Pendidikan budi pekerti akhir-akhir ini mejadi harapan paling utama untuk lebih mengarahkan anak didik pada kondisi terkontrol secara intern. Seperti kita ketahui bahwa pendidikan budi pekerti lebih menekankan pada upaya untuk membangkitkan kesadaran atas pola kehidupan positif yang berpusat dan mengalir dari diri masing-masing orang.
Dan, sekolah telah menjadi satu-satunya institusi yang sangat diharapkan masyarakat untuk dapat memberikan materi atau proses pemelajaran sikap, budi pekerti pada anak-anak sehingga mampu menerapkan dalan kehidupan nyata. Oleh karena itulah, maka sekolah harus mampu memberikan jawaban yang signifikan dengan keinginan serta kebutuhan tersebut. Diakui atau tidak konsep pemelajaran budi pekerti di dalam hal ini bukanlah sekedar keinginan melainkan telah emjadi sebuah kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh sekolah dan juga para pemerhati pendidikan di negeri ini.
Di setiap saat kita melihat kenyataan bahwa anak-anak kita telah kehilangan jati dirinya sehingga di dalam proses pergaulannya mereka seakan bukan anak-anak kita lagi. Mereka telah menjadi pribadi yang sangat lain dengan pola kehidupan yang selama ini kita terima sebagai warisan nenek moyang, yang kita anggap sangat tepat bagi kita semua.
Tetapi, era globalisasi menjadikan semuanya berantakan. Pola kehidupan positif yang kita didikan pada anak sejak di lingkungan rumah , tak ada lagi di diri anak. Semua itu telah luntur dan terkelupas oleh kondisi kehidupan di masyarakat yang begitu berbeda dengan pola yang diterapkan di lingkungan keluarga.
Dalam hal ini, yang dibutuhkan oleh sekolah adalah komitmen dari masyarakat sedemikian rupa sehingga ikut mendukung langkah konkrit yang dilakukan oleh sekolah di dalam upaya meningkatkan ataupun melaksanakan proses pemelajaran budi pekerti pada anak didik. Hal ini sangat diperlukan oleh sekolah, khususnya oleh para guru agar pada saatnya nanti tidka terjadi kesalahpahaman antara skeolah, guru dengan orangtua anak didik.
Kita melihat, mendengar betapa banyak guru yang diperkarakan oleh orangatua dengan alasan guru telah melakukan tindakan kekerasan pada anak didik. Coba hal ini kita telaah lebih lanjut! Bagaimana enaknya seorang guru saat memberikan pemelajaran budi pekerti pada anak didik, eh ternyata tindakannya untuk mengarahkan anak didik dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran kekerasan terhadap anak-anak!
Guru menjadi serba repot jika hal seperti ini terus saja dibiarkan. Jika seseorang memberikan kepercayaan pada sekolah, guru untuk melakukan proses pendidikan dan pemelajaran kepada anak-anaknya, maka seharusnya guru diberikan kesempatan untuk melakukan langkah-langkah konkrit untuk proses tersebut. Bagaimanapun, guru akan bersikap dan mengambil posisi sebagi orangatua anak di sekolah, maka tidak ada guru yang akan mencelakai anak didiknya. Tidak ada hariamu yang memakan anaknya, walaupun harimau termasuk makhluk buas! Apakah guru termasuk makhluk buas?!
Pendidikan Budi pekerti memang sangat perlu diberikan kepada anak didik, khususnya pada jaman seperti ini. Jaman sudah gonjang-ganjing dan membutuhkan orang-orang yang mengerti unggah-ungguh. Sementara unggah-ungguh tersebut hanya dapat diperoleh dari proses pemelajaran budi pekerti!
Dan, sekolah telah menjadi satu-satunya institusi yang sangat diharapkan masyarakat untuk dapat memberikan materi atau proses pemelajaran sikap, budi pekerti pada anak-anak sehingga mampu menerapkan dalan kehidupan nyata. Oleh karena itulah, maka sekolah harus mampu memberikan jawaban yang signifikan dengan keinginan serta kebutuhan tersebut. Diakui atau tidak konsep pemelajaran budi pekerti di dalam hal ini bukanlah sekedar keinginan melainkan telah emjadi sebuah kebutuhan yang harus segera dipenuhi oleh sekolah dan juga para pemerhati pendidikan di negeri ini.
Di setiap saat kita melihat kenyataan bahwa anak-anak kita telah kehilangan jati dirinya sehingga di dalam proses pergaulannya mereka seakan bukan anak-anak kita lagi. Mereka telah menjadi pribadi yang sangat lain dengan pola kehidupan yang selama ini kita terima sebagai warisan nenek moyang, yang kita anggap sangat tepat bagi kita semua.
Tetapi, era globalisasi menjadikan semuanya berantakan. Pola kehidupan positif yang kita didikan pada anak sejak di lingkungan rumah , tak ada lagi di diri anak. Semua itu telah luntur dan terkelupas oleh kondisi kehidupan di masyarakat yang begitu berbeda dengan pola yang diterapkan di lingkungan keluarga.
Dalam hal ini, yang dibutuhkan oleh sekolah adalah komitmen dari masyarakat sedemikian rupa sehingga ikut mendukung langkah konkrit yang dilakukan oleh sekolah di dalam upaya meningkatkan ataupun melaksanakan proses pemelajaran budi pekerti pada anak didik. Hal ini sangat diperlukan oleh sekolah, khususnya oleh para guru agar pada saatnya nanti tidka terjadi kesalahpahaman antara skeolah, guru dengan orangtua anak didik.
Kita melihat, mendengar betapa banyak guru yang diperkarakan oleh orangatua dengan alasan guru telah melakukan tindakan kekerasan pada anak didik. Coba hal ini kita telaah lebih lanjut! Bagaimana enaknya seorang guru saat memberikan pemelajaran budi pekerti pada anak didik, eh ternyata tindakannya untuk mengarahkan anak didik dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran kekerasan terhadap anak-anak!
Guru menjadi serba repot jika hal seperti ini terus saja dibiarkan. Jika seseorang memberikan kepercayaan pada sekolah, guru untuk melakukan proses pendidikan dan pemelajaran kepada anak-anaknya, maka seharusnya guru diberikan kesempatan untuk melakukan langkah-langkah konkrit untuk proses tersebut. Bagaimanapun, guru akan bersikap dan mengambil posisi sebagi orangatua anak di sekolah, maka tidak ada guru yang akan mencelakai anak didiknya. Tidak ada hariamu yang memakan anaknya, walaupun harimau termasuk makhluk buas! Apakah guru termasuk makhluk buas?!
Pendidikan Budi pekerti memang sangat perlu diberikan kepada anak didik, khususnya pada jaman seperti ini. Jaman sudah gonjang-ganjing dan membutuhkan orang-orang yang mengerti unggah-ungguh. Sementara unggah-ungguh tersebut hanya dapat diperoleh dari proses pemelajaran budi pekerti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar