Sabtu, 19 Juli 2008

Pendidikan untuk Anak Bangsa

Dunia pendidikan memang telah menjadi harapan utama dari anak didik dan orangtua atau masyarakat secara umum. Mereka berebut untuk dapat masuk ke sekolah-sekolah favorit sehingga berbagai cara dilakukan agar lolos lubang jarum seleksi masuk. Sekolah telah menjadi obor bagi perbaikan kondisi ataupun kompetensi diri. Tetapi, apakah sudah sedemikian rupa atensi positif masyarakat kepada sekolah sebagai institusi penyelenggara proses pendidikan dan pemelajaran?
Coba kita telaah secara teliti, maka setidaknya penentuan pilihan sekolah tempat belajar tidak lepas dari kualitas yang disajikan oleh sekolah bersangkutan. Semakin berkualitas, maka semakin banyak peminatnya. Ini merupakan hukum alam, banyak gula pasti banyak semut!
Yang menjadi permasalahan adalah jika ada sekolah yang ajimumpung! Karena banyak orangtua siswa. siswa yang kepingin berseklah di sekolah tersebut, maka mereka berlakukan sistem uang masuk yang 'berlebihan', di luar kewajaran. Tentunya jika hal tersebut terjadi, maka setitik nila dalam menyebabkan seluruh bagian tercemar!
Oleh karena itulah, maka perlu adanya sebuah sistem yang mengatur proses penerimaan siswa baru dan benar-benar dimonitor dengan sebaik-baiknya agar tidak terlalu banyak terjadi penyimpangan. kalau untuk sekolah saja harus mengeluarkan dana yang sangat besar, lantas bagaimana dengan mereka yang berdana pas-pasan atau bahkan sama sekali tipis?
Sebenarnya, pendidikan itu untuk siapa?
Pemerintah sudah mencanangkan wajar 12 tahun, tetapi masih banyak anak usia sekolah yang berceceran di perempatan jalan atau di temapt-tempat umum, justru pada saat jam-jam belajar dan jika ditanya, ternyata mereka sudah tidak bersekolah lantaran tidak berbiaya. Duh, untuk sekolah saja sulit!
Sekolah itu pada awalnya kan didirikan untuk menampung dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak bangsa untuk menempuh proses pembelajaran sehingga meningkat kualitas dirinya agar dapat menjawab tantangan jaman yang serba global. tetapi jika kemudian yang berkesempatan hanya yang mempunyai dana besar, lantas yang tidak mampu apakah terus menjadi pecundang?


Tidak ada komentar: