Transfer of knowledge merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan saat proses pembelajaran. Ini merupakan konsep awal yang sampai sekarang me-rupakan salah satu tujuan pembelajaran. Kita tidak dapat memungkiri bahwa pelaksanaan proses pemelajaran memang memberikan pengetahuan yang kita miliki agar dapat dimiliki oleh siswa.
Proses transfer yang kita harapkan merupakan proses yang harus diawali dengan proses pengkondisian atau pemolaan sikap dan konsep mental siswa dan guru. Dua aspek ini harus bergerak bersama untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Tanpa kerjasama atau kesinergisan kerja, tentunya semua program hanyalah macan ompong. Tidak menggigit dan tidak mampu meng-hasilkan apapun.
Kesinergisan seringkali menjadi permasalahan mendasar yang terjadi di lapangan. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa kita bergiat dengan obyek manusia, yang dalam hal ini selalu dinamis. Setiap saat selalu berubah sebab hal ini merupakan respon otomatis diri terhadap kondisi di luar diri.
Dengan kondisi seperti ini, maka sudah seharusnya seorang guru tidak hanya bergiat dengan mendasarkan pada konsep-konsep lama. Sekarang per-kembangan jaman kondisi jaman sudah sangat pesat. Nilai-nilai yang terdapat di dalam konsep-konsep lama mungkin saja sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang ini. Apa yang dahulu dirasakan cocok untuk diri pribadi guru saat sedang menempuh pendidikan daan pemelajaran, sekarang sudah tidak relevan lagi bagi anak-anak.
Hal ini harus kita sikapi secara obyektif dan memberikan solusi terbaik sehingga tujuan pemelajaran benar-benar tercapai. Kita tidak mungkin tetap menerapkan konsep lama sementara di dalam kehidupan masyarakat telah ber-laku konsep terbaru. Siswa kita bukanlah pengepul barang bekas! Oleh karena itu, maka seorang guru harus benar-benar dapat menjadi agen perubahan atau innovator bagi proses pembelajaran yang dikelolanya.
Ya. Dunia memang dinamis dan dunia pendidikan selalu harus menye-suaikannya. Dunia pendidikan adalah lahan untuk menciptakan para pelaku kehidupan, sehingga jika kondisi prosesnya masih saja menerapkan konsep lama, tentunya akan terjadi ketimpangan proses dan lebih parah lagi hasilnya tidak sesuai dengan kondisi. Konsep yang ditanamkan pada anak diidk tidak sesuai dengan konsep terpakai dalam masyarakat. Jika hal tersebut terjadi berarti proses pembelajaran tidak mencapai tujuanya.
Oleh karena itulah, maka konsep pembelajaran dengan lebih mengutama-kan pada pengembangan menuju perkembangan perlu diterapkan oleh para guru. Dalam hal ini perlu ditumbuhkan sikap selalu ingin berkembang dan mengem-bangkan diri secara maksimal dalam segala hal, baik pada sisi guru maupun anak didik. Bukankah dalam hal ini guru adalah fasilitator pendidikan dan pemelajaran sedangkan anak diidk adalah subyek belajarnya?!
Guru harus benar-benar inovatif jika berkeinginan agar proses pembel-ajaran yang dilakukannya selalu seiring atau dapat mengimbangi perkembangan jaman yang begitu pesat. Hal ini terkait dengan tujuan pembelajaran, yaitu memberikan pengetahuan, keterampilan dan pola sikap pada siswa sehingga dapat diterapkan dalam kehidupannya. Jika proses yang kita lakukan meng-gunakan konsep lama, sedangkan kehidupan terus berkembang, tentunya pada saat siswa lulus dan terjun ke masyarakat, apa yang didapatkan di dalam proses pembelajaran sama sekali tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.
Apa perlunya mengikuti proses belajar jika ternyata saat selesai, tidak dapat diterapkan di dalam kehidupan bermasyarakat?
Dunia pendidikan memang merupakan dunia yang dituntut untuk selalu dapat memenuhi berbagai kebutuhan, bahkan kepentingan dalam kehidupan. Untuk hal tersebut, maka orang-orang yang bergiat di dalam dunia pendidikan adalah orang-orang yang bersikap tegas tetapi fleksibel. Ketegasan disini di-tujukan untuk menciptakan kondisi penuh kedisiplinan, sedangkan fleksibelnya diarahkan untuk selalu dapat menanggapi setiap kebutuhan hidup masyarakat. Dengan ketegasan yang diterapkan oleh guru, maka proses pemelajaran dapat dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah disusun dan tidak menyim-pang. Sedangkan fleksibel diarahkan agar proses belajar tidak hany mengikuti program nati, melainkan semua program yang dicanangkan adalah jawaban atas semua kondisi masyarakat.
Disinilah dilema yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan. Pada satu sisi dibutuhkan kondisi disiplin tinggi sehingga dihasilkan output yang mem-punyai kontrol nurani yang tinggi terhadap setiap kondisi. Pada sisi yang lain, lulusan sekolah harus dapat bersikap fleksibel terhadap kondisi kehidupan masyarakat. Padahal, jika kita bersikap fleksibel, tentunya hal tersebut merupa-kan indikasi dari ketidakdisiplinan. Tetapi, dalam hal ini kedua konsep tersebut jika diterapkan secara seimbang, tentunya dapat memberikan hasil bagus pada kedisiplinan dan fleksibilitas konsep terhadap praktik di masyarakat.
Mungkin kita perlu mengubah imej kita tentang fleksibelitas pendidikan terhadap kehidupan masyarakat. Bahwa fleksibelitas yang kita maksudkan ada-lah upaya dunia pendidikan untuk menyesuaikan materi pembelajaran yang di-berikan kepada siswa dan cara-cara efektif yang harus dilakukan agar tujuan pembelajaran benar-benar relevan. Dalam hal ini kita tidak boleh terlalu kaku terhadap konsep lama. Jangan berpendapat bahwa konsep yang selama ini kita terapkan dapat memberikan hasil bagus lantas dengan semangat empat
Perubahan Paradikma Konsep Pendidikan
Akibat perkembangan pola kehidupan di era globalisasi, dimana pada kenyataannya eksistensi sekolah sebagai institusi penyelenggara pendidikan dan pemelajaran sudah mengalami penurunan atensi dari masyarakat. Masyarakat sudah berkurang kontribusinya terhadap eksistensi dunia pendidikan.
Hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya home schooling atau bimbingan belajar di masyarakat. Masyarakat seakan telah kehilangan kepercayaan ter-hadap eksistensi beserta segala atributnya. Bahkan system pendidikan dan pemelajaran dianggap sudah tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat se-karang ini.
Salah satu aspek yang seringkali menjadi sorotan adalah masih diterap-kannya pembelajaran klasikal dan teoritis. Sementara sejak tahun-tahun kema-rin, saat diterapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), tujuan yang hendak dicapai adalah anak-anak yang berkompetensi, berkemampuan terhadap aspek pemelajarannya. Dimana untuk mencapai kondisi tersebut, maka perlu learning by doing secara utuh. Dan, itu artinya anak didik tidak harus selalu berada di ruangan kelas , klasikal untuk mendapatkan teori-teori pemelajaran. Seharusnya anak-anak melakukan secara langsung konsep-konsep pemelajaran dalam ke-giatan belajar di lingkungan sesuai dengan tema pemelajaran.
Sebenarnya konsep ini sudah sejak dahulu dicanangkan, learning by doing dengan pola pemikiran bahwa jika anak didik langsung melakukan kegiatan belajarnya, maka hasil belajarnya adalah pengalaman terbaik. Dengan melaku-kan proses pemelajaran secara langsung, maka penanaman konsep di hati anak didik semakin kuat.
Ketika anak didik melakukan sebuah kegiatan belajar, maka pada saat tersebut tertanamkan konsep kognisi, efeksi dan psikomotoris di dalam dirinya. Ketiga aspek tersebut dilakukan secara bersamaan sehingga menjadi sebuah keutuhan. Hal ini terkait dengan konsep bahwa di dalam proses pemelajaran, anak didik adalah subyek belajar. Dengan posisi seperti itu, maka kewajiban anak didik adalah melakukan kegiatan belajar.
Sementara posisi guru di dalam proses belajar adalah sebagai fasilitator, yaitu pihak yang mendampingi anak didik dalam menjalani proses belajarnya. Dengan posisi ini, maka keberhasilan proses pembelajaran sebenarnya tergan-tung pada kualitas belajar anak didik. Sementara guru hanya mendampingi anak didik menuju keberhasilannya tersebut.
Kemampuan diri memang merupakan tujuan proses pendidikan dan keterampilan adalah yang terutama. Misalnya, ketika anak didik mempelajari konsep matematika, mereka tidak hanya harus mampu, melainkan harus terampil dalam mengelola konsep matematika tersebut. Anak didik tidak hanya dapat mengetahui hasil dari belajar, melainkan harus mengetahui proses belajar-nya. Misalnya, ketika anak didik harus menyelesaikan perhitungan 2 + 5, maka konsep pemelajaran sekarang tidak hanya mengkondisikan anak didik meng-hafalkan hasilnya, yaitu 7. Dalam konsep ini, yang kta harapkan adalah anak didik harus menguasai proses menghitung sehingga didapatkan hasil 7. jika dahulu, saat kita belajar perkalian, maka setiap pagi, secara bergantian kita harus mengucapkan dengan suara keras di depan kelas. Ini adalah konsep menghafal.
Saat sekarang, konsep tersebut tidak lagi diterapkan sebab penghafalan dianggap sangat tidak mendidik perkembangan anak didik. Dengan menghafal, sebenarnya anak didik tingkat kepandaianya tergantung pada kemampuan mengingat, daya ingatnya. Dengan demikian, maka tidak ada konsep yang diku-asai oleh anak didik..
