Pengumuman kelulusan kelas III tingkat satuan pendidikan SLTA, termasuk dalam hal ini SMK, sudah dilakukan tanggal 14 Juni 2008, kemarin. Dan, sebagaimana tahun-tahun yang lalu, hal tersebut tetap mneinggalkan permasalahan yang tidak dapat diselesaikan sebagaimana saat kita membalik telapak tangan.
Berbagai komentar seperti tangkis sungai yang bocor oleh gerusan aliran air. Pada awalnya hanya bocor kecil, tetapi semakin lama semakin besar dan banjir. Lagi-lagi yang dijadikan kambing hitam adalah eksistensi dan peranan Unas yang dirasakan sebagai algojo. Kejam!
Dari sekian berita yang sempat kita baca di pagi hari atau kita lihat di malam hari, maka kita menjadi semain terenyuh sebab untuk tahun ini telah terjadi peningkatan kegagalan pada tingkat satuan pendidikan SMA dan peningkatan keberhasilan pada SMK.
Sungguh hal ini sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan kita. Apalagi jika menguak kembali permasalahan sebelum atau pada saat Ujian nasional dilaksanakan. Duh, dunia pendidikan kita telah carut marut, terluka di
Dari aib akibat laku negatif oknum guru yang tidak ingin anak didiknya kesulitan dan terjebak pada kubangan ketidaklulusan, sehingga harus berlaku curang dengan memberi jawaban pada anak didiknya, hingga cukup banyak sekolah yang kegagalannya mencapai 100%. Kegagalan 100% justru terjadi pada sekolah yang jumlah siswanya minim, sehingga Koran lokal di Jawa Timur menulis, Sekolah Mini, kegagalan Maxi! Duh, sungguh sangat memperihatinkan kita!
Bagi siswa yang lulus, mungkin tidak menjadi permasalahan sebab mereka dapat melanjutkan program hidupnya sesuai dengan perencanaannya. Mereka dapat melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat lebih tinggi, misdalnya ke Universitas atau akademi-akademi harapan mereka. Atau mungkin memutus-kan untuk memasuki dunia kerja.
Anak-anak SMA dapat merencanakan untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi dengan program yang diimpikan. Begitu juga sebagian anak SMK yang didukung perekonomian keluarga yang cuikup untuk hal tersebut. Tetapi, bagi mereka yang tidak ada dukungan finasial keluarga, tentunya harus menerima kenyataan bahwa mereka harus bekerja.
Permasalahannya adalah bagi mereka yang dinyatakan tidak lulus. Tentunya hal ini merupakan pukulan telak yang membikin hati berantakan. Semua rencana yang disusun tak lagi berbentuk. Semua hancur. Perencanaan tinggal rencana kosong yang tidak lagi berisi.
Program Paket C
Untuk menghadapi dan menindaklanjuti kondisi yang dialami oleh siswa kelas III yang tidak lulus, sebenarnya ada dua opsi yang dapat mereka pilih salah satu, yaitu mengulang belajar di kelas III atau mengikuti program ujian kesetaraan yag disbeut Paket C.
Tentunya bagi programmer, hal tersebut tidak ada masalah. Dua opsi tersebut adalah pilihan yang tepat bagi mereka, anak-anak yang tidak lulus. Mau mengulang belajar ataukah mengikuti ujian persamaan. Tapi, bagi siswa dan orangtua kedua opsi tersebut belum memuaskan, tidak memuaskan sebab kenyataannya tidak sesuai dengan keinginan.
Jaika mereka memilih mengulang, tentunya mereka harus menyediakan dana yang cukup besar sebab kebutuhan buku, dan lain-lain dan kelancaran pembelajaran lainnya tidak lepas dari pendanaannya. Belum lagi masalah hilangnya waktu selama setahun. Begitu juga dengan mereka yang mengikuti program Paket C.
Program Paket C, sejauh yang penulis ketahui masih menangani mereka yang berbasis pada SMA, anak-anak yag dari kejuruan atau SMK masih belum tertangani sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya anak-anak yang tidak lulus dari satuan pendidikan SMK harus mengikuti ujian kesetaraan yang sebenarnya diperuntukkan bagi anak-anak SMA.
Anak SMK harus mengerjakan soal-soal ujian yang sebenarnya tidak pernah didapatkan di bangku SMK. Anak-anak yang biasanya dihadapkan pada materi pelajaran yang banyak diorientasikan dan diaplikasikan pada materi pelajaran kejuruan ternyata harus mengerjakan soal ujian anak SMA.
Duh, tentunya hal tersebut sangat menyulitkan bagi anak-anak SMK. Dan, tanpa kita sadari hal tersebut telah menciptakan diskriminasi dan pemaksaan bagi siswa SMK.
Belum lagi kenyataan setelah mereka selesai mengikuti ujian kesetaraan, ternyata ijazah yang mereka peroleh sama sekali tidak mencantumkan program keahlian di sekolah kejuruan yang selama tiga tahun mereka jalani. Ijazah yang mereka dapat adalah ijazah SMA. Sungguh tragis!
Sesungguhnya kndisi ini sudah berlangsung selama tiga tahun, berarti seharusnya sudah ada lngkah pasti untuk mengkondisikan bahwa anak-anak yang tidak lulus dari tingkat SLTA harus atau diarahkan untuk mengikuti program Paket C, maka seharusnya pihak yang berkompeten mempersiapkan segalanya dengan baik untuk semua aspek.
Dalam hal ini, seharusnya ada pemilahan antara anak-anak dari SMA dengan anak-anak dari SMK dan ijazah yang didapatkan anak-anak seharusnya dapat mengakomodasikan program keahlian anak saat menempuh program belajar di tingkat satuan pendidikannya. Dengan demikian, maka tetap ada kekhasan dari lulusan.
Kebijakan sperti ini seharusnya dilakukan sebab ojazah yang diperoleh anak didik, khususnya yang berasal dari SMK adalah untuk mencaripekerjaan atau menjual kompetensi diri pada masyarakat. Jika ternyata ijazah yang mereka miliki sama sekali tidak menyebutkan kualifikasi mereka, tentunya hal tersebut semakin menyia-nyiakan waktu tiga tahun yang telah mreka tempuh.
Kita bayangkan saja, selama tiga tahun mereka belajar tentang berbagai teori kejuruan dan ditambah dengan belajar keterampilan sesuai dengan program keahlian, tetapi semua itu tdak ada satu pengakuan dari ijazah yang diperoleh dari program Paket C. sementara kita mengetahui bahwa untuk melamar pekerjaan, maka CV yang dibuat harus dilengkapi dengan jazah yang kualifikasinya sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan.
Tetapi, bagaimana lagi, mereka harus terima kondisi tersebut. Itulah tawaran solusi yang dianggap paling baik oleh pemerintah atau yang selama ini disiapkan oleh pemerintah. Kalau demikian halnya, berarti tidak ada usaha positif untuk menyesuaikan program dengan kondisi di lapangan. Artinya, anak SMK yang gagal seharusnya mengikuti program Paket C yang memang berisi tentang kejuruan dan pada akhirnya memberikan ijazah dengan kualifikasi kejuruan.
Bagaimana-pun ijazah masih tetaplah hal utama di negeri ini pada saat seseorang mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan. Seseorang dapat saja terjegal atau gagal dalam suatu kegiatan jika ternyata tidak meiliki ijazah yang sesuai dengan kualifikasinya.
Dan, beratnya lagi, keterampilan yang dimiliki oleh seseorang belum dapat dijadikan sebagai jaminan untu dapat memperoleh pekerjaan selama tidak ada selembar ijazah yang menunjukkan latar belakang pendidikannya. Dan, anehnya orang boleh saja bekerja di bidang lain selain kualifikasinya selama dia dapat menunjukan selembar ijazah terakhir sesuai dengan aturannya. Oleh karena itulah, bukan sesuatu yang aneh jika lulusan berijazah SMA dapat menjadi teknisi dan lulusan SMK dapat emnjadi petugas pembukuan. Yang penting ada selembar ijazah!
Bagaimana dengan ijazah Paket C? kita tidak mengecilkan kondisi, tetapi kenyataannya banyak perusahaan yang tidak dapat menerima mereka sebagai tenaga kerja hanya berbekal ijazah Paket C. Mungkin mereka berpandangan bahwa mereka yang lulus Paket C adalah sortiran dari anak-anak berkualitas pada satuan pendidikan yang diikutinya! Mereka dianggap tidak berkualitas, apalagi jika ternyata pada lembar ijazahnya sama sekali tidak mencantumkan kualifikasi program keahliannya!
Oleh karena itulah, sebaiknya pengadaan program penyetaraan inipun melingkupi program kejuruan sehingga dapat menyeluruh untu anak-anak yang tidak lulus. Atau barangkali, lebih baik tanpa adanya kesempatan mengikuti ujian persamaan tetapi tetap harus mengulang belajar di kelas III. Tentu saja di dalam hal ini pemerintah, sekolah dan institusi terkait ikut memikirkan pendanaan bagi anak-anak yang mengulang, misalnya dengan bantuan khusus pengulangan pendidikan. Dengan demikian, maka institusi pendidikan benar-benar dikondisikan secara tepat dan dalam hal ini berarti jika anak memang gagal, maka harus mengulang belajar, tidak dikondisikan mengikuti program Paket C dan kemudian lulus dengan menyandang status sebagai lulusan PLS untuk kelompok SMA, padahal anak berasal dari satuan pendidikan kejuruan!
Rasanya, di setiap akhir tahun dunia pendidikan di negeri ini selalu saja menyisakan permasalahan. Dan, pada akhirnya semua hanya menjadi wacana, seperti kembang api yang begitu semarak pada saat meletus di udara malam, tetapi perlahan hilang dan akhirnya menyisakan kelamnya angit malam. Begitulah dunia pendidikan kita.
Lantas, kapan kita dapat membuat dunia kita terus terang benderang penuh kebahagiaan dan penuh dengan aroma segar? Wallahu Alam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar