Sabtu, 12 Juli 2008

Perlu Memahami Pola Kompetensi Siswa

Oleh: Mohammad Saroni, Guru SMk Brawijaya Mojokerto

Pada saat kita melakukan proses pemelajaran, tujuan utama kita adalah mengubah kompetensi dasar siswa sehingga sesuai dengan program pendidikan secara umum dan tujuan hidup siswa pada khususnya. Tetapi yang sering terjadi adalah ‘pemaksaan’ terhadap anak didik atas aspek pemelajarannya. Artinya, siswa harus mengikuti materi pemelajaran sebagaimana yang sudah disusun dalam kurikulum. Sudah ada batas-batas yang harus dijalankan oleh siswa agar proses pemelajaran dan pendidikannya berhasil.

Tentunya, jika kita menelaah lebih lanjut, maka setidaknya kondisi seperti ini telah menciptakan sebuah oligopoly dan monopoli terhadap siswa. Siswa harus mengikuti apa saja yang harus dipelajarinya sesuai dengan jatah kurikulumnya. Bahkan, untuk siswa yang sudah menguasai materi pelajaran-pun, selama ini ternyata masih harus menunggu teman-temannya yang belum menguasai materi tersebut. Mereka yang mempunyai kemampuan lebih harus mengikuti ulang materi pelajaran yang diberikan guru untuk siswa yang masih kurang menguasai. Alasan yang paling utama adala biar mereka lebih ‘matang’ pada materi pelajaran tersebut.

Apakah seperti itu halnya? Apakah hanya karena ada siswa yang belum mampu menguasai materi pelajaran, lantas siswa yang sudah mampu harus menunggu teman-temannya yang belum dapat? Hal ini bukan hanya isapan jempol, tetapi benar-benar terjadi di kelas-kelas pemelajaran kita sebab pola pemelajaran kita adalah pem-belajaran tuntas. Sehingga jika ada siswa yang belum menguasai materi pelajaran, maka mereka harus mempelajari ulang, remedial materi pelajaran. Tetapi, sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan pemilahan terhadap siswa yang sudah tuntas sehingga mereka harus mengikuti ulang materi yang diberikan oleh guru untuk siswa yang belum menguasai. Apa yang kita alami adalah, anak yang sudah merasa mampu menjadi lepas kendali sebab apa yang diajarkan oleh guru sudah dikuasainya. Kesan yang kita dapatkan adalah mereka meremehkan penjelasan guru.

Hal ini tentunya sangat mengganggu kerja guru atau proses pemelajaran secara keseluruhan. Bagaimana seorang guru dapat mengajar jika ternyata para siswanya tidak memberikan apresiasi yang bagus pada kegiatan mereka. Oleh karena itulah, maka perlu adanya langkah konkrit dari guru untuk menentukan kebijakan berkaitan dengan adanya siswa yang terlambat dalam penguasaan materi belajarnya.

Dengan kondisi seperti ini, maka yang terjadi adalah hambatan terhadap siswa yang mempunyai kecepatan belajar tinggi. Mereka harus menunda waktu pelajaran untuk memberi kesempatan teman-temannya menguasai materi pelajaran.

Jika proses pemelajaran tetap seperti ini, maka selamanya siswa tidak dapat berkembang sesuai dengan kompetensi dirinya. Mereka akan terkung-kung oleh keharus-an-keharusan di luar kompetensi dirinya. Sementara, kompetensi dirinya tergilas olehnya.

Oleh karena itulah, maka hal terutama yang harus diperhatikan adalah kompetensi dasar siswa. Kita harus mengetahui secara baik kemampuan yang dimiliki oleh siswa sehingga kita dapat merencanakan pemelajaran yang proporsional. Pemelajaran proporsional dalam hal ini diartikan sebagai upaya untuk menyesuaikan kemampuan siswa dengan materi pelajarannya.

Kita memberikan pemelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, bukan sekedar sesuai dengan jatah pemelajaran yang ada di kurikulum. Dengan demikian, maka siswa dapat menjalani proses belajar secara maksimal. Siswa mempelajari hal-hal yang dikuasainya sehingga secara langsung me-mahaminya. Sementara jika siswa harus mempelajari apa yang tidak dikuasai, tentunya akan mengalami hambatan.

Kemampuan siswa beragam

Seperti kita ketahui, setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda dengan yang lainnya. Ada siswa yang begitu cepat memahami materi yang diajarkan guru, tetapi ada juga siswa yang begitu sulit saat harus memahami segala konsep pemelajaran oleh guru. Jika hal seperti ini kita biarkan, maka di dalam proses pemelajaran terjadi tumpang tindih posisi siswa berdasarkan kemampuannya sehingga berakibat pada sikap siswa saat mengikuti proses pemelajaran.

Akibat keberagaman kompetensi siswa ini, maka di dalam kelas pemelajaran terjadi lapisan-lapisan siswa berdasarkan tingkat kemampuan kecerdasannya. Dimana, ada lapisan siswa yang sudah tuntas pada materi pelajaran yang diajarkan guru, tetapi ada juga siswa yang belum tuntas. Dan, berprinsip pada pemelajaran tuntas, maka guru diwajibkan untuk melakukan kegiatan remidi bagi siswa yang belum tuntas sehingga mereka benar-benar tuntas.

Kegiatan remidi yang diberikan guru kepada siswa belum tuntas memang cukup bagus untuk mengantarkan siswa sampai pada koridor pemelajaran yang diharapkan. Tetapi, selama ini yang kurang dipahami adalah kondisi atau posisi siswa yang sudah tuntas. Akibat yang seringkali kita temukan adalah siswa yang sudah tuntas masih harus mengikuti proses pemelajaran untuk teman-temannya yang belum tuntas. Mereka harus ikut mempelajari materi yang sebenarnya sudah mereka selesaikan.

Kondisi seperti ini jika kita telaah, cukup merugikan bagi siswa yang sudah tuntas. Sebab, jika mereka harus mengikuti proses pemelajaran remidi untuk teman-temannya, berarti dia harus mengulang lagi. Mereka sudah memahami konsep-konsep yang diajarkan guru, tetapi harus mengulang lagi, bukankah ini sebuah pemborosan waktu dan energi semata?

Mungkin pada sisi guru hal tersebut dianggap sebagai hal positif sebab dengan mengikuti materi ulang, maka siswa semakin menguasai dan memahami konsep pelajaran. Mereka akan semakin matang pada materi bersangkutan. Tetapi, guru melupakan faktor yang lainnya, misalnya tingkat kejemuan siswa saat harus mengulang sesuatu yang sudah dikuasainya. Guru harusnya memahami dan menyadari bahwa melakukan sesuatu yang sudah kita kuasai merupakan sesuatu yang membuat boring, bosan. Kecenderungan kita adalah melakukan segala yang baru bagi diri kita.

Tidak heran jika kemudian yang kita hadapi di dalam proses pemelajaran adalah siswa-siswa yang suka mengganggu teman-temannya. Mereka memang tidak mempunyai tugas dan kewajiban yang menjadikan mereka berkonsentrasi, sehingga mereka menjadi usil. Tentunya hal seperti ini sangat mengganggu proses pemelajaran yang kita lakukan.

Untuk itulah, maka seharusnya kita memikirkan langka-langkah efektif sehingga setiap siswa mendapatkan jatah pemelajaran sesuai dengan tingkat kemampuannya. Mereka tidak perlu mengulangi materi yang sudah dikuasai-nya hanya karena ada temannya yang belum tuntas.

Pemelajaran berlapis

Dengan mengetahui secara pasti kemampuan siswa, maka guru dapat secara jelas mengelola proses pemelajaran yang dibinanya. Guru dapat memberikan jatah pemelajaran sesuai dengan kemampuan siswanya. Dengagn demikian, maka siswa yang sudah menguasai satu materi dapat melanjutkan proses belajarnya pada materi kedua dan seterusnya.

Memang langkah ini sangat sulit dan rumit bagi seorang guru, di dalam satu kelas harus membimb ing berbagai kompetensi dasar (KD) bagi siswanya. Tetapi kita kembali pada konsep bahwa siswa harus mendapatkan jatah belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya dan kita tidak dapat membelenggu siswa pada materi pelajaran yang sudah dikuasainya.

Ada sebuah konsep mengatakan bahwa untuk proses pemelajaran yang seperti ini, maka pendekatan sosial secara personal dapat diterapkan sebagai bentuk pemelajaran sikap. Dengan menanamkan pemelajaran sikap ini, maka siswa dapat memposisikan diri sesuai dengan tuntutan interaksi sosial antar personal di kelas. Konsep ini cukup bagus, tetapi rasanya tidak efektif jika dikaitkan dengan percepatan pemelajaran yang sudah menuntut kita pada abad dua puluh satu!

Dengan kemampuan dan kecerdasan anak yang beragam, kompleks, tentunya memerlukan penanganan yang kompleks juga. Kita tidak dapat hanya mengandalkan satu atau dua metode penanganan sebab hal tersebut hanya menyelesaikan satu aspek saja. Oleh karena itulah, maka setiap siswa yang telah menguasai materi pelajaran, maka sudah selayaknya dia mendapatkan jatah pemelajaran berikutnya. Tidak perlu mengikuti teman-temannya yang kesulitan, apalagi harus menunggu semata dengan penekanan pemelajaran sosial bagi siswa.