Memang, konsep ini sedemikian sederhananya dan dapat diterapkan oleh semua guru, tetapi dengan hanya menghafal, maka anak didik tidak mempunyai proses kerja dari konsep. Seperti ketika kita bertanya tentang alamat pada seorang anak dan ternyata sang anak hanya tahu tempatnya saja. Sementara jika kita meminta mereka menggambarkan secara detail tempat tersebut, mereka kesulitan.
Yang kita inginkan adalah selain mereka mengetahui sebuah tempat, mereka juga mengetahui proses mencapai tempat tersebut. Jalur menemukan sebuah tempat jauh lebih bik daripada sekedar mengetahui posisi sebuah tempat. Demikian juga halnya dalam berhitung, yang terpenting adalah bagai-mana seorang anak didik memproses perhitungan dan bukan sekedar hasil dari perhitungan tersebut.
Perubahan Persepsi Dunia Pendidikan
Institusi pendidikan selama ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Berbagai konsep dica-nangkan untuk mewujudkan semua itu. Tetapi, setiap saat persepsi masyarakat terhadap pendidikan selalu mengalami perubahan sejalan dengan dinamisasi kehidupan.
Perubahan persepsi masyarakat terhadap dunia pendidikan terutama pada follow up dari pendidikan itu sendiri. Selama ini konsep yang dicanangkan oleh dunia pendidikan ternyata belum mampu, bahkan tidak mampu meng-kontribusi kebutuhan masyarakat pada sistemnya.
Masyarakat mengharapkan anak-anak yang menempuh proses pemel-ajaran dapat memperoleh materi pemelajaran secara maksimal hingga mampu dijadikan sebagai bekal menghadapi kehidupannya. Padahal sebelumnya, mereka mengharapkan anak-anak yang menempuh proses pemelajaran mem-punyai kesempatan melanjutkan proses belajar. Maka sekarang ini para orangtua, masyarakat berharap agar anak-anak setelah menyelesaikan proses pemelajaran mempunyai keterampilan yang mampu membuatnya survival dalam hidup.
Demikian juga halnya pemerintah terhadap dunia pendidikan tingkat lanjutan. Perhatian pemerintah untuk saat sekarang lebih diarahkan untuk menyiapkan proses pemelajaran keterampilan yang variatif dan khas. Dengan bekal keterampilan inilah, maka diharapkan anak-anak dapat menjadi tenaga-tenaga terampil dan tidak menganggur dalam masyarakat.
Untuk konsep tersebut, pemerintah menerapkan wacana 60 : 40, artinya pada saat sekarang perbandingan sekolah kejuruan dengan sekolah umum diharappkan mencapai 60 % : 40 %. 60% untuk sekolah kejuruan dan 40% untuk sekolah umum. Hal ini jelas tergambarkan bahwa orientasi pemerintah terhadap pembelajaran kejuruan juga mengalami perubahan.
Jika dahulu rasio sekolah lebih besar pada sekolah umum, maka sekarang lebih besar pada sekolah kejuruan. Tentunya hal ini sangat melegakan bagi sekolah kejuruan yang selama ini seakan tersisihkan. Tetapi, tentunya sebagai konsekuensinya, maka sekolah kejuruan harus mampu melakukan berbagai langkah untuk mengkondisikan proses pemelajaran yang diterapkan.
Untuk menghadapi kondisi persepsi dan segala hal terhadap dunia pendidikan, maka sangat perlu adanya inovasi pada proses pemelajaran. Dengan inovasi ini, maka diharapkan dapat tercapai kesamaan persepsi terhadap dunia pendidikan kita.
Memang, eksistenasi dunia pendidikan tidak dapat disahkan dari kehi-dupan secara luas sebab pada dasarnya setiap kegiatan yang dilakukan dalam dunia pendidikan adalah bentuk kecil dari kehidupan masyarakat dan ke-hidupan masyarakat adalah implementasi semua materi pelajaran yang diberi-kan di sekolah.
Kita tidak perlu menguraikan, mana yang terlebih dahulu antara proses pemelajaran di sekolah dengan pola kehidupan di masyarakat. Hal tersebut hanya akan memunculkan pertanyaan siklus antara telor dengan ayam. Lebih awal mana, telor dengan ayam?
Yang terpenting dalam hal ini adalah peningkatan daya inovasi semua pihak terkait dalam dunia pendidikan sehingga proses pemelajaran yang diterapkan benar-benar dapat mengkontribusi kebutuhan masyarakat secara signifikan dan bukan menjadi kegiatan sia-sia.
Inovasi memang sangat diperlukan dalam segala bidang. Begitu juga halnya dengan dunia pendidikan yang kedinamisannya mengikuti dinamisasi kehidupan masyarakat. Setidaknya, dunia pendidikan tidak boleh terlalu keting-galan dibelakang kehidupan masyarakat. Jika memungkinkan, dunia pendidikan harus menjadi pusat replikasi masyarakat terhadap pola kehidupannya. Dan, semua itu membutuhkan orang-orang yang mempunyai daya inovasi tinggi. Kiranya, dunia pendidikan sangat berlimpah orang-orang dengan kualifikasi seperti itu. Cuma masalah kesempatan dan waktu saja.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar