan kemampuan ini, maka guru dapat melakukan langkah-langkah preventif terhadap kondisi yang dapat mengancam proses.
Kemampuan guru untuk merespon atau mengantisipasi kondisi seperti ini memungkinkan bagi guru untuk mencegah terjadinya hal-hal negative dalam interaksi personal. Guru dapat segera menyelesaikan permasalahan sebelum masalah itu sendiri muncul ke permukaan. Dengan demikian, maka kondisi pembelajaran yang diampuhnya tetap terjaga dan terkontrol sepanjang waktu serta mampu mengarahkan anak didik ada jalur yang seharusnya mereka lalui. Eksistensi dan kemampuan guru menjadi kendaraan yang bakal membawa anak didik dalam kondisi yang kondusif untuk belajar dan menghindarkan anak didik melakukan hal-hal yang menyimpang dari seharusnya.
Seharusnya, pelanggaran kedisiplinan yang dilakukan oleh anak didik dapat dicegah oleh para guru. Mereka seharusnya sudah mengetahui adanya indikasi pelanggaran jauh sebelum pelanggaran terjadi sehingga tidak menimbulkan kesulitan. Tentunya dengan demikian, kondisi interaksi terjaga bahkan dapat dikembangkan sebagai proses pembelajaran inovatif dengan peran aktif anak didik. pola pendidikan dan pembelajaran seperti ini sudah saatnya diterapkan sebagai upaya peningkatan kualitas hasil pembelajaran. Oleh karena itulah, guru harus mempunyai pemahaman terhadap kondisi lingkungannya. Guru tidak boleh acuh apalagi tidak respon pada lingkungannya.
c. Proses pendidikan dan pembelajaran yang menjemukan
Kegiatan pembelajaran menuntut tersedianya kondisi yang kondusif. Kondisi kondusif yang kita maksudkan dalam hal ini adalah kondisi yang benar-benar mampu menumbuh kembangkan kesadaran anak didik dalam mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran. Bahwa setiap peserta didik harus terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sebab mereka yang seharusnya melakukan proses belajar. Anak didik mengikuti proses pembelajaran sebab ingin melakukan perubahan atas kompetensi yang ada pada dirinya. Oleh karena itulah, maka mereka harus menyadari tugas dan kewajibannya dalam proses pembelajaran.
Sementara untuk kelancaran proses pembelajaran, maka ada seseorang yang bertugas untuk memfasilitasi dan membimbing serta mendampingi agar proses berlangsung maksimal. Dengan fasilitasi, bimbingan dan pendampingan ini, maka apa yang seharusnya dipelajari anak didik akan dimiliki secara maksimal. Anak didik tidak melakukan pembelajaran secara acak melainkan sudah disistematis. Hal ini sangat penting sehingga pengalaman anak didik sesuai dengan tingkatannya.
Dalam hal pendampingan dan pembimbingan, anak didik berharap mendapatkan sosok yang benar-benar mampu memberikan segala yang diharapkannya. Anak didik berharap agar guru pembimbingnya benar-benar sosok yang mengerti kebutuhan anak didiknya. Guru haruslah sosok yang mempunyai kemampuan untuk membimbing, memfasilitasi dan mendampingi anak didik pada saat proses pembelajaran. Oleh karena itulah, maka guru harus mempunyai kemampuan untuk mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran.
Guru yang mampu mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran secara baik adalah guru yang mampu menciptakan kondis terbaik bagi proses pembelajarannya. Guru harus menerapkan konsep PAIKEM agar proses pembelajarannya menjadi sesuatu yang berarti bagi anak didik. Penerapan konsep ini sangat berarti agar tidak meumbuhkan kejemuan di hati anak didik. Selama ini yang terjadi adalah kebosanan anak didik terhadap situasi pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru. Anak didik menganggap bahwa proses pembelajaran yang dilaksanakan guru begitu menjemukan sehingga mengurangi atensi mereka pada kegiatan belajar. Dan, secara keseluruhan, anak didik beranggapapan bahwa proses pendidikan menjadi sebuah penjara bagi kehidupannya.
Kita perlu mengakui bhawa pada saat sekarang, sekolah dan proses belajar telah dianggap sebagai penjara bagi anak didik. Mereka merasa bahwa proses pembelajaran telah membatasi aktivitasnya. Anak merasa terkungkung di dalam ruang ukuran enam puluh tiga meter persegi, tujuh meter kali sembilan meter. Selama empat jam atau 4 kali empat puluh lima menit mereka harus berada di ruangan kelas dan mendengarkan atau menyaksikan segala hal yang dilakukan oleh guru. Alasan klasik yang mereka dapatkan adalah untuk kepentingan amsa depan. Bahwa mereka mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran adalah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Dan, hal tersebut harus mereka lakukan sejak sekolah dasar hingga sekolah lanjutan. Mereka harus mengikuti berbagai tata aturan yang kadangkala sangat bertentangan dengan keinginannya, bahkan kebutuhannya. Anak didik dikondisikan agar melakukan sesuatu tidak sesuai dengan konsep hdupnya, tanpa dapat melawan atau memberontak untuk melepaskan diri.
Jika kemudian mereka memberontak, maka pada saat itu dianggap sebagai pelanggaran kedisiplinan. Tentunya, anak didik tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka telah dikondisikan untuk mengikuti segala aturan yang dusah disusun. Mereka juga harus mengikuti berbagai kegiatan yang diprogramkan untuk proses belajar, mereka tidak dapat menolak atau dianggap telah melanggar kedisiplinan. Tentunya kondisi ini menciptakan persepsi negative di hati anak didik. Apalagi jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam kondisi yang tidak menarik, tidak memikat hati. Anak didik gampang mengalami kejenuhan dan akhirnya jemu dengan proses belajar, yang akhirnya membuat mereka ingin keluar kelas.
Guru yang tidak kreatif pada umumnya melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional. Mereka mempertahankan pola pembelajaran tersebut dengan asumsi bahwa pola tersebut telah terbukti efektif dalam upaya peningkatan kompetensi anak didik. Sementara kita menyadari bahwa kondisi setiap tahun mengalami perubahan. Pola pemikrian anak didik terus mengalami perubahan, bahkan apresiasi terhadap proses pembelajaran-pun mengalami perubahan. Anak didik jaman sekarang mempunyai penilaian berbeda terhadap proses pembelajaran.
Anak didik jaman sekarang adalah generasi instan, artinya mereka ingin segala hal yang diikutinya sudah siap dan memang terposisikan untuk mereka. Mereka ingin proses pembelajaran sudah dalam bentuk jadi, tidak menuntut mereka terlalu banyak menerima. Mereka sangat perlu berpikir dan juga menganalisa materi pelajaran. Tentu saja hal ini dalam konsep pendidikan dan pembelajaran merupakan tujuan proses belajar, tetapi kenyataan yang ada di lapangan seperti itu. Anak didik tidak siap belajar tetapi siap digerojok dengan pengetahuan dan keterampilan. Setidaknya, mereka berharap mengikuti proses pembelajaran yang menuntut secara aktif peran serta mereka dan tidak memposisikan mereka sebagai obyek semata.
Oleh karena itulah, tidak aneh jika guru menguasai kelas, maka anak didik merasa sebagai sosok yang tidak aktif. Mereka menjadi sosok pendengar atau penyalin materi yang dicatatkan oleh guru di papan tulis atau didiktekan di lembaran kertas tulis. Dalam konteks kita sekarang ini, penguasaan guru di dalam pengelolaan kelas bukanlah diartikan sebagai penguasaan tunggal atas kelas tersebut. Konteks ini memberikan informasi pada kita bahwa penguasaan guru dalam pengelolaan kelas adalah pada bagaimana guru mengorganisir kelasnya sehingga anak didik yang aktif melaksanakan proses pembelajaran, guru hanyalah fasilitator dalam proses tersebut. Guru bukan penguasa tunggal dalam kelas belajar, justru guru adalah pelayan bagi anak didik agar proses belajarnya dapat maksimal.
Anak didik harus berperan dalam proses pembelajaran sehingga mereka menyadari bahwa proses tersebut adalah tugas dan kewajiban. Dengan demikian, maka mereka terbebaskan dari kondisi jemu sebab harus ikut terlibat aktif dalam proses belajar, bukan sekedar memperhatikan atau mendengarkan segala penjelasan guru. Justru pada saat-saat tertentu, mereka harus menjelaskan kepada teman-temannya tentang materi pelajaran yang sedang mereka pelajari bersama. Berarti, tidak ada waktu bagi mereka untuk bersikap seenaknya atau mengabaikan proses pembelajaran. Artinya, anak didik dapat berperan sebagai pembimbing temannya sebagai asisten guru dalam proses pembelajaran.
Memang, jika anak melakukan pelanggaran disiplin sekolah, kita tidak dapat langsung menjatuhkan vonis kesalahan kepada anak didik. Kita perlu menganalisa dan mengambil kesimpulan atas analisa tersebut. Kita harus mengembalikan pokok permasalahan pada setiap aspek penting dalam proses pembelajaran. Pelanggaran disiplin anak didik pada kenyataannya bukan semata-mata karena kesalahan anak didik. Ada banyak hal yang dapat menjadi penyebab anak didik melakukan kesalahan, yang selanjutnya kita katakan sebagai pelanggaran disiplin sekolah.
Untuk itulah, maka seharusnya kita segera melakukan langkah evaluasi ataupun introspeksi atas segala yang kita lakukan pada saat melakukan proses pembelajaran. Kita harus mengevaluasi pola pembelajaran yang kita terapkan dalam proses dan segera melakukan langkah antisipasif ataupun rehabilitasi dan kuratif jika ternyata ada langkah yang tidak signifikan terhadap proses belajar anak didik. Guru harus menyadari bahwa di dalam proses belajar, yang melakukan proses adalah anak didik sehingga guru perlu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk melakukan proses pembelajaran dibawah pembimbingannya.
Oleh karena itu, jika kita mendapati anak didik melakukan pelanggaran disiplin sekolah, kita setidaknya menerapkan konsep praduga tak bersalah kepada anak didik. Kita harus yakin bahwa jika anak didik melanggar disiplin sekolah bukan berarti anak didik melakukan suatu kesalahan. Sebab pelanggaran yang dilakukan oleh anak diidk tersebut dapat saja merupakan satu bentuk protes terhadap kondisi yang dihadapi saat belajar. Anak diidk merasa tidak nyaman dengan kondisi pembelajaran yang dijalaninya, maka mereka berharap ada perubahan dengan melakukan hal-hal yang melawan kenyamanan guru. Dan, guru seharusnya segera tanggap terhadap setiap perubahan sikap anak didik pada saat mengikuti proses pembelajaran dan selanjutnya dapat memikat atensi belajar.
Pemahaman atas kondisi, kebutuhan dan pola pembelajaran yang sesuai dengan tingkatan apresiasi dan persepsi anak didik atas materi pelajaran sangat mendukung atensi anak didik. Guru harus mempunyai kemampuan tersebut jika menginginkan anak didiknya tetap bertahan tinggal di dalam kelas pembelajarannya. Jika tidak, maka sampai kapanpun anak didik tetap berlaku seperti itu karena mereka merasa kecewa dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tetapi guru tidak memahaminya sehingga tidak dapat segera melakukan langkah konkrit penyelesaiannya. Bagi anak didik, sikap guru yang tidak merespon sikap mereka merupakan satu sikap negative dan harus dihilangkan dari seorang guru. Guru harus responsib terhadap setiap kondisi di kelasnya atau anak didiknya. Guru tidak hanya menyampaikan materi pelajaran melainkan membimbing dan memfasilitasi anak didik untuk belajar lebih baik.
Jika kita ingin mencegah anak didik dari tindakan pelanggaran kedisiplinan sekolah, maka guru harus responsib dan segera melakukan langkah-langkah antisipasi atas kondisi negative yang dapat tercipta dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya. Hal ini karena anak didik sangat mungkin terpengaruh hal-hal negative dalam kehidupan dan guru bertugas membimbing anak didik.
Diakui atau tidak, dalam dunia pendidikan formal, cukup banyak anak didik yang kehilangan semangat belajarnya. Mereka tidak bersemangat untuk menjalani tugas dan kewajibannya sebagai pelajar. Justru, mereka banyak yang meninggalkan ruang belajar untuk melakukan kegiatan lain, misalnya kongkow di taman sekolah atau di kantin sekolah. Walau seringkali diobrak, tetapi kegiatan tersebut tetap terjadi dan dilakukan. Bahkan tidak jarang mereka yang sengaja meninggalkan ruang belajar, tentunya dengan pamit pada guru untuk ke ‘belakang’. Tentu saja itu hanya alasan semata. Mereka tidak betul-betul ke ‘belakang’, melainkan hanya duduk-duduk di kantin atau di tempat lain yang tersembunyi dari pemantauan guru.
Jika kita selidiki, maka ada banyak alasan yang sesungguhnya membuat mereka bersikap seperti itu. Mereka memang melakukan hal tersebut secara sengaja sebab semangat belajar yang runtuh. Mereka kehilangan semangat belajar pada saat proses belajar sedang berlangsung, bahkan sebelum proses belajar berlangsung. Oleh karena itulah, maka mereka meninggalkan kelas belajarnya. Mereka merasa enggan untuk belajar dan pergi ke belakang adalah untuk mengalihkan pikiran dan kejenuhan yang dihadapi. Hal ini sebenarnya merupakan fenomena yang terjadi di hampir seluruh sekolah yang ada. Tidak hanya di sekolah swasta, melainkan terjadi juga di sekolah negeri, yang notabene sering dijadikan sebagai acuan atas kedisplinan belajar.
Kita memang tidak dapat memberikan cap kondisi ini kepada sekolah begitu saja. Sebagai sebuah fenomena, maka kita menyadari bahwa semua ini merupakan kejadian umum. Semua sekolah dapat saja mengalami hal seperti ini. Oleh karena itulah, maka kita harus mampu mengantisipasi agar sekolah kita tidak mengalami hal yang sama, setidaknya mengurangi kuantitas pelanggaran jenis tersebut. Hal ini karena kita menyadari bahwa sebenarnya ada banyak aspek yang menyebabkan anak didik bersikap seperti itu. Dan, semua itu bukan semata-mata kesalahan anak didik.
Semua bukan kesalahan anak didik
Selama ini yang terjadi setiap kali ada anak didik yang melakukan pelanggaran adalah mayoritas kesalahan ditimpahkan pada anak didik. vonis salah selalu jatuh ke anak didik sebagai pesakitan ataupun kambing hitam atas segala hal yang terjadi. Ini merupakan hal yang lazim dilakukan, bhakan oleh para orangtua saat menyadari bahwa anaknya melakukan pelanggaran kedisiplinan sekolah.
Kita memang harus mau mengakui bahwa sebenarnya, pada saat terjadi pelanggaran kedisiplinan oleh anak dididik, semua itu bukan secara otomatis menunjukkan bahwa anak didik melakukan suatu kesalahan. Tidak semua kejadian yang melibatkan anak didik merupakan akibat kesalahan anak didik. hal tersebut harus kita pahami betul sehingga kita dapat bertindak proporsional dan tidak salah langkah. Apa jadinya jika apa yang kita lakukan ternyata salah?
Anak didik adalah sosok manusia yang sedang mencari jati diri. Mereka sedang membangun sebuah gedung untuk kehidupan masa depannya. Mereka mengikuti proses belajar di sekolah adalah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Mereka adalah sosok pribadi sehingga pada saatnya mereka harus bertanggungjawab atas kehidupan pribadinya. Untuk hal tersebut, maka mereka harus mepunyia kemampuan. Oleh karena itulah, maka mereka harus bersekolah, menempuh pendidikan dan belajar banyak hal agar kehidupan di masa depan menjadi lebih baik dari yang selama ini mereka alami bersama keluarganya.
Sebagai pribadi yang sedang mencari jati diri, tentunya kondisi kejiwaan mereka masih labil. Artinya, mereka masih gampang mengalami perubahan sikap dan pola kehidupan. Bahkan karena kelabilannya, maka mereka gampang sekali terpengaruh oleh lingkungannya. Dan, umumnya pengaruh yang gampang sekali dicerna dan dimiliki adalah pengaruh negative. Oleh karena itulah, maka tidak salah jika setiap kali ada permasalahan yang terjadi dalam kehidupan anak didik, maka yang muncul adalah penghakiman terhadap anak didik.
Sungguh, hal ini merupakan satu sikap yang kurang proporsional. Dalam dunia hukum kita mengenal istilah praduga tidak bersalah sehingga anak didik juga berhak mndapatkan kondisi tersebut. Jika ada kejadian dan hal tersebut melibatkan anak didik, seharusnya anak didik tidak begitu saja mendapatkan perlakuan sebagai pesakitan. Anak didik seharusnya diperlakukan secara proporsional dan didasari oleh rasa kasih sayang serta langkah-langkah edukatif.
Semua kejadian bukan semata kesalahan anak didik. sikap dan pola pikir ini harus kita tanamkan dalam hati kita sebagai upaya positif thinking terhadap segala hal yang terjadi. Di samping itu, kita juga harus meyakini bahwa pada dasarnya anak didik adalah pribadi yang baik. Oleh karena itulah, mereka dikirim ke sekolah untuk meningkatkan nilai-nilai positif dalam dirinya pada tingkat perkembangan yang signifikan dengan kebutuhan hidupnya.
Persepsi positif terhadap setiap kondisi memungkinkan terciptanya satu interaksi positif diantara guru dan anak didik. Anak didik akan merasa sangat diperhatikan oleh guru dan selanjutnya guru akan mendapatkan sikap terbaik dari anak didik. Dengan demikian, maka anak didik dapat menjadi sosok-sosok yang penurut pada setiap ucapan yang kita tujukan untuk mereka. Begitulah, kita sebagai guru tidak seharusnya menjatuhkan vonis bersalah begitu saja kepada anak didik sebelum mengetahui secara pasti pokok permasalahannya. Kita harus meyakini bahwa tidak semua masalah merupakan kesalahan anak didik.
Beberapa hal penyebab anak didik melakukan pelanggaran.
Pada saat kita menghadapi anak didik yang bermasalah, maka seharusnya pada saat itu kita menganalisa segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kejadian tersebut. Guru harus secara arif melakukan analisa terhadap permasalahan dan tidak secara langsung membuat keputusan bahwa anak didik bersalah telah melakukan pelanggaran. Dan, selanjutnya pelanggaran tersebut Jika kita telaah disebabkan oleh banyak hal, misalnya pola pembelajaran yang kurang tepat, pendidik yang kurang memahami kondisi dan pola pendidikan, atau proses pendidikan dan pembelajaran yang menjemukan.
Proses pendidikan dan pembelajaran merupakan proses panjang yang dilakukan secara sistematis. Proses secara sistematis ini seringkali menghadirkan situasi yang berbeda pada para pelaku kegiatan. Dengan pola yang tersistematis tersebut, maka ada satu kondisi yang harus dilakukan dan tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan oleh para pelakunya jika ingin mencapai keberhasilan. Di dalam proses pendidikan dan pembelajaran, anak didik memang harus mengikuti proses yang sudah tersistem dan berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan dalam sebuah interaksi edukatif dengan seorang guru sebagai fasilitatornya.
Sebagai kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan, tentunya dapat menyebabkan situasi negative di hati anak didik. situasi yang terus menerus terjadi secara berkesinambungan, apalagi monoton, tentunya menyebabkan pesertanya disergap kejenuhan. Mereka dapat kehilangan sense untuk mengikuti proses belajar dan menumbuhkan kebosanan dan keengganan untuk mengikuti proses yang dilakukan atas dirinya. Kehilangan sense inilah yang selanjutnya ditengarai menjadi salah satu penyebab anak didik melakukan pelanggaran kedisiplinan di sekolah. Anak didik kehilangan rasa terhadap proses yang seharusnya mereka jalani secara maksimal.
Sense terhadap proses belajar menjadi sangat penting sebab dengan sense tersebut, maka anak didik merasakan bahwa proses belajar begitu menarik dan harus diikuti. Tetapi, ketika sense tersebut hilang, maka yang tertinggal hanyalah sebuah proses yang sangat menjemukan dan memancing mereka untuk melakukan sesuatu diluar pakemnya sebagai pelajar. Mereka merasa enggan mengikuti proses belajar dan justru lebih suka dan enjoy saat meninggalkan proses belajar tersebut. Jika anak didik lebih suka meninggalkan proses pendidikan, maka sebenarnya pada saat tersebut proses belajar dalam posisi diujung tanduk.
Oleh karena itulah, maka seorang guru harus memahami eksistensi sense belajar ini sehingga terus terjaga kualitas dan seangat belajar anak didik. guru hartus dapat menjaga agar sense belajar yang dimiliki anak didik tetap berkobar. Guru harus dapat melakukan hal tersebut agar proses belajar yang dibimbingnya dapat berjalan lancar. Hal ini karena jika sense belajar anak didik bagus, maka tingkat kualitas konsentrasi dan keterlibatan anak dalam proses pendidikan dan pembelajaran dapat maksimal. Tentunya jika kondisi seperti ini, maka tingkat keberhasilan proses sangat tinggi.
Terkait dengan berbagai pelanggaran yang sering kita jumpai di sekolah-sekolah, maka dapat kita jelaskan satu persatu agar dapat kita hadapi setiap masalah secara proporsional. Hal ini sangat penting agar kita tidak lagi menjadi hakim yang begitu saja memvonis anakdidik hanya karena telah melakukan satu pelanggaran disiplin sekolah, tanpa mau mengorek latar belakang anak didik melakukan hal tersebut.
a. Pola pembelajaran yang kurang tepat
Bahwa proses pembelajaran dilaksanakan mengikuti pola-pola tertentu sehingga memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pola-pola ini merupakan langkah taktis yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan ketertarikan anak didik terhadap materi pelajaran. Proses pembelajaran memberikan kesempatan bagi anak didik untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk bekal kehidupannya. Pengetahuan dan keterampilan inilah yang diharapkan dapat memposisikan anak didik secara proporsional di masyarakat.
Dan, setiap materi pelajaran mempunyai cirri khas di dalam proses transferring ke anak didik. Setiap materi membutuhkan cara-cara yang berbeda pada saat menyampaikan kepada anak didik. Kita tidak dapat menerapkan cara secara sembarangan sebab hal tersebut justru dapat menjadi penghalang tersampaikannya materi pelajaran ke anak didik. Seharusnya, setiap materi tersampaikan kepada anak didik secara baik, jelas dan mudah diterima oleh anak didik. Bahkan, didalam satu mata pelajaran, setiap materinya disampaikan dengan cara yang berbeda agar dapat diterima anak didik secara maksimal. Misalnya, ada materi yang dapat disampaikan dengan cara ceramah, tetapi materi yang lain menuntut kegiatan berupa praktek. Tentunya, jika kedua materi ini disampaikan dengan cara yang sama, maka hasilnya tidak dapat maksimal.
Tentunya, jika proses pembelajaran yang diterapkan tidak tepat, maka hal tersebut berdampak pada hilangnya semangat anak didik untuk mengikuti proses tersebut. Anak didik merasa sulit saat harus beradaptasi dengan proses pembelajaran yang diikutinya. Mereka tidak dapat mengikuti, apalagi dituntut untuk memahami setiap aspek yang diajarkan oleh guru. Akibatnya, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Akhirnya, mereka menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan diluar proses pembelajaran. mereka kehilangan konsentrasi dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing atau berkelompok.
Jika kondisi ini tidak disadari oleh guru, maka anak menjadi semakin jauh dari kegiatan belajar dan tenggelam dalam kegiatan yang diciptakannya sendiri. Ada anak didik yang tenggelam dalam pikirannya sendiri sehingga tidak memperhatikan semua penjelasan guru. Ada juga anak didik yang sibuk bergurau dengan teman-temannya sehingga suasana kelas menjadi ramai dan rebut. Dan, yang lebih tragis lagi adalah anak-anak yang tidak betah berada di dalam ruangan kelas, mereka akhirnya pamitan ke belakang pada sang guru.
Anak-anak memang pamitan ke belakang, artinya mereka mau kekamar kecil untuk buang hajat kecil ataupun hajat besar. Tetapi, jika kita telusuri yang mereka lakukan di belakang, kita pasti mengurut dada sebab mereka ternyata kongkow di kantin atau taman sekolah. Mereka memang sengaja neinggalkan ruang kelas untuk menghindari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Mereka merasa tersiksa dengan pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Mereka merasa bahwa guru tidak dapat melaksanakan proses pembelajaran sebab proses tersebut ternyata justru membuat mereka bingung dan sulit menerimanya.
Oleh karena itulah, maka pada saat melaksanakan proses pembelajaran, guru harus mampu menentukan pola pembelajaran yang diterapkan untuk anak didiknya, disesuaikan dengan tipe materi pelajaran yang saat itu harus diberikan kepada anak didik. guru harus dapat memilah dan memilih pola belajar yang sesuai dengan materi pelajarannya. Jika tidak, maka hal tersebut menyebabkan anak didik melakukan pelanggaran kedisiplinan yang sebenarnya dipicu oleh pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Lantas jika hal seperti ini terjadi, siapa yang patut disalahkan? Salahkah anak didik jika mengalami kejemuan saat belajar dan mencari solusi dengan bermain atau berbincang dengan temannya atau pergi ke kantin sekolah?
b. Pendidik yang kurang memahami kondisi dan pola pendidikan
Di dalam proses pembelajaran, posisi guru sebagai fasilitator memungkinkan guru memberikan pelayanan dan bimbingan serta pendampingan anak didik saat mengikuti proses pembelajaran. Dengan pelayanan guru, maka anak didik dapat memeproleh aspek pendidikan dan pembelajaran yang diharapkannya. Dalam konteks ini, guru menjadi sosok yang selalu siap memberikan bantuan kepada anak didik pada saat mengalami kesulitan. Dalam hal ini, kita berasumsi bahwa anak didik masih dalam tahap mengembangkan diri sehingga seringkali menghadapi kesulitan dan berhak mendapatkan bantuan edukasi.
Guru memang bertugas melayani masyarakat, anak didik dalam upaya peningkatan kualitas diri. Guru melayani anak didik dalam hal melakukan perubahan kemampuan yang dimilikinya. Kita menyadari bahwa pada awalnya anak didik adalah sosok yang belum dapat melakukan sesuatu atau belum mempunyai sesuatu dan ingin mendapatkannya dari proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itulah, guru bertugas membantu melayani anak didik agar mereka dapat menggapai keinginan tersebut. Memang, untuk dapat memiliki suatu kemampuan dapat dilakukan secara autodidak, tetapi eksistensi guru tetap menjadi acuan untuk dapat mencapai kesuksesan tersebut.
Terkait dengan tugas dan kewajiban tersebut, maka hal penting yang harus dimiliki oleh guru adalah pemahaman atas segala kondisi yang terjadi di lingkungannya. Guru harus memahami kondisi kelasnya, kondisi anak didiknya dan berbagai kondisi lain yang terkait dengan peningkatan kualitas dirinya. Hal ini karena kondisi lingkungan mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap proses pengembangan dan peningkatan kualitas diri tersebut. Tidak heran jika pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran guru dituntut untuk dapat memahami kondisi dan pola pendidikan terkait dengan kondisi tersebut.
Bahwa kondisi seseorang ataupun lingkungan pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran ikut menentukan keberhasilan proses, merupakan sesuatu yang sudah kita pahami. Jika kondisi tidak mendukung, maka proses pendidikan dan pembelajaran tidak dapat terlaksana sebaik-baiknya. Walau kita menyadari bahwa proses belajar dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja, tetapi pemahaman terhadap kondisi pada saat proses berlangsung merupakan hal penting bagi semua guru. Jika tidak, maka anak didik sangat mungkin melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kriteria hasil proses pendidikan dan pembelajaran yang kita lakukan.
Pelanggaran anak terhadap kedisiplinan yang diterapkan di sekolah sebenarnya merupakan satu kondisi yang tercipta sebagai dampak. Sesungguhnya tidak ada anak yang ingin melanggar aturan kedisiplinan yang sudah diterapkan, apalagi aturan tersebut sudah disosialisasikan secara luas di seluruh civitas akademika. Ketika mengetahui tata aturan yang diberlakukan, biasanya setiap sekolah menerbitkan buku yang berisi tata tertib, tata aturan yang harus diterapkan dalam pola interaksi, maka sejak itulah mereka sudah bertekad untuk mengikuti dan mematuhi semua aturan itu. Masalahnya, kenapa tetap saja ada, banyak anak didik yang melanggar kedisiplinan sekolah?
Dalam hal ini, kita memang harus melihat masalah secara prporsional. Kita harus membuang jauh-jauh subyektivitas kita dan mengedepankan obyektivitas agar hasil penilaian proporsional. Jika kita masih menyertakan subyektivitas dikawatirkan apa yang kita lakukan masih penuh dengan tendensi pribadi atau tuntutan yang bersifat pribadi. Melihat masalah secara proporsional berarti kita harus melakukan segala hal sesuai dengan haknya dan tidak menyertakan keperluan pribadi di dalamnya. Begitu juga pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran.
Pemahaman guru terhadap kondisi dan pola pendidikan ditengarai menjadi salah satu aspek yang dapat meningkatkan keberhasilan proses. Hal ini juga dapat mengikat anak didik untuk tetap berada di tempat, ruang kelas pada saat proses dilaksanakan. Guru yang tanggap terhadap kondisi lingkungan memungkinkan untuk tetap mengkondisikan anak-anak pada situasi belajar dan mengarahkan anak-anak yang menimpang pada proses belajar.
Pemahaman guru terhadap kondisi dan pola pendidikan merupakan wujud dari kemampuan respon, kemampuan menanggapi guru terhadap kondisi lingkungan belajar. Semakin bagus kemampuan respon guru, tentunya kondisi pembelajaran semakin bagus juga. Guru segera mengetahui setiap kejadian atau indikasi akan terjadinya sesuatu di dalam ruang pembelajarannya. Dengan kemampuan ini, maka guru dapat melakukan langkah-langkah preventif terhadap kondisi yang dapat mengancam proses.
Kemampuan guru untuk merespon atau mengantisipasi kondisi seperti ini memungkinkan bagi guru untuk mencegah terjadinya hal-hal negative dalam interaksi personal. Guru dapat segera menyelesaikan permasalahan sebelum masalah itu sendiri muncul ke permukaan. Dengan demikian, maka kondisi pembelajaran yang diampuhnya tetap terjaga dan terkontrol sepanjang waktu serta mampu mengarahkan anak didik ada jalur yang seharusnya mereka lalui. Eksistensi dan kemampuan guru menjadi kendaraan yang bakal membawa anak didik dalam kondisi yang kondusif untuk belajar dan menghindarkan anak didik melakukan hal-hal yang menyimpang dari seharusnya.
Seharusnya, pelanggaran kedisiplinan yang dilakukan oleh anak didik dapat dicegah oleh para guru. Mereka seharusnya sudah mengetahui adanya indikasi pelanggaran jauh sebelum pelanggaran terjadi sehingga tidak menimbulkan kesulitan. Tentunya dengan demikian, kondisi interaksi terjaga bahkan dapat dikembangkan sebagai proses pembelajaran inovatif dengan peran aktif anak didik. pola pendidikan dan pembelajaran seperti ini sudah saatnya diterapkan sebagai upaya peningkatan kualitas hasil pembelajaran. Oleh karena itulah, guru harus mempunyai pemahaman terhadap kondisi lingkungannya. Guru tidak boleh acuh apalagi tidak respon pada lingkungannya.
c. Proses pendidikan dan pembelajaran yang menjemukan
Kegiatan pembelajaran menuntut tersedianya kondisi yang kondusif. Kondisi kondusif yang kita maksudkan dalam hal ini adalah kondisi yang benar-benar mampu menumbuh kembangkan kesadaran anak didik dalam mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran. Bahwa setiap peserta didik harus terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sebab mereka yang seharusnya melakukan proses belajar. Anak didik mengikuti proses pembelajaran sebab ingin melakukan perubahan atas kompetensi yang ada pada dirinya. Oleh karena itulah, maka mereka harus menyadari tugas dan kewajibannya dalam proses pembelajaran.
Sementara untuk kelancaran proses pembelajaran, maka ada seseorang yang bertugas untuk memfasilitasi dan membimbing serta mendampingi agar proses berlangsung maksimal. Dengan fasilitasi, bimbingan dan pendampingan ini, maka apa yang seharusnya dipelajari anak didik akan dimiliki secara maksimal. Anak didik tidak melakukan pembelajaran secara acak melainkan sudah disistematis. Hal ini sangat penting sehingga pengalaman anak didik sesuai dengan tingkatannya.
Dalam hal pendampingan dan pembimbingan, anak didik berharap mendapatkan sosok yang benar-benar mampu memberikan segala yang diharapkannya. Anak didik berharap agar guru pembimbingnya benar-benar sosok yang mengerti kebutuhan anak didiknya. Guru haruslah sosok yang mempunyai kemampuan untuk membimbing, memfasilitasi dan mendampingi anak didik pada saat proses pembelajaran. Oleh karena itulah, maka guru harus mempunyai kemampuan untuk mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran.
Guru yang mampu mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran secara baik adalah guru yang mampu menciptakan kondis terbaik bagi proses pembelajarannya. Guru harus menerapkan konsep PAIKEM agar proses pembelajarannya menjadi sesuatu yang berarti bagi anak didik. Penerapan konsep ini sangat berarti agar tidak meumbuhkan kejemuan di hati anak didik. Selama ini yang terjadi adalah kebosanan anak didik terhadap situasi pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru. Anak didik menganggap bahwa proses pembelajaran yang dilaksanakan guru begitu menjemukan sehingga mengurangi atensi mereka pada kegiatan belajar. Dan, secara keseluruhan, anak didik beranggapapan bahwa proses pendidikan menjadi sebuah penjara bagi kehidupannya.
Kita perlu mengakui bhawa pada saat sekarang, sekolah dan proses belajar telah dianggap sebagai penjara bagi anak didik. Mereka merasa bahwa proses pembelajaran telah membatasi aktivitasnya. Anak merasa terkungkung di dalam ruang ukuran enam puluh tiga meter persegi, tujuh meter kali sembilan meter. Selama empat jam atau 4 kali empat puluh lima menit mereka harus berada di ruangan kelas dan mendengarkan atau menyaksikan segala hal yang dilakukan oleh guru. Alasan klasik yang mereka dapatkan adalah untuk kepentingan amsa depan. Bahwa mereka mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran adalah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Dan, hal tersebut harus mereka lakukan sejak sekolah dasar hingga sekolah lanjutan. Mereka harus mengikuti berbagai tata aturan yang kadangkala sangat bertentangan dengan keinginannya, bahkan kebutuhannya. Anak didik dikondisikan agar melakukan sesuatu tidak sesuai dengan konsep hdupnya, tanpa dapat melawan atau memberontak untuk melepaskan diri.
Jika kemudian mereka memberontak, maka pada saat itu dianggap sebagai pelanggaran kedisiplinan. Tentunya, anak didik tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka telah dikondisikan untuk mengikuti segala aturan yang dusah disusun. Mereka juga harus mengikuti berbagai kegiatan yang diprogramkan untuk proses belajar, mereka tidak dapat menolak atau dianggap telah melanggar kedisiplinan. Tentunya kondisi ini menciptakan persepsi negative di hati anak didik. Apalagi jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam kondisi yang tidak menarik, tidak memikat hati. Anak didik gampang mengalami kejenuhan dan akhirnya jemu dengan proses belajar, yang akhirnya membuat mereka ingin keluar kelas.
Guru yang tidak kreatif pada umumnya melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional. Mereka mempertahankan pola pembelajaran tersebut dengan asumsi bahwa pola tersebut telah terbukti efektif dalam upaya peningkatan kompetensi anak didik. Sementara kita menyadari bahwa kondisi setiap tahun mengalami perubahan. Pola pemikrian anak didik terus mengalami perubahan, bahkan apresiasi terhadap proses pembelajaran-pun mengalami perubahan. Anak didik jaman sekarang mempunyai penilaian berbeda terhadap proses pembelajaran.
Anak didik jaman sekarang adalah generasi instan, artinya mereka ingin segala hal yang diikutinya sudah siap dan memang terposisikan untuk mereka. Mereka ingin proses pembelajaran sudah dalam bentuk jadi, tidak menuntut mereka terlalu banyak menerima. Mereka sangat perlu berpikir dan juga menganalisa materi pelajaran. Tentu saja hal ini dalam konsep pendidikan dan pembelajaran merupakan tujuan proses belajar, tetapi kenyataan yang ada di lapangan seperti itu. Anak didik tidak siap belajar tetapi siap digerojok dengan pengetahuan dan keterampilan. Setidaknya, mereka berharap mengikuti proses pembelajaran yang menuntut secara aktif peran serta mereka dan tidak memposisikan mereka sebagai obyek semata.
Oleh karena itulah, tidak aneh jika guru menguasai kelas, maka anak didik merasa sebagai sosok yang tidak aktif. Mereka menjadi sosok pendengar atau penyalin materi yang dicatatkan oleh guru di papan tulis atau didiktekan di lembaran kertas tulis. Dalam konteks kita sekarang ini, penguasaan guru di dalam pengelolaan kelas bukanlah diartikan sebagai penguasaan tunggal atas kelas tersebut. Konteks ini memberikan informasi pada kita bahwa penguasaan guru dalam pengelolaan kelas adalah pada bagaimana guru mengorganisir kelasnya sehingga anak didik yang aktif melaksanakan proses pembelajaran, guru hanyalah fasilitator dalam proses tersebut. Guru bukan penguasa tunggal dalam kelas belajar, justru guru adalah pelayan bagi anak didik agar proses belajarnya dapat maksimal.
Anak didik harus berperan dalam proses pembelajaran sehingga mereka menyadari bahwa proses tersebut adalah tugas dan kewajiban. Dengan demikian, maka mereka terbebaskan dari kondisi jemu sebab harus ikut terlibat aktif dalam proses belajar, bukan sekedar memperhatikan atau mendengarkan segala penjelasan guru. Justru pada saat-saat tertentu, mereka harus menjelaskan kepada teman-temannya tentang materi pelajaran yang sedang mereka pelajari bersama. Berarti, tidak ada waktu bagi mereka untuk bersikap seenaknya atau mengabaikan proses pembelajaran. Artinya, anak didik dapat berperan sebagai pembimbing temannya sebagai asisten guru dalam proses pembelajaran.
Memang, jika anak melakukan pelanggaran disiplin sekolah, kita tidak dapat langsung menjatuhkan vonis kesalahan kepada anak didik. Kita perlu menganalisa dan mengambil kesimpulan atas analisa tersebut. Kita harus mengembalikan pokok permasalahan pada setiap aspek penting dalam proses pembelajaran. Pelanggaran disiplin anak didik pada kenyataannya bukan semata-mata karena kesalahan anak didik. Ada banyak hal yang dapat menjadi penyebab anak didik melakukan kesalahan, yang selanjutnya kita katakan sebagai pelanggaran disiplin sekolah.
Untuk itulah, maka seharusnya kita segera melakukan langkah evaluasi ataupun introspeksi atas segala yang kita lakukan pada saat melakukan proses pembelajaran. Kita harus mengevaluasi pola pembelajaran yang kita terapkan dalam proses dan segera melakukan langkah antisipasif ataupun rehabilitasi dan kuratif jika ternyata ada langkah yang tidak signifikan terhadap proses belajar anak didik. Guru harus menyadari bahwa di dalam proses belajar, yang melakukan proses adalah anak didik sehingga guru perlu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk melakukan proses pembelajaran dibawah pembimbingannya.
Oleh karena itu, jika kita mendapati anak didik melakukan pelanggaran disiplin sekolah, kita setidaknya menerapkan konsep praduga tak bersalah kepada anak didik. Kita harus yakin bahwa jika anak didik melanggar disiplin sekolah bukan berarti anak didik melakukan suatu kesalahan. Sebab pelanggaran yang dilakukan oleh anak diidk tersebut dapat saja merupakan satu bentuk protes terhadap kondisi yang dihadapi saat belajar. Anak diidk merasa tidak nyaman dengan kondisi pembelajaran yang dijalaninya, maka mereka berharap ada perubahan dengan melakukan hal-hal yang melawan kenyamanan guru. Dan, guru seharusnya segera tanggap terhadap setiap perubahan sikap anak didik pada saat mengikuti proses pembelajaran dan selanjutnya dapat memikat atensi belajar.
Pemahaman atas kondisi, kebutuhan dan pola pembelajaran yang sesuai dengan tingkatan apresiasi dan persepsi anak didik atas materi pelajaran sangat mendukung atensi anak didik. Guru harus mempunyai kemampuan tersebut jika menginginkan anak didiknya tetap bertahan tinggal di dalam kelas pembelajarannya. Jika tidak, maka sampai kapanpun anak didik tetap berlaku seperti itu karena mereka merasa kecewa dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tetapi guru tidak memahaminya sehingga tidak dapat segera melakukan langkah konkrit penyelesaiannya. Bagi anak didik, sikap guru yang tidak merespon sikap mereka merupakan satu sikap negative dan harus dihilangkan dari seorang guru. Guru harus responsib terhadap setiap kondisi di kelasnya atau anak didiknya. Guru tidak hanya menyampaikan materi pelajaran melainkan membimbing dan memfasilitasi anak didik untuk belajar lebih baik.
Jika kita ingin mencegah anak didik dari tindakan pelanggaran kedisiplinan sekolah, maka guru harus responsib dan segera melakukan langkah-langkah antisipasi atas kondisi negative yang dapat tercipta dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya. Hal ini karena anak didik sangat mungkin terpengaruh hal-hal negative dalam kehidupan dan guru bertugas membimbing anak didik.
Senin, 07 Desember 2009
Membawa Anak didik ke Dunia Usaha
Perkembangan pola kehidupan menuntut setiap orang untuk selalu siap menghadapi kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Salah satu aspek yang harus disiapkan dalah kemampuan menghadapi persaingan global. Untuk itulah, maka setiap orang harus mempunyai kemampuan khusus yang mampu menjawab permasalahan dalam kehidupannya.
Dan, proses belajar adalah proses mengalami, yaitu kegiatan yang harus dilakukan secara intens dan terstruktur untuk dapat menguasai dan memiliki satu atau banyak kompetensi (multicompetency) sehingga setiap permasalahan yang tumbh dalam kehdupan dapat segera diatasi dan diselesaikan sebaik-baiknya.
Untuk hal tersebut, maka proses belajar yang terbaik adalah langsung terjun ke tempat dimana kegiatan hidup harus dilaksanakan, yaitu tempat kerja atau dunia usaha dan dunia industri. Oleh karena itulah, maka untuk dapat memberikan bekal kemamuan menghadapi persaingan global bagi anak didik, sekolah sudahsaatnya melakukan terobosan kegiatan belajar dengan menggandeng secara intens perusahaan yang bergerak pada bidang yang sama dengan bidang keahlian yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik harus dikirim ke perusahaan, dunia usaha dna dunia industri agar mereka mengalami secara langsung segala hal yang dikerjakan saat mereka menyelesaikan masa pendidikan dan terjun ke dunia masyarakat.
Sekolah harus membawa anak didik ke dunia usaha agar mereka mengetahui bahwa sinergisitas antara proses pembelaqjaran dan dunia usaha adalah keniscayaan dan tidak dapat dianggap sepele. Dan, salah satu aspek penting yang sangat berperan adalah pengalaman langsung yang dialami anak didik saat belajar menjadi bekal terbaik.
Maka,sebaiknya setiap sekolah membuat kesepakatan dengan dunia usaha untuk proses pembelajaran anak-anak didiknya, khususnya sekolah kejuruan yang memang mengemban program persiapan anak didik menjadi sosok-sosok yang siap bekerja, baik bekerja dengan orang lain, sebagai pekerja atau bekerja mandiri,s ebagai enterpreneur untuk kehidupan masyarakatnya.
Sekarang, masalahnya, sudah siapkah dunia usaha bergendeng tangan secara maksimal dengan dunia pendidikan dan tidak memandang sebelah mata terhadap program yan disusun sekolah atau dunia pendidikan...
Dan, proses belajar adalah proses mengalami, yaitu kegiatan yang harus dilakukan secara intens dan terstruktur untuk dapat menguasai dan memiliki satu atau banyak kompetensi (multicompetency) sehingga setiap permasalahan yang tumbh dalam kehdupan dapat segera diatasi dan diselesaikan sebaik-baiknya.
Untuk hal tersebut, maka proses belajar yang terbaik adalah langsung terjun ke tempat dimana kegiatan hidup harus dilaksanakan, yaitu tempat kerja atau dunia usaha dan dunia industri. Oleh karena itulah, maka untuk dapat memberikan bekal kemamuan menghadapi persaingan global bagi anak didik, sekolah sudahsaatnya melakukan terobosan kegiatan belajar dengan menggandeng secara intens perusahaan yang bergerak pada bidang yang sama dengan bidang keahlian yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik harus dikirim ke perusahaan, dunia usaha dna dunia industri agar mereka mengalami secara langsung segala hal yang dikerjakan saat mereka menyelesaikan masa pendidikan dan terjun ke dunia masyarakat.
Sekolah harus membawa anak didik ke dunia usaha agar mereka mengetahui bahwa sinergisitas antara proses pembelaqjaran dan dunia usaha adalah keniscayaan dan tidak dapat dianggap sepele. Dan, salah satu aspek penting yang sangat berperan adalah pengalaman langsung yang dialami anak didik saat belajar menjadi bekal terbaik.
Maka,sebaiknya setiap sekolah membuat kesepakatan dengan dunia usaha untuk proses pembelajaran anak-anak didiknya, khususnya sekolah kejuruan yang memang mengemban program persiapan anak didik menjadi sosok-sosok yang siap bekerja, baik bekerja dengan orang lain, sebagai pekerja atau bekerja mandiri,s ebagai enterpreneur untuk kehidupan masyarakatnya.
Sekarang, masalahnya, sudah siapkah dunia usaha bergendeng tangan secara maksimal dengan dunia pendidikan dan tidak memandang sebelah mata terhadap program yan disusun sekolah atau dunia pendidikan...
Sabtu, 05 Desember 2009
Pembelajaran Praktik Berbasis Proposal
Pembelajaran praktik menjadi satu aspek penting untuk peningkatan kompetensi keahlian anak didik, khususnya untuk sekolah kejuruan. Pembelajaran praktik menjadi sarana untuk memberikan bekal life skill bagi anak didik. hal ini karena di saat mengikuti proses pembelajaran praktik, pada saat itu anak dilatih untuk melakukan satu kegiatan keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupannya kelak.
Selama ini, kegiatan praktik dilaksanakan berdasarkan kreativitas guru yang didapat dengan berpandu pada isi kurikulum yang bersifat nasional. Tetapi, sejak diberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan, maka setiap sekolah mempunyai hak untuk menentukan isi proses pembelajaran untuk anak didiknya, yang penting masih mengacu pada SK-KD yang digariskan oleh pemerintah sebagai pedoman kondisi yang diharapkan dapat dimiliki oleh anak didik.
Akibatnya, anak didik hanya menjadi pelaku kegiatan yang sudah disusun oleh guru.Anak didik hanya sebagai obyek yang melakukan kegiatan terstruktur dari guru. Padahal anak didik adalah subyek pendidikan dan pembelajaran yang artinya merekalah yang seharusnya melakukan kegiatan secara aktif. Mereka yang seharusnya memberi warna bagi kondisi proses yang dijalaninya.
Terkait dengan hal tersebut, maka sejak awal, seharusnya anak didik sudah dilibatkan secara aktif dalam proses penyusunan program pembelajaran. Dalam hal kegiatan pembelajaran praktik, maka salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menekankan peran serta anak didik dalam membuat desain materi pembelajaran praktiknya. Artinya, anak didik diharapkan dapat memberikan masukan kepada sekolah, guru untuk jenis pekerjaan yang harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran praktik.
Untuk hal tersebut, maka anak didik diharapkan menyusun proposal kegiatan praktik sebagai daasrnya. Anak didik harus menyusun proposal kepada sekolah untuk dapat melakukan kegiatan praktik di bengkel sekolah. Sebelum melakukan atau mengikuti proses pembelajaran praktik di bengkel sekolah, maka anak didik harus menyusun proposal yang berisi pekerjaan yang harus dikerjakan.
Proposal ini sangat penting untuk memberikan kesempatan pada anak didik melakukan kegiatan yang benar-benar didapatkan dari masyarakat dan mereka inginkan. Sementara bagi sekolah, proposal yang disusun anak didik merupakan masukan untuk menyusun proses pembelajaran praktik dan mempersiapkan segala kebutuhan terkait dengan bahan dan alat-alat pembelajaran praktik. Tentunya hal ini mempermudah penyusunan program kerja pembelajaran praktik.
Jika anak didik tidak menyusun proposal, maka konsekuensinya mereka tidak dapat mengikuti proses pembelajaran praktik. Dengan demikian, maka yang mengikuti proses pembelajaran hanyalah yang sudha menyusun proposal dan diajukan ke sekolah serta disetujui oleh guru pembimbing. Hal ini karena sekolah hanya menyiapkan materi pembelajaran sesuai dengan proposal yang sudah masuk.
Artinya jika anak didik tidak menyusun proposal, mereka tidak mengharapkan pekerjaan, mereka tidak mempunyai pekerjaan, maka sekolah tidak mungkin memfasilitasinya. Sekolah hanya memfasilitasi mereka yang sudah menyusun proposal.
Dengan pola seperti ini, maka anak didik mendapatkan dua bekal, yaitu keterampilan menyusun proposal dan melakukan pekerjaan yang diajuhkannya. Sebab proposal kerja adalah permintaan pekerjaan, jika mereka tidak mengajuhkan proposal berarti tidak meminta pekerjaan dan berarti tidak mengikuti proses pembelajaran praktik. Secara jelas, hal ini sangat merugikan anak didik. Oleh karena itulah, mereka terpacu untuk menyusun proposal.
Semoga dengan demikian keterampilan anak didik lebih bermanfaat.
Selama ini, kegiatan praktik dilaksanakan berdasarkan kreativitas guru yang didapat dengan berpandu pada isi kurikulum yang bersifat nasional. Tetapi, sejak diberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan, maka setiap sekolah mempunyai hak untuk menentukan isi proses pembelajaran untuk anak didiknya, yang penting masih mengacu pada SK-KD yang digariskan oleh pemerintah sebagai pedoman kondisi yang diharapkan dapat dimiliki oleh anak didik.
Akibatnya, anak didik hanya menjadi pelaku kegiatan yang sudah disusun oleh guru.Anak didik hanya sebagai obyek yang melakukan kegiatan terstruktur dari guru. Padahal anak didik adalah subyek pendidikan dan pembelajaran yang artinya merekalah yang seharusnya melakukan kegiatan secara aktif. Mereka yang seharusnya memberi warna bagi kondisi proses yang dijalaninya.
Terkait dengan hal tersebut, maka sejak awal, seharusnya anak didik sudah dilibatkan secara aktif dalam proses penyusunan program pembelajaran. Dalam hal kegiatan pembelajaran praktik, maka salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menekankan peran serta anak didik dalam membuat desain materi pembelajaran praktiknya. Artinya, anak didik diharapkan dapat memberikan masukan kepada sekolah, guru untuk jenis pekerjaan yang harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran praktik.
Untuk hal tersebut, maka anak didik diharapkan menyusun proposal kegiatan praktik sebagai daasrnya. Anak didik harus menyusun proposal kepada sekolah untuk dapat melakukan kegiatan praktik di bengkel sekolah. Sebelum melakukan atau mengikuti proses pembelajaran praktik di bengkel sekolah, maka anak didik harus menyusun proposal yang berisi pekerjaan yang harus dikerjakan.
Proposal ini sangat penting untuk memberikan kesempatan pada anak didik melakukan kegiatan yang benar-benar didapatkan dari masyarakat dan mereka inginkan. Sementara bagi sekolah, proposal yang disusun anak didik merupakan masukan untuk menyusun proses pembelajaran praktik dan mempersiapkan segala kebutuhan terkait dengan bahan dan alat-alat pembelajaran praktik. Tentunya hal ini mempermudah penyusunan program kerja pembelajaran praktik.
Jika anak didik tidak menyusun proposal, maka konsekuensinya mereka tidak dapat mengikuti proses pembelajaran praktik. Dengan demikian, maka yang mengikuti proses pembelajaran hanyalah yang sudha menyusun proposal dan diajukan ke sekolah serta disetujui oleh guru pembimbing. Hal ini karena sekolah hanya menyiapkan materi pembelajaran sesuai dengan proposal yang sudah masuk.
Artinya jika anak didik tidak menyusun proposal, mereka tidak mengharapkan pekerjaan, mereka tidak mempunyai pekerjaan, maka sekolah tidak mungkin memfasilitasinya. Sekolah hanya memfasilitasi mereka yang sudah menyusun proposal.
Dengan pola seperti ini, maka anak didik mendapatkan dua bekal, yaitu keterampilan menyusun proposal dan melakukan pekerjaan yang diajuhkannya. Sebab proposal kerja adalah permintaan pekerjaan, jika mereka tidak mengajuhkan proposal berarti tidak meminta pekerjaan dan berarti tidak mengikuti proses pembelajaran praktik. Secara jelas, hal ini sangat merugikan anak didik. Oleh karena itulah, mereka terpacu untuk menyusun proposal.
Semoga dengan demikian keterampilan anak didik lebih bermanfaat.
Langganan:
Postingan (Atom)