Pemelejaran sosial seharusnya sudah diberikan oleh guru pada pelajaran budi pekerti, secara tersendiri. Jadi pemelajaran budi pekerti adalah pelajaran yang menekankan pada pola sikap, pola tutur kata dan berbagai pola interaksi sosial yang baik dalam kehidupan.

Keberagaman kemampuan siswa ini-pun terjadi pada pola interaksi sosialnya. Sehingga jika pola ini hanya diajarkan sebagai bagian dari proses pelajaran, yang rata – rata diberikan secara sambil lalu saja. Jika waktu masih lama, pemberiannya cukup banyak sehingga memakan jatah waktu untuk mempelajari materi pokok. Tetapi jika waktu sudah sangat mendesak dan materi belum tuntas, maka pelajaran budi pekerti sama sekali tidak diberikan kepada siswa.

Untuk menghadapi kondisi seperti itu, maka pemelajaran berlapis, mungkin menjadi salah satu solusi terbaik bagi proses pemelajaran. Dengan proses pemelajaran berlapis setidaknya kita menghilangkan kemungkinan kebosanan siswa saat mengikuti proses pemelajaran. Hal ini karena pada konsep pemelajaran berlapis, siswa yang sudah menyelesaikan materi pelajaran, dapat melanjutkan belajar untuk materi selanjutnya.

Kita memang harus menerapkan proses pemelajaran berlapis jika ingin mencapai tujuan pemelajaran maksimal dan berkeadilan. Dala hal lainnya, proses pemelajaran berlapis mampu meniadakan kemungkinan siswa ‘nakal’ saat proses pemelajaran berlangsung hanya karena mereka sudah menyelesaikan tujuan pemelajaran, yaitu memahami, mengerti dan menguasai konsep-konsep yang diajarkan pada kompetensi dasar materi pelajaran. Dengan pemelajaran berlapis, maka siswa tidak mempunyai waktu luang untuk melakukan hal-hal diluar skenario pemelajaran yang sudha kita susun.

Pemelajaran utuh ya mencakup Afektif, Kognitif, dan Psikomotor

Tidak heran jika ternyata hasil proses pemelajaran di dunia pendidikan kita saat sekarang tidak lengkap. Secara umum, konsep pendidikan dan pemel-ajaran mencakup tugas aspek utama, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotor. Tetapi, pada aplikasinya, maka yang sering dan banyak diberikan hanyalah aspek kognitif dan psikomotor saja. Hal ini karena pemberikan materi afektif yang ‘dititipkan’ pada materi pelajaran secara umum.

Sementara kita menyadari bahwa siswa kita saat sekarang kebanyakan bukan pembelajar yang baik. Mereka hadir di kelas pemelajaran seringkali hanya ‘wadag’ saja, sedangkan ruhnya berjalan-jalan entah kemana. Repotnya lagi, guru tidak tanggap pada kondisi seperti itu! Maka sempurnalah kekurang-an yang terjadi dalam dunia pendidikan kita.

Menyadari hal tersebut, maka setidaknya kita perlu mengingatkan kembali pada semua pihak, termasuk siswa bahwa aspek pemelajaran yang ter-penting ada 3 (tiga) aspek tersebut dan diwajibkan bagi siswa untuk mencapai Standar Kelulusan Minimal (SKM) yang sudah ditentukan oleh sekolah. Jika ternyata siswa tidak sanggup mencapai standar kelulusan minimal, maka yang bersangkutan harus menempuh pemelajaran remedial, untuk memperbaiki atau mempelajari ulang materi sehingga mereka benar-benar menguasai materi dan dibuktikan dengan pencapaian nilai diatas SKM tadi.

Seorang guru belum dikatakan berhasil melaksanakan tugas pemelajaran-nya jika ternyata salah satu aspek pemelajaran tersebut belum dikuasai siswa. Misalkan siswa berhasil melewati SKM kognitif dan psikomotor, tetapi gagal pada afektifnya, maka siswa tersebut dinyatakan tidak lulus SKM dan harus mengikuti pemelajaran remidial.

Hal ini terkait dengan konsep pemelajaran yang mengharapkan dicapai-nya pemelajaran tuntas. Jadi dalam hal ini, pemelajaran tuntas bukan semata-mata diartikan bahwa semua siswa harus ‘naik’ kelas saat akhir semester genap. Memang pada akhirnya semua siswa ‘naik’ tetapi beberapa siswa harus menjalani ‘proses’ khusus sebelum benar-benar dinyatakan ‘naik’. Jika hal seperti ini kita lakukan, maka pemelajaran yang kita lakukan benar-benar tuntas, artinya siswa benar-benar menguasai seluruh materi pelajaran yang emnajdi jatah belajar mereka.

Jika kita menelaah semua uraian di atas, maka setidaknya kita benar-benar meyakini betapa pentingnya bagi kita, guru untuk memahami pola kompetensi para siswanya. Sebagai fasilitator pembelajaran dan pendidikan, maka sudah seharusnya seorang guru memahami bidang garapannya, yaitu siswa dan segala hal terkait dengan belajar dan pendidikan.

Sementara itu, kompetensi belajar siswa dapat juga kita katakan sebagai kemampuan terbaik siswa di dalam proses pemelajaran dapat dicapai berdasar-kan gaya belajarnya, yang seringkali dilakukan siswa saat belajar. Macam gaya belajar ini merupakan pola kompetensi siswa, yaitu:

  1. Gaya belajar dengan melihat apa yang dipelajari dan disebut dengan gaya visualistik

Pada kelompok pola kompetensi siswa ini keistimewaannya adalah bahwa mereka mudah sekali memahami konsep-konsep materi pelajaran jika mereka melihat secara langsung apa yang sedang dipelajarinya.

Mereka tidak perlu banyak pengantar, perlihatkan secara langsung aspek yang sedang dipelajari, maka semua konsep pelajaran dapat dikuasai dan dipahami oleh siswa-siswa yang pola kompetensinya visual.

  1. Gaya belajar dengan mendengarkan apa yang dipelajari dan disebut dengan gaya auditori

Kelompok ini mempunyai kelebihan pada pendengarannya. Mereka memahami, menguasai konsep-konsep pelajaran dari kegiatan men-dengar. Mereka pada umumnya adalah pendengar yang baik.

Dalam hal ini, guru harus benar-benar memahami bahwa siswanya mampu mengikuti dan memahami pelajarannya dengan mendengarkan uraian konsep secara verbal.

  1. Gaya belajar dengan melakukan secara langsung apa yang dipelajarai dan disebut dengan gaya kinestika

Kelompok ketiga adalah kelompok pola pembelajaran yang mengandal-kan proses dengan cara melakukan segala hal terkait dengan konsep pemelajaran. Dalam hal ini, siswa dapat berhasil mengikuti dan me-mahami pelajaran dengan cara melakukan secara langsung. Dalam hal ini berarti kita menerapkan learning by doing pada siswa.

Learning by doing merupakan konsep pemelajaran dengan dasar peng-utamaan praktek daripada teori. Guru tidak perlu repot-repot atau terlalu bertele-tele menjelaskan isimateri pelajarannya, melainkan langsung memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan berbagai kegiatan berkaitan dengan materi pelajarannya.

Ketiga pola pembelajaran tersebut diatas merupakan bahan dasar bagi guru untuk melaksanakan proses pembelajaran yang efektif. Jika konsep pola kompetensi siswa tersebut benar-benar dipahami dan dikuasai oleh guru, maka tentuanya proses pemelajaran yang dipandunya dapat berlangsung secara efektif dan berhasil maksimal.

Tetapi kemudian kondisi tersebut masih perlu dianalisa dan dikorekjsi ulang sebab menurut Gardner, sebenarnya setiap orang mempunyai pola kemampuan yang beragam. Seringkali diketemukan bahwa ada siswa atau orang dengan pola kompetensi yang kompleks. Ada yang mampu melakukan proses pemelajaran dengan menerapkan pola kompetensi lebih dari satu macam. Kondisi ini disebut juga kecerdasan multi.

Maka, tidak heran jika ternyata ada siswa yang pola kompetensi belajar-nya merupakan kombinasi atau kolaborasi dari pola-pola yang sudah ada. Seorang siswa tidak hanya mempunyai pola kompetensi visual, melainkan dapat juga gabungan visual dengan auditori atau ktiga-tiganya secara bersamaan. Kita menyadari bahwa, jika kita melihat, maka kita dapat melupakannya, kita kita mendengar, maka kita dapat mengetahuinya dan jika kita melakukannya, maka kita dapat.

Oleh karena itulah, maka seorang guru harus benar-benar memahami konsep dan pola kompetensi siswanya jika ingin proses pemelajaranya berhasil maksimal. Hal terkait pada kenyataan bahwa yang sedang mnelakukan proses belajar adalah siswa, sehingga kita sebenarnya hanyalah memfasilitasi kegaiatn mereka.

Guru bukan penentu keberhasilan dari suatu proses pemelajaran. Kalau-pun menentukan, maka hal tersebut sangatlah kecil. Di dalam proses belajar, yang melakukan kegiatan harusnya siswa. Siswalah yang sedang melakukan proses belajar, bukan guru. Oleh karena itulah, maka semakin aktif siswa menjalankan kegiatan belajarnya, maka semakin besar peluang mencapai keber-hasilan belajarnya. Dan, seorang guru harus memahami hal tersebut.

Maka, selamat bagi semua guru yang mampu menempatkan posisinya dalam memfasilitasi pola kompetensi siswanya sehingga siswa benar-benar belajar dan mengalami proses belajar tersebut sebagai pengalaan berarti.

Tidak ada komentar: