Latar belakang
Diakui atau tidak, dalam dunia pendidikan formal, cukup banyak anak didik yang kehilangan semangat belajarnya. Mereka tidak bersemangat untuk menjalani tugas dan kewajibannya sebagai pelajar. Justru, mereka banyak yang meninggalkan ruang belajar untuk melakukan kegiatan lain, misalnya kongkow di taman sekolah atau di kantin sekolah. Walau seringkali diobrak, tetapi kegiatan tersebut tetap terjadi dan dilakukan. Bahkan tidak jarang mereka yang sengaja meninggalkan ruang belajar, tentunya dengan pamit pada guru untuk ke ‘belakang’. Tentu saja itu hanya alasan semata. Mereka tidak betul-betul ke ‘belakang’, melainkan hanya duduk-duduk di kantin atau di tempat lain yang tersembunyi dari pemantauan guru.
Jika kita selidiki, maka ada banyak alasan yang sesungguhnya membuat mereka bersikap seperti itu. Mereka memang melakukan hal tersebut secara sengaja sebab semangat belajar yang runtuh. Mereka kehilangan semangat belajar pada saat proses belajar sedang berlangsung, bahkan sebelum proses belajar berlangsung. Oleh karena itulah, maka mereka meninggalkan kelas belajarnya. Mereka merasa enggan untuk belajar dan pergi ke belakang adalah untuk mengalihkan pikiran dan kejenuhan yang dihadapi. Hal ini sebenarnya merupakan fenomena yang terjadi di hampir seluruh sekolah yang ada. Tidak hanya di sekolah swasta, melainkan terjadi juga di sekolah negeri, yang notabene sering dijadikan sebagai acuan atas kedisplinan belajar.
Kita memang tidak dapat memberikan cap kondisi ini kepada sekolah begitu saja. Sebagai sebuah fenomena, maka kita menyadari bahwa semua ini merupakan kejadian umum. Semua sekolah dapat saja mengalami hal seperti ini. Oleh karena itulah, maka kita harus mampu mengantisipasi agar sekolah kita tidak mengalami hal yang sama, setidaknya mengurangi kuantitas pelanggaran jenis tersebut. Hal ini karena kita menyadari bahwa sebenarnya ada banyak aspek yang menyebabkan anak didik bersikap seperti itu. Dan, semua itu bukan semata-mata kesalahan anak didik.
Semua bukan kesalahan anak didik
Selama ini yang terjadi setiap kali ada anak didik yang melakukan pelanggaran adalah mayoritas kesalahan ditimpahkan pada anak didik. vonis salah selalu jatuh ke anak didik sebagai pesakitan ataupun kambing hitam atas segala hal yang terjadi. Ini merupakan hal yang lazim dilakukan, bhakan oleh para orangtua saat menyadari bahwa anaknya melakukan pelanggaran kedisiplinan sekolah.
Kita memang harus mau mengakui bahwa sebenarnya, pada saat terjadi pelanggaran kedisiplinan oleh anak dididik, semua itu bukan secara otomatis menunjukkan bahwa anak didik melakukan suatu kesalahan. Tidak semua kejadian yang melibatkan anak didik merupakan akibat kesalahan anak didik. hal tersebut harus kita pahami betul sehingga kita dapat bertindak proporsional dan tidak salah langkah. Apa jadinya jika apa yang kita lakukan ternyata salah?
Anak didik adalah sosok manusia yang sedang mencari jati diri. Mereka sedang membangun sebuah gedung untuk kehidupan masa depannya. Mereka mengikuti proses belajar di sekolah adalah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Mereka adalah sosok pribadi sehingga pada saatnya mereka harus bertanggungjawab atas kehidupan pribadinya. Untuk hal tersebut, maka mereka harus mepunyia kemampuan. Oleh karena itulah, maka mereka harus bersekolah, menempuh pendidikan dan belajar banyak hal agar kehidupan di masa depan menjadi lebih baik dari yang selama ini mereka alami bersama keluarganya.
Sebagai pribadi yang sedang mencari jati diri, tentunya kondisi kejiwaan mereka masih labil. Artinya, mereka masih gampang mengalami perubahan sikap dan pola kehidupan. Bahkan karena kelabilannya, maka mereka gampang sekali terpengaruh oleh lingkungannya. Dan, umumnya pengaruh yang gampang sekali dicerna dan dimiliki adalah pengaruh negative. Oleh karena itulah, maka tidak salah jika setiap kali ada permasalahan yang terjadi dalam kehidupan anak didik, maka yang muncul adalah penghakiman terhadap anak didik.
Sungguh, hal ini merupakan satu sikap yang kurang proporsional. Dalam dunia hukum kita mengenal istilah praduga tidak bersalah sehingga anak didik juga berhak mndapatkan kondisi tersebut. Jika ada kejadian dan hal tersebut melibatkan anak didik, seharusnya anak didik tidak begitu saja mendapatkan perlakuan sebagai pesakitan. Anak didik seharusnya diperlakukan secara proporsional dan didasari oleh rasa kasih sayang serta langkah-langkah edukatif.
Semua kejadian bukan semata kesalahan anak didik. sikap dan pola pikir ini harus kita tanamkan dalam hati kita sebagai upaya positif thinking terhadap segala hal yang terjadi. Di samping itu, kita juga harus meyakini bahwa pada dasarnya anak didik adalah pribadi yang baik. Oleh karena itulah, mereka dikirim ke sekolah untuk meningkatkan nilai-nilai positif dalam dirinya pada tingkat perkembangan yang signifikan dengan kebutuhan hidupnya.
Persepsi positif terhadap setiap kondisi memungkinkan terciptanya satu interaksi positif diantara guru dan anak didik. Anak didik akan merasa sangat diperhatikan oleh guru dan selanjutnya guru akan mendapatkan sikap terbaik dari anak didik. Dengan demikian, maka anak didik dapat menjadi sosok-sosok yang penurut pada setiap ucapan yang kita tujukan untuk mereka. Begitulah, kita sebagai guru tidak seharusnya menjatuhkan vonis bersalah begitu saja kepada anak didik sebelum mengetahui secara pasti pokok permasalahannya. Kita harus meyakini bahwa tidak semua masalah merupakan kesalahan anak didik.
Beberapa hal penyebab anak didik melakukan pelanggaran.
Pada saat kita menghadapi anak didik yang bermasalah, maka seharusnya pada saat itu kita menganalisa segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kejadian tersebut. Guru harus secara arif melakukan analisa terhadap permasalahan dan tidak secara langsung membuat keputusan bahwa anak didik bersalah telah melakukan pelanggaran. Dan, selanjutnya pelanggaran tersebut Jika kita telaah disebabkan oleh banyak hal, misalnya pola pembelajaran yang kurang tepat, pendidik yang kurang memahami kondisi dan pola pendidikan, atau proses pendidikan dan pembelajaran yang menjemukan.
Proses pendidikan dan pembelajaran merupakan proses panjang yang dilakukan secara sistematis. Proses secara sistematis ini seringkali menghadirkan situasi yang berbeda pada para pelaku kegiatan. Dengan pola yang tersistematis tersebut, maka ada satu kondisi yang harus dilakukan dan tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan oleh para pelakunya jika ingin mencapai keberhasilan. Di dalam proses pendidikan dan pembelajaran, anak didik memang harus mengikuti proses yang sudah tersistem dan berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan dalam sebuah interaksi edukatif dengan seorang guru sebagai fasilitatornya.
Sebagai kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan, tentunya dapat menyebabkan situasi negative di hati anak didik. situasi yang terus menerus terjadi secara berkesinambungan, apalagi monoton, tentunya menyebabkan pesertanya disergap kejenuhan. Mereka dapat kehilangan sense untuk mengikuti proses belajar dan menumbuhkan kebosanan dan keengganan untuk mengikuti proses yang dilakukan atas dirinya. Kehilangan sense inilah yang selanjutnya ditengarai menjadi salah satu penyebab anak didik melakukan pelanggaran kedisiplinan di sekolah. Anak didik kehilangan rasa terhadap proses yang seharusnya mereka jalani secara maksimal.
Sense terhadap proses belajar menjadi sangat penting sebab dengan sense tersebut, maka anak didik merasakan bahwa proses belajar begitu menarik dan harus diikuti. Tetapi, ketika sense tersebut hilang, maka yang tertinggal hanyalah sebuah proses yang sangat menjemukan dan memancing mereka untuk melakukan sesuatu diluar pakemnya sebagai pelajar. Mereka merasa enggan mengikuti proses belajar dan justru lebih suka dan enjoy saat meninggalkan proses belajar tersebut. Jika anak didik lebih suka meninggalkan proses pendidikan, maka sebenarnya pada saat tersebut proses belajar dalam posisi diujung tanduk.
Oleh karena itulah, maka seorang guru harus memahami eksistensi sense belajar ini sehingga terus terjaga kualitas dan seangat belajar anak didik. guru hartus dapat menjaga agar sense belajar yang dimiliki anak didik tetap berkobar. Guru harus dapat melakukan hal tersebut agar proses belajar yang dibimbingnya dapat berjalan lancar. Hal ini karena jika sense belajar anak didik bagus, maka tingkat kualitas konsentrasi dan keterlibatan anak dalam proses pendidikan dan pembelajaran dapat maksimal. Tentunya jika kondisi seperti ini, maka tingkat keberhasilan proses sangat tinggi.
Terkait dengan berbagai pelanggaran yang sering kita jumpai di sekolah-sekolah, maka dapat kita jelaskan satu persatu agar dapat kita hadapi setiap masalah secara proporsional. Hal ini sangat penting agar kita tidak lagi menjadi hakim yang begitu saja memvonis anakdidik hanya karena telah melakukan satu pelanggaran disiplin sekolah, tanpa mau mengorek latar belakang anak didik melakukan hal tersebut.
a. Pola pembelajaran yang kurang tepat
Bahwa proses pembelajaran dilaksanakan mengikuti pola-pola tertentu sehingga memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pola-pola ini merupakan langkah taktis yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan ketertarikan anak didik terhadap materi pelajaran. Proses pembelajaran memberikan kesempatan bagi anak didik untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk bekal kehidupannya. Pengetahuan dan keterampilan inilah yang diharapkan dapat memposisikan anak didik secara proporsional di masyarakat.
Dan, setiap materi pelajaran mempunyai cirri khas di dalam proses transferring ke anak didik. Setiap materi membutuhkan cara-cara yang berbeda pada saat menyampaikan kepada anak didik. Kita tidak dapat menerapkan cara secara sembarangan sebab hal tersebut justru dapat menjadi penghalang tersampaikannya materi pelajaran ke anak didik. Seharusnya, setiap materi tersampaikan kepada anak didik secara baik, jelas dan mudah diterima oleh anak didik. Bahkan, didalam satu mata pelajaran, setiap materinya disampaikan dengan cara yang berbeda agar dapat diterima anak didik secara maksimal. Misalnya, ada materi yang dapat disampaikan dengan cara ceramah, tetapi materi yang lain menuntut kegiatan berupa praktek. Tentunya, jika kedua materi ini disampaikan dengan cara yang sama, maka hasilnya tidak dapat maksimal.
Tentunya, jika proses pembelajaran yang diterapkan tidak tepat, maka hal tersebut berdampak pada hilangnya semangat anak didik untuk mengikuti proses tersebut. Anak didik merasa sulit saat harus beradaptasi dengan proses pembelajaran yang diikutinya. Mereka tidak dapat mengikuti, apalagi dituntut untuk memahami setiap aspek yang diajarkan oleh guru. Akibatnya, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Akhirnya, mereka menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan diluar proses pembelajaran. mereka kehilangan konsentrasi dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing atau berkelompok.
Jika kondisi ini tidak disadari oleh guru, maka anak menjadi semakin jauh dari kegiatan belajar dan tenggelam dalam kegiatan yang diciptakannya sendiri. Ada anak didik yang tenggelam dalam pikirannya sendiri sehingga tidak memperhatikan semua penjelasan guru. Ada juga anak didik yang sibuk bergurau dengan teman-temannya sehingga suasana kelas menjadi ramai dan rebut. Dan, yang lebih tragis lagi adalah anak-anak yang tidak betah berada di dalam ruangan kelas, mereka akhirnya pamitan ke belakang pada sang guru.
Anak-anak memang pamitan ke belakang, artinya mereka mau kekamar kecil untuk buang hajat kecil ataupun hajat besar. Tetapi, jika kita telusuri yang mereka lakukan di belakang, kita pasti mengurut dada sebab mereka ternyata kongkow di kantin atau taman sekolah. Mereka memang sengaja neinggalkan ruang kelas untuk menghindari proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Mereka merasa tersiksa dengan pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Mereka merasa bahwa guru tidak dapat melaksanakan proses pembelajaran sebab proses tersebut ternyata justru membuat mereka bingung dan sulit menerimanya.
Oleh karena itulah, maka pada saat melaksanakan proses pembelajaran, guru harus mampu menentukan pola pembelajaran yang diterapkan untuk anak didiknya, disesuaikan dengan tipe materi pelajaran yang saat itu harus diberikan kepada anak didik. guru harus dapat memilah dan memilih pola belajar yang sesuai dengan materi pelajarannya. Jika tidak, maka hal tersebut menyebabkan anak didik melakukan pelanggaran kedisiplinan yang sebenarnya dipicu oleh pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh sang guru. Lantas jika hal seperti ini terjadi, siapa yang patut disalahkan? Salahkah anak didik jika mengalami kejemuan saat belajar dan mencari solusi dengan bermain atau berbincang dengan temannya atau pergi ke kantin sekolah?
b. Pendidik yang kurang memahami kondisi dan pola pendidikan
Di dalam proses pembelajaran, posisi guru sebagai fasilitator memungkinkan guru memberikan pelayanan dan bimbingan serta pendampingan anak didik saat mengikuti proses pembelajaran. Dengan pelayanan guru, maka anak didik dapat memeproleh aspek pendidikan dan pembelajaran yang diharapkannya. Dalam konteks ini, guru menjadi sosok yang selalu siap memberikan bantuan kepada anak didik pada saat mengalami kesulitan. Dalam hal ini, kita berasumsi bahwa anak didik masih dalam tahap mengembangkan diri sehingga seringkali menghadapi kesulitan dan berhak mendapatkan bantuan edukasi.
Guru memang bertugas melayani masyarakat, anak didik dalam upaya peningkatan kualitas diri. Guru melayani anak didik dalam hal melakukan perubahan kemampuan yang dimilikinya. Kita menyadari bahwa pada awalnya anak didik adalah sosok yang belum dapat melakukan sesuatu atau belum mempunyai sesuatu dan ingin mendapatkannya dari proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itulah, guru bertugas membantu melayani anak didik agar mereka dapat menggapai keinginan tersebut. Memang, untuk dapat memiliki suatu kemampuan dapat dilakukan secara autodidak, tetapi eksistensi guru tetap menjadi acuan untuk dapat mencapai kesuksesan tersebut.
Terkait dengan tugas dan kewajiban tersebut, maka hal penting yang harus dimiliki oleh guru adalah pemahaman atas segala kondisi yang terjadi di lingkungannya. Guru harus memahami kondisi kelasnya, kondisi anak didiknya dan berbagai kondisi lain yang terkait dengan peningkatan kualitas dirinya. Hal ini karena kondisi lingkungan mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap proses pengembangan dan peningkatan kualitas diri tersebut. Tidak heran jika pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran guru dituntut untuk dapat memahami kondisi dan pola pendidikan terkait dengan kondisi tersebut.
Bahwa kondisi seseorang ataupun lingkungan pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran ikut menentukan keberhasilan proses, merupakan sesuatu yang sudah kita pahami. Jika kondisi tidak mendukung, maka proses pendidikan dan pembelajaran tidak dapat terlaksana sebaik-baiknya. Walau kita menyadari bahwa proses belajar dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan dengan siapa saja, tetapi pemahaman terhadap kondisi pada saat proses berlangsung merupakan hal penting bagi semua guru. Jika tidak, maka anak didik sangat mungkin melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kriteria hasil proses pendidikan dan pembelajaran yang kita lakukan.
Pelanggaran anak terhadap kedisiplinan yang diterapkan di sekolah sebenarnya merupakan satu kondisi yang tercipta sebagai dampak. Sesungguhnya tidak ada anak yang ingin melanggar aturan kedisiplinan yang sudah diterapkan, apalagi aturan tersebut sudah disosialisasikan secara luas di seluruh civitas akademika. Ketika mengetahui tata aturan yang diberlakukan, biasanya setiap sekolah menerbitkan buku yang berisi tata tertib, tata aturan yang harus diterapkan dalam pola interaksi, maka sejak itulah mereka sudah bertekad untuk mengikuti dan mematuhi semua aturan itu. Masalahnya, kenapa tetap saja ada, banyak anak didik yang melanggar kedisiplinan sekolah?
Dalam hal ini, kita memang harus melihat masalah secara prporsional. Kita harus membuang jauh-jauh subyektivitas kita dan mengedepankan obyektivitas agar hasil penilaian proporsional. Jika kita masih menyertakan subyektivitas dikawatirkan apa yang kita lakukan masih penuh dengan tendensi pribadi atau tuntutan yang bersifat pribadi. Melihat masalah secara proporsional berarti kita harus melakukan segala hal sesuai dengan haknya dan tidak menyertakan keperluan pribadi di dalamnya. Begitu juga pada saat melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran.
Pemahaman guru terhadap kondisi dan pola pendidikan ditengarai menjadi salah satu aspek yang dapat meningkatkan keberhasilan proses. Hal ini juga dapat mengikat anak didik untuk tetap berada di tempat, ruang kelas pada saat proses dilaksanakan. Guru yang tanggap terhadap kondisi lingkungan memungkinkan untuk tetap mengkondisikan anak-anak pada situasi belajar dan mengarahkan anak-anak yang menimpang pada proses belajar.
Pemahaman guru terhadap kondisi dan pola pendidikan merupakan wujud dari kemampuan respon, kemampuan menanggapi guru terhadap kondisi lingkungan belajar. Semakin bagus kemampuan respon guru, tentunya kondisi pembelajaran semakin bagus juga. Guru segera mengetahui setiap kejadian atau indikasi akan terjadinya sesuatu di dalam ruang pembelajarannya. Dengan kemampuan ini, maka guru dapat melakukan langkah-langkah preventif terhadap kondisi yang dapat mengancam proses.
Kemampuan guru untuk merespon atau mengantisipasi kondisi seperti ini memungkinkan bagi guru untuk mencegah terjadinya hal-hal negative dalam interaksi personal. Guru dapat segera menyelesaikan permasalahan sebelum masalah itu sendiri muncul ke permukaan. Dengan demikian, maka kondisi pembelajaran yang diampuhnya tetap terjaga dan terkontrol sepanjang waktu serta mampu mengarahkan anak didik ada jalur yang seharusnya mereka lalui. Eksistensi dan kemampuan guru menjadi kendaraan yang bakal membawa anak didik dalam kondisi yang kondusif untuk belajar dan menghindarkan anak didik melakukan hal-hal yang menyimpang dari seharusnya.
Seharusnya, pelanggaran kedisiplinan yang dilakukan oleh anak didik dapat dicegah oleh para guru. Mereka seharusnya sudah mengetahui adanya indikasi pelanggaran jauh sebelum pelanggaran terjadi sehingga tidak menimbulkan kesulitan. Tentunya dengan demikian, kondisi interaksi terjaga bahkan dapat dikembangkan sebagai proses pembelajaran inovatif dengan peran aktif anak didik. pola pendidikan dan pembelajaran seperti ini sudah saatnya diterapkan sebagai upaya peningkatan kualitas hasil pembelajaran. Oleh karena itulah, guru harus mempunyai pemahaman terhadap kondisi lingkungannya. Guru tidak boleh acuh apalagi tidak respon pada lingkungannya.
c. Proses pendidikan dan pembelajaran yang menjemukan
Kegiatan pembelajaran menuntut tersedianya kondisi yang kondusif. Kondisi kondusif yang kita maksudkan dalam hal ini adalah kondisi yang benar-benar mampu menumbuh kembangkan kesadaran anak didik dalam mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran. Bahwa setiap peserta didik harus terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sebab mereka yang seharusnya melakukan proses belajar. Anak didik mengikuti proses pembelajaran sebab ingin melakukan perubahan atas kompetensi yang ada pada dirinya. Oleh karena itulah, maka mereka harus menyadari tugas dan kewajibannya dalam proses pembelajaran.
Sementara untuk kelancaran proses pembelajaran, maka ada seseorang yang bertugas untuk memfasilitasi dan membimbing serta mendampingi agar proses berlangsung maksimal. Dengan fasilitasi, bimbingan dan pendampingan ini, maka apa yang seharusnya dipelajari anak didik akan dimiliki secara maksimal. Anak didik tidak melakukan pembelajaran secara acak melainkan sudah disistematis. Hal ini sangat penting sehingga pengalaman anak didik sesuai dengan tingkatannya.
Dalam hal pendampingan dan pembimbingan, anak didik berharap mendapatkan sosok yang benar-benar mampu memberikan segala yang diharapkannya. Anak didik berharap agar guru pembimbingnya benar-benar sosok yang mengerti kebutuhan anak didiknya. Guru haruslah sosok yang mempunyai kemampuan untuk membimbing, memfasilitasi dan mendampingi anak didik pada saat proses pembelajaran. Oleh karena itulah, maka guru harus mempunyai kemampuan untuk mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran.
Guru yang mampu mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran secara baik adalah guru yang mampu menciptakan kondis terbaik bagi proses pembelajarannya. Guru harus menerapkan konsep PAIKEM agar proses pembelajarannya menjadi sesuatu yang berarti bagi anak didik. Penerapan konsep ini sangat berarti agar tidak meumbuhkan kejemuan di hati anak didik. Selama ini yang terjadi adalah kebosanan anak didik terhadap situasi pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru. Anak didik menganggap bahwa proses pembelajaran yang dilaksanakan guru begitu menjemukan sehingga mengurangi atensi mereka pada kegiatan belajar. Dan, secara keseluruhan, anak didik beranggapapan bahwa proses pendidikan menjadi sebuah penjara bagi kehidupannya.
Kita perlu mengakui bhawa pada saat sekarang, sekolah dan proses belajar telah dianggap sebagai penjara bagi anak didik. Mereka merasa bahwa proses pembelajaran telah membatasi aktivitasnya. Anak merasa terkungkung di dalam ruang ukuran enam puluh tiga meter persegi, tujuh meter kali sembilan meter. Selama empat jam atau 4 kali empat puluh lima menit mereka harus berada di ruangan kelas dan mendengarkan atau menyaksikan segala hal yang dilakukan oleh guru. Alasan klasik yang mereka dapatkan adalah untuk kepentingan amsa depan. Bahwa mereka mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran adalah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Dan, hal tersebut harus mereka lakukan sejak sekolah dasar hingga sekolah lanjutan. Mereka harus mengikuti berbagai tata aturan yang kadangkala sangat bertentangan dengan keinginannya, bahkan kebutuhannya. Anak didik dikondisikan agar melakukan sesuatu tidak sesuai dengan konsep hdupnya, tanpa dapat melawan atau memberontak untuk melepaskan diri.
Jika kemudian mereka memberontak, maka pada saat itu dianggap sebagai pelanggaran kedisiplinan. Tentunya, anak didik tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka telah dikondisikan untuk mengikuti segala aturan yang dusah disusun. Mereka juga harus mengikuti berbagai kegiatan yang diprogramkan untuk proses belajar, mereka tidak dapat menolak atau dianggap telah melanggar kedisiplinan. Tentunya kondisi ini menciptakan persepsi negative di hati anak didik. Apalagi jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam kondisi yang tidak menarik, tidak memikat hati. Anak didik gampang mengalami kejenuhan dan akhirnya jemu dengan proses belajar, yang akhirnya membuat mereka ingin keluar kelas.
Guru yang tidak kreatif pada umumnya melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional. Mereka mempertahankan pola pembelajaran tersebut dengan asumsi bahwa pola tersebut telah terbukti efektif dalam upaya peningkatan kompetensi anak didik. Sementara kita menyadari bahwa kondisi setiap tahun mengalami perubahan. Pola pemikrian anak didik terus mengalami perubahan, bahkan apresiasi terhadap proses pembelajaran-pun mengalami perubahan. Anak didik jaman sekarang mempunyai penilaian berbeda terhadap proses pembelajaran.
Anak didik jaman sekarang adalah generasi instan, artinya mereka ingin segala hal yang diikutinya sudah siap dan memang terposisikan untuk mereka. Mereka ingin proses pembelajaran sudah dalam bentuk jadi, tidak menuntut mereka terlalu banyak menerima. Mereka sangat perlu berpikir dan juga menganalisa materi pelajaran. Tentu saja hal ini dalam konsep pendidikan dan pembelajaran merupakan tujuan proses belajar, tetapi kenyataan yang ada di lapangan seperti itu. Anak didik tidak siap belajar tetapi siap digerojok dengan pengetahuan dan keterampilan. Setidaknya, mereka berharap mengikuti proses pembelajaran yang menuntut secara aktif peran serta mereka dan tidak memposisikan mereka sebagai obyek semata.
Oleh karena itulah, tidak aneh jika guru menguasai kelas, maka anak didik merasa sebagai sosok yang tidak aktif. Mereka menjadi sosok pendengar atau penyalin materi yang dicatatkan oleh guru di papan tulis atau didiktekan di lembaran kertas tulis. Dalam konteks kita sekarang ini, penguasaan guru di dalam pengelolaan kelas bukanlah diartikan sebagai penguasaan tunggal atas kelas tersebut. Konteks ini memberikan informasi pada kita bahwa penguasaan guru dalam pengelolaan kelas adalah pada bagaimana guru mengorganisir kelasnya sehingga anak didik yang aktif melaksanakan proses pembelajaran, guru hanyalah fasilitator dalam proses tersebut. Guru bukan penguasa tunggal dalam kelas belajar, justru guru adalah pelayan bagi anak didik agar proses belajarnya dapat maksimal.
Anak didik harus berperan dalam proses pembelajaran sehingga mereka menyadari bahwa proses tersebut adalah tugas dan kewajiban. Dengan demikian, maka mereka terbebaskan dari kondisi jemu sebab harus ikut terlibat aktif dalam proses belajar, bukan sekedar memperhatikan atau mendengarkan segala penjelasan guru. Justru pada saat-saat tertentu, mereka harus menjelaskan kepada teman-temannya tentang materi pelajaran yang sedang mereka pelajari bersama. Berarti, tidak ada waktu bagi mereka untuk bersikap seenaknya atau mengabaikan proses pembelajaran. Artinya, anak didik dapat berperan sebagai pembimbing temannya sebagai asisten guru dalam proses pembelajaran.
Memang, jika anak melakukan pelanggaran disiplin sekolah, kita tidak dapat langsung menjatuhkan vonis kesalahan kepada anak didik. Kita perlu menganalisa dan mengambil kesimpulan atas analisa tersebut. Kita harus mengembalikan pokok permasalahan pada setiap aspek penting dalam proses pembelajaran. Pelanggaran disiplin anak didik pada kenyataannya bukan semata-mata karena kesalahan anak didik. Ada banyak hal yang dapat menjadi penyebab anak didik melakukan kesalahan, yang selanjutnya kita katakan sebagai pelanggaran disiplin sekolah.
Untuk itulah, maka seharusnya kita segera melakukan langkah evaluasi ataupun introspeksi atas segala yang kita lakukan pada saat melakukan proses pembelajaran. Kita harus mengevaluasi pola pembelajaran yang kita terapkan dalam proses dan segera melakukan langkah antisipasif ataupun rehabilitasi dan kuratif jika ternyata ada langkah yang tidak signifikan terhadap proses belajar anak didik. Guru harus menyadari bahwa di dalam proses belajar, yang melakukan proses adalah anak didik sehingga guru perlu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk melakukan proses pembelajaran dibawah pembimbingannya.
Oleh karena itu, jika kita mendapati anak didik melakukan pelanggaran disiplin sekolah, kita setidaknya menerapkan konsep praduga tak bersalah kepada anak didik. Kita harus yakin bahwa jika anak didik melanggar disiplin sekolah bukan berarti anak didik melakukan suatu kesalahan. Sebab pelanggaran yang dilakukan oleh anak diidk tersebut dapat saja merupakan satu bentuk protes terhadap kondisi yang dihadapi saat belajar. Anak diidk merasa tidak nyaman dengan kondisi pembelajaran yang dijalaninya, maka mereka berharap ada perubahan dengan melakukan hal-hal yang melawan kenyamanan guru. Dan, guru seharusnya segera tanggap terhadap setiap perubahan sikap anak didik pada saat mengikuti proses pembelajaran dan selanjutnya dapat memikat atensi belajar.
Pemahaman atas kondisi, kebutuhan dan pola pembelajaran yang sesuai dengan tingkatan apresiasi dan persepsi anak didik atas materi pelajaran sangat mendukung atensi anak didik. Guru harus mempunyai kemampuan tersebut jika menginginkan anak didiknya tetap bertahan tinggal di dalam kelas pembelajarannya. Jika tidak, maka sampai kapanpun anak didik tetap berlaku seperti itu karena mereka merasa kecewa dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tetapi guru tidak memahaminya sehingga tidak dapat segera melakukan langkah konkrit penyelesaiannya. Bagi anak didik, sikap guru yang tidak merespon sikap mereka merupakan satu sikap negative dan harus dihilangkan dari seorang guru. Guru harus responsib terhadap setiap kondisi di kelasnya atau anak didiknya. Guru tidak hanya menyampaikan materi pelajaran melainkan membimbing dan memfasilitasi anak didik untuk belajar lebih baik.
Jika kita ingin mencegah anak didik dari tindakan pelanggaran kedisiplinan sekolah, maka guru harus responsib dan segera melakukan langkah-langkah antisipasi atas kondisi negative yang dapat tercipta dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya. Hal ini karena anak didik sangat mungkin terpengaruh hal-hal negative dalam kehidupan dan guru bertugas membimbing anak didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar